ISTILAH KELENTENG
Tidak ada keterangan yang ilmiah mengenai asal kata klenteng, asumsi yang paling dekat mungkin adalah peniruan dari suara lonceng, genta yang berbunyi ketika mengadakan ritual peribadatan, teng-teng-teng. Kata klenteng agaknya hanya ada diIndonesia, dan tidak ditemuka n di Tiongkok sendiri atau pun perbendaharaan kosa kata Tionghoa.
Setelah tahun 1965 kita lihat mulai bermunculan penamaan “vihara” diberikan pada sebagian gedung klenteng, ini merupakan solusi reaksi atas pelarangan pemerintah saat itu yang bermaksud menghapuskan, mengurangi jejak budaya etnis Tionghoa. (Bandingkanlah dengan revolusi kebudayaan di Tiongkok sendiri yang sangat gencar pada periode itu).
Pawai liong, barongsai, toapekong dilarang keluar dari halaman klenteng (sebelumnya malah pernah upacara apapun tidak boleh diselengarakan sama sekali !). Juga pelarangan pemakaian huruf Tionghoa ditempat umum, pelarangan sekolah Tionghoa, pelarangan barang cetakan berbahasa Tionghoa, dsb.
Agama yang diakui pada masa rejim Soeharto hanyalah: Buddha, Hindu, Kristen & Katolik, dan Islam. Akibatnya untuk menghindari penutupan sarana kepercayaan Tionghoa (klenteng), penyelesaian yang paling praktis oleh para pengurusnya disediakanlah tempat untuk menghormati Buddha; sehingga surat izin dapat dikeluarkan dengan nama vihara. Di sebagian Jawa tengah dan Jawa Timur lebih dikenal istilah T.I.T.D. (Tempat Ibadah Tri Dharma).
Sebenarnya pada masa presiden RI pertama Soekarno, pemerintah telah mengakui keberadaan agama: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Juga pada awal pemerintahan Soeharto masih memakai peraturan yang sama; kemudian baru pada tahun 1979 diputuskan untuk tidak mengakui ajaran Konghucu sebagai agama [2].