Ternyata tak cuma menyebarkan ajaran Konfusius
Suatu hari saya mengunjungi toko batik milik Asmoro Damais, putri Prof. Charles Damais, sejarawan terkenal dari Prancis. Asmoro baru pindah rumah dan di satu sudut terdapat setumpukan buku tua. Ketika saya bertanya, Asmoro menganjurkan untuk membaca buku-buku itu, karena memang ditulis oleh pengarang keturunan Tionghoa untuk masyarakat peranakan Tionghoa. Kesastraan ini belum saya kenal sama sekali karena dulu ayah saya membaca kesastraan Belanda, dan bacaan ibu terbatas pada Majalah Istri dan Harian Sin Po, bacaan berbahasa Melayu Tionghoa tempo doeloe.
Buku pertama pinjaman dari Asmoro yang saya baca adalah Dengan Dua Cent Jadi Kaya oleh Thio Tjin Boen. Ternyata sangat menarik dari sudut cerita maupun bahasanya. Ia menulis tentang seseorang yang bukan saja ditinggalkan oleh istrinya, tetapi istrinya juga membawa serta semua kekayaannya! Orang itu kemudian menjadi kaya lagi dengan menangkap kodok di sawah yang dijualnya di kaki lima sesudah dimasak dengan taoco. Bahasa buku itu bahasa sehari-hari kaum peranakan zaman dulu sebelum bahasa Indonesia menjadi bahasa utama.
Buku kedua tidak begitu lucu karena berkisah tentang seorang gadis yang ingin menikah dengan lelaki pilihan sendiri. Ia diusir oleh ayahnya tetapi dibantu oleh pembantunya. Meskipun begitu, ia kemudian meninggal karena suatu penyakit misterius. Beberapa buku lagi menyajikan tema yang sama. Perempuan harus patuh kepada ayah atau suaminya, kalau tidak, mereka akan “dibunuh” oleh pengarangnya.
Cerita itu membuat saya berpikir, “Tujuan apa sebenarnya yang ada di benak para pengarang? Apakah ada hubungan dengan ajaran Konfusius yang mengatakan bahwa kehidupan perempuan ditentukan oleh tiga kepatuhan: sebagai gadis, perempuan harus patuh kepada ayahnya; sebagai istri kepada suaminya; dan sebagai janda kepada anaknya.”
Dari sini mulailah pencarian saya untuk mendapatkan lebih banyak bahan. Saya membaca buku-buku ini di Perpustakaan Nasional yang di masa itu masih berada di Gedung Museum Gajah. Di sana saya dapat mempelajari tulisan ilmiah mengenai masyarakat peranakan Tionghoa. Di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin saya juga berkenalan dengan buku-buku silat dan terjemahan dari bahasa asing oleh para penulis Tionghoa. Ternyata sastra Melayu Tionghoa tidak hanya untuk menyebarkan ajaran Konfusius, melainkan juga memberi informasi tentang sejarah dan kebudayaan Indonesia maupun asing.
Perkenalan dengan Claudine Salmon dan suaminya, Denys Lombard, memperluas pengetahuan saya tentang kesastraan ini. Claudine sudah menekuni kesastraan ini sejak 1969, lebih dari 10 tahun sebelumnya. Saat itu ia merasa telah cukup mengumpulkan bahan-bahan untuk menyelesaikan katalog yang sedang disusunnya. Dengan demikian saya mendapat kesempatan untuk membaca katalog itu sebelum diterbitkannya. Claudine sangat tekun dan teliti serta selalu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak diduga-duga, yang merangsang saya berpikir lebih lanjut.
Teman lain yang seminat dengan saya bertambah dan saya pun berkenalan dengan Jakob Sumardjo dari Bandung yang sering mengisi halaman Pikiran Rakyat, sebuah harian di Bandung, dengan tulisannya. Kemudian ada lagi Thomas Rieger, mahasiswa Fakultas Sastra berkebangsaan Jerman yang menulis skripsinya tentang Kwee Tek Hoay. Di AS ada juga Brad Horton yang dapat nama Broto dari teman-temannya di Yogyakarta, serta Ellen Rafferty dari University of Wisconsin. Di Bandung masih ada Lim Wan Li, yang menulis tentang kesastraan Melayu Tionghoa dalam bahasa Mandarin yang dikirim ke majalah-majalah yang diterbitkan di Hongkong.