Memoar Putri Tjong A Fie
Fase ketiga adalah menulis tentang isi novel-novel itu. Kesempatan pertama datang pada 1984 ketika kelompok kerja mengenai wanita mengadakan seminar tentang wanita Indonesia. Saya membawakan makalah berjudul The Making of a Peranakan Chinese Women. Di situ saya menulis bagaimana seorang wanita peranakan Tionghoa dibesarkan dengan ajaran-ajaran Konfusius, yang sangat berdampak sampai masa kini.
Atas petunjuk Claudine, saya mengunjungi Medan. Di sana ada seorang wanita tua tengah menulis memoarnya. Sebagian memoar itu telah diterbitkan di sebuah majalah di Malaysia berjudul Memories of A Nonya. Pertemuan pertama dengan si penulis sangat mengesankan. Queeny Chang, nama wanita itu, mulai menulis memoarnya ketika sudah berusia 80 (cukilannya dimuat di Intisari Mei 1982). Ia putri konglomerat kaya Tjong A Fie. Selain memoar, Queeny juga menulis beberapa cerpen, yang pernah saya bahas untuk Majalah Archipel.
Memoarnya dibukukan dan diterbitkan di Singapura. Saya hadir pada peluncurannya di Pameran Buku Singapura dan melihatnya dikelilingi para penggemar yang berdesakan minta tanda tangan. Dia tertawa melihat saya dan membuat janji untuk jalan-jalan pada keesokan harinya. Saya jemput dia dengan taksi dan kami pergi bersama ke sebuah wihara tempat Queeny bersembahyang dan menyumbang lilin serta minyak sebagai rasa terima kasih. Tidak lama kemudian Queeny terserang stroke dan meninggal setelah beberapa tahun di Singapura.
Pada 1985 saya merasa ingin mengunjungi Makassar karena saya dengar di sana ada orang yang dahulu pernah menerjemahkan semua cerita silat dalam bahasa Lontara yang ditulisnya dengan sebuah pi, alat tulis yang dipakai orang Tionghoa. Kebetulan Claudine sedang menyusun tulisan mengenai Makassar, dan dia serta rekannya, Gilbert Harmonic, sedang menangani bagian sastranya. Dia minta agar saya dapat membantu.
Di Makassar saya menginap di rumah pasien suami saya yang juga mengantar saya ke tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Saya juga diperkenalkan dengan Yo Kau Chiau (Yang Wen Chiao), seorang penulis yang banyak menceritakan kepada saya tentang keadaan kesastraan di sana.
Saya diantar juga ke rumah Kwee Kheng Liong dan berjumpa dengan putri-putrinya yang membantu saya dengan permintaan Claudine, yaitu mencocokkan beberapa judul dengan ceritanya. Mereka memperlihatkan buku-buku itu yang berada di sebuah ruangan tingkat atas. Namun, ketika kami selesai, saya mendapatkan mereka asyik membaca cerita-cerita itu, dan tampaknya sudah lupa pada saya! Koleksi ayah mereka cukup banyak, tersimpan di beberapa lemari buku. Alangkah sayangnya kalau buku-buku itu tidak dipelihara dengan baik di masa yang akan datang.