Budaya-Tionghoa.Net | Tulisan ini dimaksudkan untuk perkenalan singkat mengenai bangunan klenteng Xie Tian Gong, Hiap Thian Kiong, Bandung yang dibangun tahun 1885. Bangunan tua bersejarah yang seharusnya menjadi kebanggaan bersama warga kota Bandung. Bangunan yang harus selalu dilestarikan dan dilindungi sebab nilai kesejarahannya yang tidak ternilai. Bangunan klenteng tua merupakan sumber kisah sejarah yang telah merekam suatu perjalanan masa lalu dengan cara tersendiri. Cara tradisionil sesuai dengan jamannya. Kini langgeng tersedia untuk diuraikan dan ditafsirkan secara lintas disiplin ilmu sesuai dengan perkembangan budaya dan jaman. Sarana penghubung masa lalu dan kini, yang alami telah dipelihara secara swakarsa oleh masyarakat sendiri tanpa hiruk pikuk kemegahan.
Suatu artefak bersejarah yang juga mengingatkan mengenai keaneka ragaman bangsa Indonesia, kebhinekaan mosaik bangsa yang merupakan kekuatan dan kekayaan budaya bersama Nusantara. Bahan-bahan tulisan ini tidak akan mungkin terkumpul tanpa pertolongan dari banyak pihak, yang tanpa pamrih telah membagikan pengetahuannya yang sangat berharga pada penulis. Kepada mereka yang tidak disebutkan ini saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setulusnya.
Diskusi, kritik, koreksi pada tahap terakhir serta penulisan huruf mandarin sangat dibantu oleh Sdr Ardian Cangianto yang telah bersedia meluangkan waktu siang-malam berhari-hari. Semua kesalahan, kekeliruan dan ketidak tepatan tulisan tetap merupakan tanggung jawab penulis. Kritik dan komentar untuk perbaikan dari para pembaca sangat diharapkan.
Bandung, 2 Februari 1010. ( Imlek, 30-12-2561, malam sinciah)
DAFTAR ISI
PENGANTAR
PENDAHULUAN
PENAMAAN KLENTENG MENURUT TOKOH UTAMA
ISTILAH KLENTENG
PENGELOMPOKAN KLENTENG MENURUT PERUNTUKAN FUNGSIONAL
DASAR KOSMOLOGI TIONGHOA, FILOSOFI DALAM BENTUK TAPAK BANGUNAN KLENTENG.
LETAK KLENTENG XIE TIAN GONG, 協天宫 DI JL. KELENTENG. BANDUNG.
TAPAK DAN DENAH BANGUNAN KLENTENG XIE TIAN GONG, BANDUNG
TAMPAK DAN POTONGAN BANGUNAN KLENTENG
PENDAHULUAN
Keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia umunya, khususnya di pulau Jawa; tercatat dalam sejarah telah berabad-abad lamanya. Mereka telah bermukim lama dipesisir pulau- pulau Nusantara; lama sebelum kedatangan para pelaut pedagang Eropa. Dalam jumlah yang besar kelompok Tionghoa telah bermukim di pulau Bangka, Belitung dan Kalimantan barat; bekerja sebagai penambang timah . Sebagian emigran lainnya bermukim sehubungan dengan perdagangan, dipesisir pulau-pulau Jawa, Sulawesi, dan Sumatra (dibagian timur Sumatra mereka bekerja sebagai buruh perkebunan karet dan tembakau, sedang disekitar daerah Bagansiapiapi sebagai nelayan).
Sedangkan pendatang di pulau Jawa terutama berusaha sebagai pedagang; banyak yang berasal dari propinsi Fujian 福 建 dengan dialek Hokkian. Ada juga yang berasal dialek lain tetapi tidak signifikant jumlahnya, juga yang berasal dari propinsi Guangdong 广 东 .
Sehubungan dengan kegiatan perdagangan ini mereka membentuk kelompok hunian yang berdekatan dengan jalur transportasi dan pasar tempatnya berdagang. Pada kota pesisir didekat pelabuhan sering letak huniaan berdekatan dengan pasar setempat. Dikota pedalaman mereka mengelompok berdekatan dengan jalan utama(jalan raya dan jalan kereta api) serta pasar tempat perdagangan. Dalam lingkungan yang memusat demikian dengan sendirinya akan terbentuk suasan budaya yang sarat dengan tradisi dan kepercayaan asli yang terbawa dari tempat asal.
Untuk menampung kegiatan kelompok masyarakat ini mulailah dibangun kelenteng sebagai comunity center sekalian juga tempat beribadah bersama. Maka kelenteng turut menjadi penentu beberapa pola pemukiman etnis Tionghoa setempat. Keberadaan klenteng selalu berkaitan dengan masyarakat etnis Tionghoa yang tinggal disekelilingnya, dengan fungsi utama merupakan tempat beribadat sesuai kepercayaan tradisional yang dibawa dari daerah asalnya di Tiongkok.
Kepercayaan tradisional Tionghoa merupakan pencampuran beberapa ajaran, yang utama Buddhisme Mahayana, Konfusiusisme, dan Taoisme. Ketiga faham ini terangkum dalam filsafat bangunan kelenteng. Ritual pokok bagi masyarakat etnis Tionghoa inti utamanya ialah penghormatan dan bakti pada orang tua, anggota keluarga yang dituakan dan Allah (tian 天) yang maha kuasa.
Dalam penerapan penguraiannya (derivation) diantaranya juga penghormatan pada tokoh yang berjasa pada masyarakat semasa mereka hidup, pelaku sejarah yang kelakuan dan tindakannya patut diteladani, guru yang dihargai, serta para nabi. Dalam perjalanan sejarah berabad abad budaya ini bermetaforsa menjadi folklore, mitos, legenda, malah tokoh tsb terangkat dipuja dianggap dewa-dewi yang dipercaya memiliki kemampuan atau berkat tertentu bagi yang mempercayai.
Ada gejala sangat menarik bahwa di kawasan Nusantara terdapat inkulturasi dan toleransi yang sangat besar dengan menggabungkan tokoh setempat yang dihormati kedalam adat budaya ini, diantaranya dengan adanya tokoh Muslim setempat dan tokoh etnis Tionghoa yang dihormati dan dipuja bersama sama didalam klenteng. Para umatnya yang berlainan agama dan etnis berkunjung beribadat bercampur berbarengan, semuanya diterima dengan bersahabat dan senang hati. Tanpa prasangka dan konflik. Contoh klenteng: Tanjung Kait, Cileungsi, Ancol, Bogor, Palembang (pulau Kemarau), Semarang (SamPoKong), gunung Kawi, dst.
Ini merupakan hasil adaptasi berabad-abad lamanya antara masyarakat yang bermukim dan terlibat disekelilingnya; toleransi yang saling melengkapi menjadikan objek klenteng berubah menjadikan suatu produk vernakular lokal dengan nuansa arsitektur Tionghoa.
Daerah Periangan, Bandung merupakan daerah terakhir (1852) yang diizinkan secara resmi oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk dihuni oleh para pendatang Tionghoa pada masanya. Kemudian tahun 1862 ibukota propinsi juga dipindah ke Bandung yang sebelumnya berkedudukan di Cianjur. Keterbukaan ini sejak akhir abad 18 sejalan dengan politik pemerintah Belanda yang sedang memajukan usaha perkebunan secara massal (onderneming), untuk menghasilkan komodit i pertanian bagi pasar Eropah. Diperkirakan daerah hunian etnis Tionghoa awal di Bandung berada didaerah sekitar Dalem Kaum, setelah terjadi kebakaran beralih ke sekitar Pasar Baru sekarang.
Tercatat sebagai letnan Tionghoa pertama di Bandung adalah Oei Bouw Hun, yang dilantik Belanda pada tanggal 2 Maret 1881. Ia menjabat selama 1 tahun (1881 – 1882). Letnan Tionghoa lainnya di daerah Bandung ssb :
- 1882-1888 Tan Hay Long (Chen Hailong 陳海龍, Chen Haishe 陳海舍. Dilantik 2 Maret 1882. Asal dari Chailing 柴玲, Guangdong 廣東) 1888-1920 Tan Djoen Liong. (Tan Joen Liong 陳雲龍, Chen Yunlong. Tahun 1890 diangkat Belanda menjadi kapten Tionghoa )
Dari data yang tidak lengkap, tercatat juga wijkmeester Tionghoa, diantaranya :
- 1885 : Huang Wenlong (Oei Boen Liong 黃文龍) .
- 1914 : Tan Nyim Coy membawahi kawasan Citepus. Dan Thung Pek Koey mengurus daerah Suniaradja [1]
Klenteng Xie Tian Gong 協天宫 , Awal dibangun disebut Sheng Di Miao 聖帝廟 menurut prasati yang terdapat didinding; dibangun tahun 1885. Klenteng ini terutama ditujukan untuk menghormat i Guan Yu (關 羽 ) seorang tokoh sejarah yang diceritakan dalam kisah Tiga Kerajaan; Sam Kok 三 国. Ia dihargai sebagai pelindung berbagai profesi: pedagang, militer, pelajar, dst. Secara anumerta tokoh ini melalui dekrit kerajaan berulang kali dianugrahi gelar dalam struktur penguasa langit, terakhir pada tahun 1528 diberi gelar sebagai Raja; di 帝.