source: SiaR
Ketika Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Hoakiau di Indonesia dan kemudian ditangkap, saya baru datang ke Jakarta. Umur saya 19. Saya datang dari sebuah sekolah menengah di udik, di Jawa Tengah. Di tahun 1960 itu, saya tak tahu apa saja yang terjadi di dunia. Saya tak tahu bahwa sebuah buku dilarang dan seorang pengarang terkenal dipenjarakan. Minat saya waktu itu agak terbatas. Kini saya bersyukur dapat membaca buku ini, yang hampir 40 tahun tersembunyi sebagai buku yang dilarang. Kini saya tahu apa yang terjadi, kurang-lebih.
|
Membaca Hoakiau di Indonesia membuat saya tercengang akan kukuhnya Pramoedya Ananta Toer dengan argumentasi. Ia siap dengan catatan sejarah, statistik dan kutipan koran. Barangkali ini memang harus ia lakukan. Ia mengguncang asumsi yang umum berlaku. Ia bukan sekedar bertolak dari anggapan bahwa “ras” bukanlah sebuah kepastian yang absolut. Ia juga mengungkapkan bahwa tak benar keturunan Cina anak emas pemerintah kolonial. Ia mempersoalkan gambaran perbedaan sosial-ekonomi antara Hoakiau dan “pribumi”, sesuatu yang (menurut data statistik) memang tak teramat tajam di pedalaman Indonesia di tahun 1950-an. Saya telah menyebut hal itu dalam resensi saya atas Hoakiau di Indonesia dalam Majalah TEMPO nomor pertama setelah terbit kembali dari pembreidelan. Saya tak hendak mengulangi apa yang saya sudah tulis lebih lanjut. Dalam kesempatan ini saya hanya ingin mencoba menelusuri suatu segi yang agak berbeda.
Buku ini sebuah karya polemik. Sebab itu sebenarnya sayang bahwa sekarang ini kita tidak bisa membaca bagaimana lawan polemiknya menyerang atau mempertahankan diri. Yang kita tahu ialah bahwa Pramudya dihadapi dengan suatu cara yang brutal dalam “melawan” sebuah pendapat – yaitu meringkusnya di dalam sel Rumah Tahanan Militer. Tetapi justru itu menunjukkan posisi yang lemah dari yang berkuasa. Memang tak terbayangkan oleh saya bagaimana pihak lawan akan dapat mengambil posisi yang lebih kuat, kecuali dengan bedil. Apalagi bila kita menyimak dengan baik nada Pramoedya di sini: teks ini adalah sebuah cetusan dari suatu sikap berperikemanusiaan, suatu sikap yang tidak mungkin diberi tapal geografis ataupun rasial. Pramoedya mengecam “perikemanusiaan limited”, yang terbatas. Dengan demikian ia – mungkin ini mengingatkan kita akan “humanisme universil” H.B. Jassin – menunjukkan suatu hati yang lebih terbuka, seraya berdiri di landasan moral yang lebih tinggi, dibanding dengan mereka yang mendukung tindakan paksa, terkadang dengan kekerasan, terhadap orang Tionghoa.
Bagaimana pun, sebenarnya perlu, setelah kita membaca buku ini, untuk mengikuti apa gerangan argumen lawan waktu itu dalam membantah Pramoedya. Pertama-tama karena argumen itu mungkin dapat dipakai untuk menilai tendensi yang masih kuat sekarang, yakni kehendak untuk menyingkirkan keturunan Cina – meskipun tidak selamanya berupa pemindahan tempat usaha secara paksa – dari posisinya semula. Juga karena kehendak seperti itu bukan sesuatu yang datang dari sepotong kepala. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959, (lebih dikenal sebagai “P.P. No.10”), yang memindahkan orang Tionghoa dari pedesaan, nampaknya didukung oleh hampir semua partai politik, kecuali PKI. Seperti kita bisa baca dalam buku ini, di awal masa “Demokrasi Terpimpin”, 1959, Presiden Soekarno menandatangani P.P. No.10 itu: semua pedagang eceran Cina harus menutup usaha mereka di wilayah pedalaman. Sebetulnya tak jelas apakah itu juga berarti bahwa para keturunan Cina dilarang bermukim di pedesaan. Tapi di Jawa Barat, panglima militer setempat, Kol. Kosasih, memaksa mereka pindah. Semacam pogrom terjadi. Sebuah reportase koran menceritakan bagaimana tentara “melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk-truk dan membawa mereka ke kamp-kamp yang dibangun tergesa-gesa”. Bahkan dalam pengusiran di Cimahi, tentara menembak mati dua perempuan Tionghoa. Kira-kira lebih dari 100 ribu keturunan Cina meninggalkan Indonesia.
Dengan kata lain, ada tangan pemerintah di sini. Tapi barangkali kita juga harus menelaah, benarkah yang terjadi di tahun akhir 1950-an itu sebuah rasialisme negara atau rasialisme orang ramai. Atau kombinasi keduanya. Siapa tahu, setelah menelaah, kita akan dapat menganalisa lebih baik kerusuhan dan kekerasan, termasuk pemerkosaan, yang terjadi di bulan Mei 1998 di Jakarta dan Surakarta, dan kemudian juga di Bagan Siapi-api, Kebumen, dan lain-lain.
Di Indonesia, rasialisme negara punya sejarah yang lebih panjang ketimbang sejarah Republik. Bahkan lebih tua ketimbang entitas yang disebut sebagai “negara”. Sejak di tahun 1612 VOC memulai menanam benihnya dengan suatu manajemen atas seks, yang melarang perempuan Belanda beremigrasi. Yang diharapkan ialah menjaga agar tidak ada perilaku seksual yang menyebabkan perempuan kulit putih itu membuat malu dan berhubungan dengan orang setempat. Di pertengahan abad ke-19, ada usaha untuk menghabisi kebudayaan “mestizo” dan membuat koloni di Asia Tenggara ini menjadi lebih punya “karakter Belanda”. Ketika VOC runtuh dan digantikan oleh administrasi kolonial, yang berkuasa meletakkan penduduk yang “kreol”, “berwarna” dan kaum peranakan campur dari yang disebut “inlandsche kinderen” di bawah pengawasan. Di tahun 1838 semua inlandsche kinderen dilarang dari jabatan yang memungkinkan mereka punya kontak langsung dengan “orang Jawa”.
Sekitar pertengahan abad ke-18, mestissage (“percampuran rasial”) dianggap sebagai sebuah sumber subversi yang berbahaya, yang mengakibatkan kemerosotan Eropa dan keruntuhan moral. Rasa cemas akan “hibriditas” ini muncul dalam pelbagai perdebatan, yang agaknya tidak untuk mencari penyelesaian. Seperti dikatakan oleh Ann Laura Stoler, pembicaraan itu merupakan usaha untuk selalu mengingatkan mereka yang menghendaki pembaharuan yang lebih liberal bagi Hindia Belanda, bahwa kolonialisme bukan sekedar merangkum-masuk bangsa jajahan, tetapi juga membedakan antara orang Belanda sejati (echte) dan inlander yang punya status bikinan yang membuat mereka sama dengan orang Eropa, membedakan antara yang mengkoloni dan yang dikoloni, antara warga negara dan kawula, dan tak kurang dari itu, antara kelas-kelas sosial orang Eropa sendiri. Dengan pembedaan itulah suatu bangunan tubuh “burjuis” menyatakan diri, dan mempertahankan diri beserta segala harkatnya.
Dalam ikhtiar itu disusunlah penggolongan – atau pelapisan – sosial di Hindia Belanda yang dasarnya adalah ras, dan bukan agama atau yang lain. Yang kita lihat di sana adalah berperannya kembali apa yang disebut Foucault sebagai “simbolik darah”, seperti di zaman aristokrasi dulu; hanya kali ini ia tumpang tindih dengan manajemen atas kehidupan seksual yang hendak menjaga masyarakat kolonial dari kekcauan, atau ketidak-jelasan, dari bentuk-bentuk percampuran atau hibriditas rasial.
Maka, si inlander harus berada dalam kalangan inlander dan berperilaku inlander, si Cina harus berada dalam kalangan Cina dan berperilaku Cina. Sebab itu, sampai dengan menjelang awal abad ini, di Hindia Belanda dengan gampang orang Tionghoa dibedakan dari orang lain. Mereka memakai taucang atau kuncir panjang berjela di punggung – tanda yang dikenakan oleh dinasti Manchu yang juga dikenakan oleh pemerintah kolonial – dan mereka harus mengenakan pakaian Cina: gaun Mandarin bagi para opsir, dan bagi yang lain, celana komprang dan baju logro (yang kini pun masih disebut sebagai “baju Cina”). Juga sepatu bersol tebal. Mereka umumnya harus tinggal di pecinan (sebagaimana orang Melayu harus tinggal di Kampung Melayu dan Ambon di Kampung Ambon). Untuk melintasi ghetto mereka, orang Tionghoa harus mendapatkan pas jalan yang dikeluarkan oleh kapten Cina.
Dari sini bisa dimengerti apabila kesadaran akan perbedaan kelompok berdasarkan ras menguat. Kebudayaan peranakan sebenarnya, menurut kodratnya, selalu berubah dan bercampur, dibentuk oleh isteri atau piaraan pribumi di satu pihak dan arus laki-laki dari Cina di lain pihak. Tetapi di abad ke-18, pola pembentukannya agaknya telah menjadi stabil. Orang Tionghoa menyadari dirinya sebagai Cina, sebagaimana nampak dalam pakaian dan adat istiadat. Meskipun sedikit sekali peranakan Tionghoa di Jawa yang bisa berbahasa Cina, bahasa Melayu mereka diwarnai oleh bahasa Hokkien dan logat yang khas.
Rekaman sejarah itu sudah lama diketahui, tetapi terkadang saya bertanya kepada diri sendiri: bagaimana gerangan masyarakat Indonesia kini seandainya pemerintah kolonial mengklasifikasi penduduk Hindia Belanda dengan cara lain – misalnya dengan berdasarkan besarnya kekayaan, dan politik identitas berlangsung berdasarkan kesadaran kelas? Dengan kata lain, akan masih adakah ketegangan rasial? Ataukah ketegangan rasial yang terutama diarahkan ke kalangan Tionghoa itu sebenarnya tidak pernah terjadi sebelum pemerintah Hindia Belanda menjalankan segregasi rasial? Pertanyaan ini bagi saya ada hubungannya dengan pertanyaan diatas: sejauh mana kita kini bisa berbicara tentang rasialisme orang ramai.
Di tahun 1946, baru setahun Indonesia berdiri, suatu gelombang kekerasan berlangsung menghantam penduduk Tionghoa di sekitar Tangerang, Jawa Barat. Seberapa besar korban waktu itu tak diketahui persis. Yang menarik bagi saya, kekerasan ini (pembunuhan, dan kabarnya bahkan pemerkosaan) berlangsung sebelum ada negara yang telah terkonsolidasi dan mengerahkan kekuatannya untuk melakukan progom seperti di tahun 1960. Meskipun demikian, jika kita baca laporan pers waktu itu, yang melakukan kekerasan adalah “Lasykar Rakyat”, pemuda bersenjata yang waktu itu bergerak semacam milisia di luar tentara resmi tetapi memegang peran dalam “keamanan”. Dan yang meledakkan tragedi itu adalah sebuah desas-desus, bahwa seorang tentara Nica keturunan Cina menurunkan Sang Merah Putih.
Menarik pula bahwa Star Weekly, sebuah berkala yang dikelola oleh para wartawan Tionghoa, dalam laporannya menyebut “pribumi” yang marah itu sebagai “Indonesiers” dan Merdeka menyebutnya sebagai “rakyat Indonesia”. Negara Indonesia memang belum tersusun rapi, masalah kewarganegaraan orang keturunan Cina masih belum pasti, tetapi lambang-lambang nasion sudah menjadi lambang orang ramai.
Kita bisa mengatakan bahwa kejadian ini memang suatu ledakan antagonisme rasial anti-Cina, meskipun masih menjadi pertanyaan bisakah di sini kita lihat adanya rasialisme dalam arti seperti yang terjadi dengan P.P. No. 10. Yakni, sebagai kebijakan untuk menyingkirkan sebuah minoritas. Namun tampaklah bahwa dalam membentuk imajinasi tentang sebuah bangsa – yang mendasari nasionalisme itu – kita selalu bisa menyisihkan “yang lain” dalam imajinasi kita.
Memang, nasionalisme Indonesia lebih merupakan nasionalisme yang civic, berdasarkan kewarganegaraan, ketimbang nasionalisme “darah”. Tetapi di lapis bawah, mungkin yang bebricara bukanlah sebuah imajinasi tentang bangsa. Di Tangerang itu juga tercatat persoalan konflik lokal dalam masalah tanah. Dan barangkali kerusuhan Mei juga mengandung konflik-konflik lokal – misalnya milik dan harapan yang tergusur secara paksa untuk pembangunan dan lain-lain. Jangan-jangan kita cenderung melupakan bahwa batas rasialisme negara dan rasialisme orang ramai sering kabur, atau, seperti penyakiut, saling tular menular. Terutama justru ketika tatanan sosial ambruk dan negara seakan-akan tidak bisa hadir, sebuah gerombolan orang bisa menghadirkan diri mewakili sebuah kekuatan yang ingin menyisihkan apa saja yang berbeda. Jangan-jangan kita cenderung melupakan, bahwa rasialisme tidak selamanya berbaju seragam dan bersafari.***
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/1985