Budaya-Tionghoa.Net | 90 tahun yang lalu, tepatnya 23 Maret 1914 di Kapasan-Surabaya, lahir seorang anak bangsa yang kemudian kita kenal bernama SIAUW GIOK TJHAN. Putra pertama dari Siauw Gwan Swie yang baba dan Kwan Tjian Nio yang totok. Satu perkawinan yang cukup unik dimasa itu, karena harus dilangsungkan dengan ber-syarat! Begitulah, sekalipun sebenarnya diantara 2 keluarga itu masih termasuk etnis Tionghoa, tapi ayah Kwan Tjian Nio yang totok itu mempunyai pikiran chauvinist, yang tidak menghendaki putri-nya menikah dengan seorang pemuda baba yang tidak mengerti bahasa-Tionghoa. Namun demikian, percintaan dikalangan muda-mudi dalam kenyataan sulit dicegah. Keuletan Bapak Siauw Gwan Swie untuk mendapatkan gadis Kwan Tjian Nio tidak terpatahkan, akhirnya pernikahan terjadi dengan syarat, yaitu anak pertama harus menerima pendidikan Tionghoa. Dengan demikian, anak pertama yang lahir – Siauw Giok Tjhan harus masuk kesekolah Tionghoa, mendapat pendidikan Tionghoa.
Tapi beberapa tahun kemudian, sesaat setelah Kakek-nya – Kwan Sin Liep – pulang kembali kekampung halamannya – Swatao, kesempatan ini digunakan oleh Ayah-nya, untuk menarik Siauw Giok Tjhan ke-sekolah berpendidikan Belanda. Dengan demikian, Siauw besar sebagai seorang baba yang pada pokoknya tidak mengerti bahasa Tionghoa. Justru karena Siauw dibesarkan dalam lingkungan keluarga baba dipihak ayah dan totok dipihak ibu inilah, memudahkan beliau berkiprah dikedua golongan komunitas Tionghoa ini, sebagai langkah awal gerakan yang dilakukan semasa hidupnya untuk perjuangan mencapai kemerdekaan Republik Indonesia. Tugas dan kewajiban yang dipikulnya sebagai anak bangsa.
|
Siauw sejak kecil sudah mempunyai watak perlawanan atas penghinaan dan ketidak adilan yang menimpa dirinya, begitulah kemahiran silat yang dipelajari dari kakeknya itu memungkinkan baginya untuk berkelahi melawan anak-anak Belanda, indo-Belanda dan Ambon yang men-“Cina loleng”-kan dirinya. Satu peng-hinaan yang biasa dilontarkan pada etnis Tionghoa. Keteguhan dan kekerasan jiwa dalam memperjuangkan ke-adilan tumbuh dalam lingkungan hidup yang harus dihadapi. Terutama setelah kedua orang-tuanya meninggal dalam usia muda, beliau terpaksa melepaskan sekolah begitu selesai HBS, untuk mencari nafkah meneruskan hidupnya bersama adik-tunggalnya, Siauw Giok Bie yang masih harus meneruskan sekolah itu.
I. Seorang yang sangat sederhana, keras pada diri-sendiri dan sabar pada orang lain.
Dari kehidupan sehari-hari yang diperhatikan, ada beberapa peristiwa yang bisa diangkat untuk menunjukkan kebenaran orang menyatakan bahwa Siauw Giok Tjhan adalah seorang yang sangat sederhana, keras pada diri-sendiri, tapi sabar pada orang lain.
- Begitu keras dan disiplinnya tidak menggunakan milik-umum untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Tan Gien Hwa, istrinya ketika di Malang, September 1947 akan melahirkan anak ke-4, beliau melarang Siauw Giok Bie, adiknya yang mau menggunakan mobil Palang-Biru (tool-car) untuk mengantar ke Rumah Sakit. Palang-Biru adalah organisasi Angkatan Muda Tionghoa untuk memberikan pertolongan-pertama prajurit-prajurit luka di garis-depan melawan agresi-militer Belanda. Beruntung, sekalipun harus diantar dengan naik Becak, istrinya bisa melahirkan dengan selamat, juga anak – Siauw Tiong Hian dalam keadaan selamat.
- Pada saat beliau dinobatkan menjadi Menteri Negara – urusan minoritas, Kabinet Amir Syarifudin, Siauw yang belum mendapatkan mobil-menteri, hanya bisa naik andong (kereta kuda, di Yogya) ke-Istana. Tapi malang, ternyata andong dilarang memasuki halaman Istana, terpaksa beliau turun dari andong dan dengan jalan kaki masuk Istana-Yogya. Juga, pada saat itu terbentur dengan masalah rumah tinggal. Ternyata tidak ada Perumahan pemerintah yang bisa diberikan pada beliau sebagai menteri-negara. Sekalipun pada saat itu, bagi menteri yang datang dari luar Yogya, boleh tinggal di Hotel Merdeka. Tapi untuk menghemat pengeluaran uang-Negara, Siauw memilih tinggal digedung Kementerian-Negara, dijalan Djetis-Yogya, dan ….. harus tidur diatas meja-tulis.
- Begitu juga, pada saat Ibu-kota pindah dari Yogya ke Jakarta tahun 1950, sekali lagi Siauw sekeluarga, berserta 5 anak-anaknya dengan anak ke-5 yang paling kecil hanya beberapa bulan itu, harus lebih dahulu tinggal dikantor Percetakan Persatuan untuk beberapa bulan, …. bersama-sama tidur diatas meja tulis.
- Kesederhanaan hidup sehari-hari, sebagaimana biasa kemana-mana hanya mengenakan baju kemeja-tangan pendek, yang lebih sering terlihat hanya berwarna putih, celana-drill pantalon dan bersepatu sandalet saja itu, beliau harus berkali-kali dianggap sebagai orang kere, yang tidak perlu dilayani oleh noni-noni dibagian “Reception” pada saat beliau harus menemui Menteri-Menteri atau Presiden-Direktur Bank. Tapi, itulah pembawaan Siauw yang sangat bersahaja, yang dikagumi oleh kawan-kawan maupun lawan-lawan politiknya.
- Pada saat Siauw Giok Tjhan berkesempatan ikut menghadiri upacara Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Rakyat Tiongkok, 1 Oktober 1964 di BeiJing, ada tawaran dari pihak tuan rumah untuk mengoperasi matanya. Tapi beliau menolak dengan alasan kesibukan yang tidak bisa ditinggal. Begitu pula, pada awal Oktober 1981 Siauw berkesempatan berada di BeiJing, tuan rumah mengajukan tawaran untuk melakukan operasi jantung yang memang seharusnya dilakukan itu, sekali lagi ditolaknya. Sungguh sayang, ternyata keadaan kesehatannya sudah tidak lagi mampu menunjang kekerasan tuntutan pada diri sendiri untuk berjuang terus. Kesehatannya sudah sangat rusak akibat hidup didalam penjara selama 10 tahun dimasa Orba. Akhirnya tidak lama setelah kembali dari BeiJing itu, tgl. 20 Nopember 1981, selesai makan siang, pada saat jalan menuju aula Univ. Leiden siap untuk memberikan Ceramah “Masalah Demokrasi di Indonesia”, beliau jatuh pingsan karena serangan jantung dan tidak siuman lagi, meninggalkan kita untuk selama-lamanya.
Category: Tokoh Tionghoa