Pencipta Put On
Untuk mengumpulkan data tentang pengarang peranakan saya tidak selalu perlu menempuh perjalanan jauh. Di Jakarta saya juga berbincang dengan almarhum Kho Wan Gie (KWG), artis terkenal dari komik Put On. Put On adalah tokoh yang dimulai pada tahun 1930 di Harian Sin Po, dan berlangsung sampai tahun 1942 ketika Jepang menduduki Indonesia. Pada 1946 Sin Po terbit lagi tetapi pada 1962 ganti nama menjadi Warta Bakti dan akhirnya dibredel pada 1965.
Saya diterima oleh KWG dengan ramah. Dia berasal dari Indramayu, dan pernah datang pada suami saya untuk berobat. Karena suami saya tidak memungut bayaran dari orang sekampung, dia pernah menghadiahi kami sebuah lukisan yang ia buat di waktu senggang. Saya diizinkan membuat fotokopi semua karyanya. Di samping itu ia masih memberi saya beberapa Majalah Sin Po dari koleksinya.
Pada suatu hari saya ditelepon oleh seorang putranya yang memberitahukan bahwa ayahnya telah meninggal. Saya pergi melayat dan memberi tahu Arswendo Atmowiloto yang menulis sebuah “In Memoriam” mengenai orang yang luar biasa, yang pernah menghibur orang tua maupun muda di Indonesia dengan goresannya yang tampak sederhana tetapi penuh dengan humor ini.
Meskipun KWG telah meninggal pada 1983, saya baru mendapat kesempatan untuk membuat paper tentang dia di tahun 1995 ketika di Leiden diadakan lokakarya mengenai Jakarta. Dari Jakarta ada Julianti Parani dan Yasmine Shebab yang turut serta. Dari Belanda ada Leonard Blusse, Kees Grijns, seorang ahli bahasa Betawi, dan Remco Raben. Ketika saya membawakan paper dan mempertunjukkan beberapa komik dengan overhead projector, beberapa orang tertawa terbahak-bahak.
Di Jakarta saya juga berjumpa dengan Soe Lie Piet (SLP), juga seorang wartawan sekaligus penulis novel, ayah Soe Hok Djien dan Soe Hok Gie, dua aktivis mahasiswa di tahun 1965 – 1966. Soe Hok Gie meninggal pada 1969, tetapi Hok Djien, yang kini lebih dikenal dengan nama Arief Budiman, masih aktif di dunia politik. SLP juga pernah menulis sebuah penuntun pariwisata untuk Pulau Bali dan beberapa novel tentang kehidupan di Bali yang berjudul Lejak dan Jadi Pendita.
Saya juga bertemu dengan Ny. Tjoa Hin Hoey untuk bertanya mengenai ayahnya, pengarang dan redaktur pelbagai majalah, Kwee Tek Hoay (KTH). Banyak keterangan saya peroleh dari Ny. Tjoa, yang juga terkenal sebagai pengarang tetapi terutama sebagai pengasuh Majalah Istri sebelum PD II.
KTH menulis lebih dari 200 novel, buku mengenai agama, dan sandiwara; sungguh suatu prestasi luar biasa di zaman pra-komputer. Ia juga mengasuh beberapa majalah seperti Panorama, Moestika Romas, dan Moestika Dharma, di samping mempunyai pabrik tapioka di Cicurug karena mungkin tulis-menulis tidak memberikan penghasilan cukup.
KTH sangat peduli terhadap kaum wanita, terutama wanita muda yang berbakat menulis. Dia menganjurkan mereka untuk mengirimkan tulisan mereka ke Majalah Panorama. Setelah dikoreksi dia kirimkan kembali tulisan mereka. Barulah setelah diperbaiki, tulisan itu dimuat. Jadi, semacam kursus tertulis untuk mengarang.
Claudine dan saya masih sempat pergi ke Sukabumi menemui seorang pengarang, Hong-le-Hoa namanya. Ketika bertemu, Hong-le-Hoa sudah lanjut usia tetapi masih dapat menceritakan mengenai pelajaran yang ia dapat dari KTH. Sesudah itu ia juga ditugaskan untuk membentuk suatu persatuan jurnalis perempuan. Seruannya untuk bergabung dalam persatuan itu mendapat tanggapan dari Makassar, Semarang, Batavia, Bandung, Surabaya, dan Malang. Mereka saling mengirim foto dan juga pernah berkumpul di Bandung. Setelah mereka semua menikah, hubungan di antara mereka dilanjutkan dengan surat-menyurat.
Nyoo Cheong Seng “menemukan” Fifi Young
Pada 1986 timbullah gagasan untuk menerbitkan buku peringatan untuk merayakan 100 tahun KTH pada 1987. Kami mencari seorang penerbit, dan untunglah Aristides Katoppo dari Pustaka Sinar Harapan bersedia menerbitkan buku itu. Aristides menunjuk saya sebagai penyunting, dan untuk menghubungi beberapa penulis.
Sumbangan datang dari Prancis, Singapura, Selandia Baru, Australia, Jerman, dan dari Indonesia ada Jakob Sumardjo dan saya. Ada yang sanggup menulis mengenai pandangan KTH tentang pendidikan. Ada yang ingin menulis tentang pandangan politiknya. Saya sendiri ingin menangani pandangannya terhadap kaum wanita. Beberapa orang ingin menulis tentang karya-karya sastranya atau pandangan agamanya. Bahkan ada yang mau menulis tentang karya-karyanya yang berhubungan dengan mistik. Ny. Tjoa sendiri berjanji menulis sebuah biografi singkat tentang ayahnya. Maka lengkaplah tulisan kami mengenai penulis yang luar biasa ini.
Sebagai penyunting saya mendapat tugas untuk menyunting dan sekaligus menerjemahkan tulisan dari luar negeri. Namun, ketika penerbit mendapat kesukaran dalam mengumpulkan dana untuk mencetak buku itu, sayalah yang ditugaskan untuk “menodong” beberapa calon sponsor. Meskipun tugas itu cukup berat, saya senang karena berhasil mendapat bantuan dari beberapa teman baik, dan buku diterima dengan baik di kalangan para pakar.
Ketika ingin mempelajari karya-karya KTH di Perpustakaan Nasional, saya pernah diberi majalah yang salah oleh petugas. Yang diberikan adalah Interocean, sebuah majalah tentang perkapalan. Saya membacanya dan memperhatikan bahwa pada 1923 redaktur diganti, dan setelah itu majalah tersebut menjadi majalah kesastraan. Tulisan-tulisannya sangat indah dan menarik serta kebanyakan buah pena sang redaktur, Nyoo Cheong Seng (NCS). Setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata NCS baru berusia 21 tahun saat itu. Seorang pemuda berbakat yang penuh cita-cita dan telah dikenal sebagai penulis karena sumbangannya kepada Harian Sin Po dan Hoa Po.
Di samping pekerjaannya sebagai redaktur, NCS juga anggota aktif dari kelompok sandiwara amatir, Soen Thian Gie Hie. Ia sendiri turut serta sebagai pemain, dan pernah sekali mengambil peran sebagai pembantu rumah tangga. Ia pernah menulis naskah sandiwara berjudul Lady Yen Mei. Di situ ia mengkritik orang-orang kaya yang pelit. Dalam sandiwara itu ia menempatkan seorang ibu rumah tangga dari kalangan atas sebagai pemeran utama dan menyebabkan polemik di media masa karena publik merasa tidak pantas ada wanita peranakan yang turut serta dalam aktivitas hiburan.
Tahun 1926 ia meninggalkan Interocean dan bergabung dengan kelompok sandiwara Miss Riboet’s Orion di Batavia. Di kelompok itu ia bertemu Tan Kiem Nio, gadis cantik berdarah campuran Cina dan Prancis dari Sungai Liput di Aceh. Ia nikahi Kiem Nio dan membimbingnya menjadi pemain teater yang tidak ada tandingannya ketika itu. Tahun 1932 mereka meninggalkan Orion lalu bergabung dengan Moonlight Crystal Follies di Singapura.
Kiem Nio mengambil nama Fifi Young sebagai nama aktris. Fifi diilhami bintang film Prancis yang terkenal di masa itu, Fifi d’Orsay, dan Young adalah ucapan bahasa Mandarin untuk “Nyoo”. Ia sukses besar karena sangat cantik, lagi pula piawai dalam akting dan menari. Kalau mereka bermain di Kuala Lumpur, gubernur Malaya sering datang menonton, dan dialah yang selalu memimpin seruan, “One, two, three, we want Fifi!”
Dengan Fifi, NCS mendapat dua putra dan seorang putri yang mengikuti jejak ibunya. Dua putri lagi meninggal ketika masih bayi, dan NCS menulis karangan yang indah untuk mengenang mereka. Setelah PD II NCS mengalami banyak kesulitan. Ia jatuh cinta pada seorang aktris muda bernama Mipi Malenka. Mipi hanya diberi peran sebagai pemain pembantu sehingga punya banyak waktu luang untuk membantu Nyoo mengetik karangan-karangannya.
Menurut pengakuan NCS sendiri di novelnya Dendang-dendang Makassar, ia sering menulis syair-syair cinta kepada Mipi, yang dia tinggalkan di mesin tik. Setelah membaca, Mipi pun membalas cintanya melalui syair-syair yang ditinggalkan di mesin tik juga. Ketika cinta sudah tidak tertahankan lagi, mereka pun menikah, dan Nyoo membawa Mipi pulang sebagai istri muda. Fifi menerima keadaan ini dan bahkan mendampingi ketika Malenka melahirkan putranya.
Namun, untuk tinggal serumah tentu agak sulit bagi Mipi yang masih belia. Ia meninggalkan rumah dengan membawa putranya, konon ke Makassar. NCS pergi mencarinya tetapi tidak dapat menemukan. Di sana ia malah mendapat tawaran dari Djamaludin Malik untuk membantu dalam kelompok teaternya. Di Makassar ia bertemu Hoo Eng Djie dan beberapa sastrawan lain serta sempat menulis beberapa novel tentang mereka. NCS kemudian bercerai dengan Fifi dan hijrah ke Malang. Di kota ini ia diterima di kalangan seniman yang kira-kira sebaya, dan merasa sangat betah. Oleh teman-teman barunya ia dijodohkan dengan Huang Lin, janda muda dan guru di sekolah Tionghoa.
Ong Kian Bie, Fotografer Hebat
Dalam pencarian, saya banyak dibantu oleh Hadi Susastro, direktur eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS). Hadi pernah mendapat les piano dari putra Huang Lin dan langsung menghubungi bibinya untuk minta alamat Huang Lin. Setelah mendapat alamat dari Bu Istanto, berangkatlah saya ke Malang. Pertemuan dengan Huang Lin sangat mengharukan karena ia merasa NCS membuatnya sangat bahagia setelah pernikahan pertamanya gagal. Sayang sekali pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Sesudah 10 tahun menikah NCS meninggal pada 1962 karena sakit liver. Tetapi selama itu mereka hampir setiap minggu pergi piknik. Huang Lin diberi les dansa ballroom dan paling sedikit sebulan sekali mereka pergi dansa dengan teman-teman.
Mereka sempat membuka sebuah toko kembang yang diberi nama “Malang Mignon” (mignon adalah bahasa Prancis untuk mungil). Untuk setiap pesanan NCS menyertai syair kecil. Setelah ia meninggal banyak orang masih minta syair untuk karangan bunga mereka, tetapi Huang Lin tidak dapat membuat syair.
Ketika masih hidup, NCS pernah menyatakan niatnya untuk membuat autobiografi. Tetapi ketika dicari, ternyata ia tidak sempat menulisnya karena selalu dibanjiri permintaan-permintaan untuk menulis sandiwara atau cerpen. Sering ia bekerja sampai larut malam. Setelah NCS meninggal, Huang Lin merasa sepi karena tidak lagi mendengar suara mesin tiknya dan bunyi keriak-keriuk NCS mengunyah emping belinjo, camilan kegemarannya. Ia merasa sangat bahagia karena dihormati anak-cucu NCS.
NCS mungkin satu-satunya yang pernah menulis tentang dirinya sendiri. Kalau saya membaca cerita bahwa di mancanegara ada yang dapat menggali riwayat hidup orang terkenal dari surat-surat atau catatan harian yang ditulisnya, seperti Virginia Woolf, Ernest Hemmingway, saya merasa iri hati. Para penulis Indonesia tidak menyimpan surat-suratnya, dan kalaupun pernah menulis catatan harian, buku itu mungkin telah musnah atau dimusnahkan.
Saya tentu tidak akan berhenti mencari meskipun tahu bahwa tugas itu tidaklah mudah. Dalam bentuk sketsa-sketsa kecil ini, saya ingin memberi penghormatan yang layak kepada para pengarang itu yang biasanya tidak diberi perhatian, apalagi penghormatan. Mudah-mudahan saya dapat mengumpulkan lebih banyak mengenai penulis-penulis lain di masa yang akan datang.
Sumber :
- http://www.indomedia.com/intisari/2000/juli/terawang7.htm
- http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/5022