Latar belakang sejarah di zaman kolonial. Orang Tionghoa diyakini telah mendiami tanah Indonesia, yang pada zaman dahulu dikenal sebagai kepulauan Nusantara, sejak abad ke-3 Sebelum Masehi. Sebagaimana halnya umumnya kelompok-kelompok imigran manapun di belahan dunia lain, mereka datang dengan membawa serta budaya, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang mereka anut; tak ketinggalan pula tentunya rasa afinitas terhadap tanah asal mereka. Demikianlah proses tersebut berlangsung selama berabad-abad.
|
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Konfusianisme telah menanamkan akarnya di tanah Indonesia sejak saat itu. Namun pada awalnya ia lebih merupakan nilai-nilai, kepercayaan, dan praktek pribadi yang longgar daripada sebagai sebuah agama baku masyarakat ataupun gerakan sosial. Barulah pada awal tahun 1990-an, usaha untuk membuat Konfusianisme sebagai sebuah gerakan sosial masyarakat yang terorganisasi baik mulai dilakukan.
Pada tahun 1900 berdirilah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia (sekarang Jakarta). Pulau Jawa, yang merupakan pulau utama Indonesia dan pulau di mana Batavia berada, kala itu merupakan sebuah daerah jajahan Belanda, sebagaimana kebanyakan daerah lain yang sekarang merupakan bagian dari Indonesia. Daerah-daerah jajahan ini secara keseluruhan disebut Hindia Belanda dan diperintah oleh seorang Gubernur Jenderal dari Belanda yang berkedudukan di Batavia. Dengan tujuan utama melakukan pembaharuan serta meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap Konfusianisme di kalangan masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda, pendirian THHK diresmikan oleh Gubernur Jenderal pada tanggal 3 Juni 1900. Pada tahun 1942, Belanda hengkang. Sejak saat itu, wilayah Hindia Belanda menjadi daerah pendudukan Jepang hingga tiga tahun setelahnya.
Konfusianisme di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan
Bom atom yang melululantakkan Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945 menandai kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia memanfaatkan kesempatan ini untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebuah Undang-Undang Dasar, yakni Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), disahkan tepat sehari kemudian. Pasal dalam UUD 1945 yang mengatur kebebasan beragama akan dibahas lebih lanjut dalam bagian tersendiri di bawah ini.
Seiring berlalunya waktu, beberapa peristiwa telah memengaruhi perjalanan THHK, sehingga pada tahun 1955 berdirilah Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI). Organisasi ini mirip dengan THHK,
memiliki maksud dan tujuan yang lebih kurang sama, dan memang memiliki hubungan kesejarahan dengan THHK. Pada tahun 1961, Kongres VI PKCHI memutuskan dan memproklamasikan “ajaran Nabi Khonghucu
(Konfusianisme) adalah AGAMA” dan bahwa Khonghucu adalah Nabi agama tersebut.
Pada tahun 1965, Presiden Soekarno, presiden pertama Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan, mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1/Pn.Ps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Penetapan Presiden ini mengatur, antara lain, bahwa ada enam agama yang dipeluk penduduk Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Inilah
titik awal pemicu debat dan wacana yang tiada habis-habisnya dalam tahun-tahun berikutnya mengenai agama yang diakui negara dan agama yang tidak diakui negara.
Pada tahun 1967, terjadi suksesi kepresidenan dari Soekarno ke Jenderal Soeharto. Selama 31 tahun kemudian, Jenderal Soeharto menjadi Presiden Indonesia. Karena alasan-alasan tertentu, yang sesungguhnya masih sangat dapat diperdebatkan, Soeharto dan rezimnya menjalankan kebijakan anti-Tionghoa. Begitu menjabat Presiden, ia segera menerbitkan Instruksi Presiden No. 14/1967. Pengaturan- pengaturan dalam Instruksi Presiden ini praktis membelenggu kebebasan mempraktekkan budaya Tionghoa, menjalankan tradisi dan kepercayaan tradisional Tionghoa, serta merayakan hari-hari besar adat Tionghoa; pendek kata, segala sesuatu yang berbau Tionghoa. Ini tentu saja berdampak buruk terhadap Konfusianisme di Indonesia, karena Konfusianisme jelas adalah salah satu kepercayaan Tionghoa.
Serangkaian peraturan pemerintah yang senada dengan Instruksi Presiden tersebut pun kemudian diterbitkan oleh berbagai instansi pemerintahan.
Akan tetapi, Presiden Soeharto sempat berkenan memberikan sambutan tertulis dalam pembukaan Kongres VI PKCHI, yang kala itu telah berganti nama menjadi Gabungan Perhimpunan Agama Khonghucu se-
Indonesia (GAPAKSI), yang berlangsung pada tanggal 23-26 Agustus 1967. Pada kesempatan tersebut, sang Presiden antara lain menyatakan, ”Agama Khonghucu mendapat tempat yang layak dalam negara
kita yang berdasarkan Pancasila ini.” Perhatikan bahwa Soeharto menggunakan kata agama untuk menyebut Konfusianisme dalam sambutan tersebut.
Pada tahun 1969, terbit Undang-Undang (UU) No. 5/1969. Dalam hal agama-agama yang diakui negara, UU ini mengatur persis sama dengan Penetapan Presiden tahun 1965 yang telah disebutkan di atas, yakni
bahwa ada enam agama di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Pada tahun 1974, terbit UU tentang Perkawinan. Pasal 2 UU dengan nomor 1/1974 ini menyatakan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Tetapi kemudian muncul Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 pada tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa ada lima agama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Patut digarisbawahi di sini bahwa pada saat SE ini diterbitkan, UU No. 5/1969 dan Penetapan Presiden No. 1/Pn.Ps/1965 belum dicabut; dan memang belum dicabut sampai sekarang.
Sidang Kabinet tanggal 27 Januari 1979 dengan tegas memutuskan, “Khonghucu BUKAN agama.” Sebuah Surat lain dari Menteri Dalam Negeri dengan nomor 77/2535/POUD terbit pada tanggal 25 Juli 1990. Sekali lagi, Surat ini menegaskan bahwa ada lima agama di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Pada tanggal 28 November 1995, keluar Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur No. 683/95 yang menyatakan bahwa (hanya) ada lima agama yang diakui di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha.
Dengan demikian, status Konfusianisme selama berpuluh-puluh tahun tersebut memang menjadi tidak pernah jelas. De jure, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan satu
sama lain menyangkut nasib Konfusianisme, yakni peraturan-peraturan yang lebih tinggi mengakui keberadaan Konfusianisme sedangkan peraturan-peraturan yang lebih rendah sebaliknya. De facto,
Konfusianisme sebagai agama berikut umatnya mengalami penindasan (persekusi) dan tidak diakui oleh pemerintah. Banyak umat agama Khonghucu, kalaupun tidak semua, yang dipaksa menjadi beragama Buddha, atau setidaknya mengaku dirinya umat Buddha.
Hariyanto Yang . 28961
CATATAN :
Tulisan ini tulisan eksternal yang merupakan tulisan sdr.Heriyanto Yang dan pernah dipresentasikan di Tokyo University. Tulisan ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh sdr.Heriyanto atas permintaan profesor di IAIN Yogyakarta.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua