II. Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi Putrta-Putri Indonesia.
“Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi Putra-Putri Indonesia“. Begitulah semboyan yang untuk pertama-kalinya, dikumandangkan Kwee Hing Tjiat melalui Harian MATAHARI, di Semarang sejak tahun 1933-1934. Dan semboyan ini benar-benar menjadi keyakinan-hidup Siauw sejak masa muda, berjuang menjadi putra ter-baik Indonesia yang tidak ada bedanya dengan putra-putra Indonesia lainnya dalam usaha dan memperjuangkan kemerdekaan dan kebahagiaan hidup bersama.
Pada saat itu, dimana kolonial Belanda menjalankan politik pecah-belah, memperlakukan warga-pribumi sebagai warga yang paling rendah, tentu banyak kesulitan yang dihadapi untuk mewujudkan semboyan tersebut di-tengah masyarakat etnis Tionghoa. Karena kalau menjadi Indonesia, itu berarti harus menurunkan derajat etnis Tionghoa, berarti sama dengan warga-pribumi yang ketika itu merupakan warga klas-3. Oleh karena itu, begitu semboyan dikumandangkan, bermunculan-lah sindiran-sindiran yang mengejek, seperti “baba-cao” (baba-tahu), lalu mendapat kiriman ikat kepala-batik, pici , blankon … dan lain-lain lagi.
Tidak bisa disangkal, pada saat itu arus pokok dikalangan masyarakat etnis Tionghoa, terutama dilapisan atas, para pengusaha-tuantanah adalah condong kepihak Belanda, mem-Belanda-kan diri tidak hanya ber-pendidikan Belanda, menyandang juga nama Belanda, tata-cara hidup yang ke-Belanda-Belanda-an. Pokoknya bisa-lah dikatakan “Nederlander” yang secara politis berpihak pada kolonial Belanda, dan tentunya menentang gerakan Kemerdekaan. Sedangkan bagian lain, mereka merasa sekali Tionghoa tetap Tionghoa! Jadi, memang tidak ada yang berani mengajukan semboyan “menurunkan derajat” untuk jadi Indonesia. Sinting, orang bilang ketika itu.
Begitulah PTI (Partai Tionghoa Indonesia) dimana Siauw tergabung, sudah bisa mendukung berdirinya GERINDO (Gerakan Rakyat Indonesia) 18 Mei 1937, yang berdasarkan keputusan Kongres di Palembang, menerima Oei Gee Hwat (Sekretaris Pengurus Besar PTI) menjadi salah seorang pengurus GERINDO. Ketika itu, GERINDO dibawah pimpinan A.K. Gani, Amir Syarifudin, Moh. Yamin dll. melanjutkan usaha perjuangan tokoh-tokoh PNI, Partindo, yang di-Digul-kan dan masih dalam pembuangan. Jadi, GERINDO menjalankan garis demokrasi yang mengutamakan perlawanan terhadap fasisme dan tidak mempersoalkan warna-kulit yang berbeda, bisa membuka pintu untuk menerima etnis Tionghoa.
Dari pekerjaan Siauw di Harian Matahari inilah, beliau bisa mendekatkan dirinya dengan pejuang-pejuang Kemerdekaan seperti Ir. Soekarno yang ketika itu masih dalam masa pembuangan di Endeh, Flores; Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri, yang dibuang di Bandaneire; dan juga Drs. Moh. Hatta yang masih dalam pengasingan di Banda. Dengan adanya koresponden dengan pejuang-pejuang Kemerdekaan inilah, Siauw meningkatkan kesadaran dan lebih mantap melangkahkan kaki dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
|
Ikut sertenya etnis Tionghoa dalam gerakan kemerdekaan Indonesia adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal, sekalipun kekuasaan lalim mantan Presiden Soeharto selama 32 tahun telah menggelapkan dan menghapus-nya dari catatan sejarah. Seolah-olah benar seperti yang dilihat anak-anak muda diera Orba, bahwa etnis Tionghoa hanya tenggelam dibidang ekonomi, tiada etnis Tionghoa yang terjun dibidang politik, tiada etnis Tionghoa yang mungkin ikut terlibat dalam gerakan kemerdekaan. Tapi setiap orang yang jujur, tentu tidak akan melupakan adanya nama-nama seperti Gam Hian Tjong, Auwyang Tjoe Tek yang tergabung di BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia, dibawah pimpinan Bung Tomo), The Djoe Eng (Pemain Sepakbola terkenal masa itu) tergabung di Laskas Merah, juga tidak sedikit pemuda etnis Tionghoa yang terlibat dalam KRIS (Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi). Juga peranan yang tidak bisa diabaikan dari Angkatan Muda Tionghoa dalam membantu memelihara keamanan ketika masa peralihan kekuasaan militer Jepang ke-kekuasaan Republik Indonesia, kemudian usaha membantu dan bekerjasama dengan BPRI dalam distribusi dan kesehatan digaris-depan melawan agresi-Belanda, serangan umum 10 Nopember 1945 di Surabaya dan selanjutnya.
Perjuangan meng-Indonesia-kan masyarakat etnis Tionghoa pada awal Kemerdekaan menjadi lebih berat dan sulit lagi, setelah menghadapi kenyataan masa “revolusi” banyak etnis Tionghoa justru sangat dirugikan, yang menjadi korban. Tak terhindar adanya kesalahan pemahaman atau pandangan ekstrim yang menganggap Revolusi boleh main babat, merampok harta-milik orang lain yang dibilang kapitalis, tuan-tanah dsbnya itu. Sehingga perampokan terjadi dimana-mana pada saat orang berbondong-bondong mengungsi, juga dengan dalih “bumi-hangus” merampok habis semua harta milik etnis Tionghoa, bahkan tidak sedikit sampai jatuh korban jiwa. Harta habis, jiwa-pun melayang. Dan, ….. semua ini yang mereka lihat dan rasakan pahitnya justru dilakukan oleh orang-orang yang dinamakan “pribumi”, bagaiaman mereka mau menyatukan diri dengan orang-orang yang merampok dirinya?
Dipihak lain, menghadapi perang urat-syaraf yang dilancarkan pihak Belanda untuk menjelekkan dan menjatuhkan nama Republik Indonesia yang masih bayi itu, dan yang dijadikan tumbal lagi-lagi adalah golongan etnis Tionghoa, golongan lemah yang minoritas ini. Pihak Belanda menggunakan kelemahan-kelemahan pemuda Indonesia menimbulkan kepanikan luarbiasa di Tanggerang, misalnya. Gerakan meng-Islam-kan masyarakat Tionghoa di Tangerang. Padahal, pembauran di Tanggerang telah berlangsung sangat baik. Orang tidak lagi bisa membedakan mana yang etnis Tionghoa lagi hanya dengan melihat dari warna-kulit dan pekerjaan yang dilakukan. Karena memang ciri-ciri etnis Tionghoa di Tanggerang boleh dikatakan sudah melenyap, satu-satunya yang masih bisa membedakan mereka adalah agama dan kepercayaan yang dianut, …. masih tetap Budha, Konghucu atau Taoisme. Dirumah-rumah mereka masih menempelkan kertas-kuning (kertas “Hoe” hasil sembahyang di Klenteng) untuk mendapatkan rejeki dan pengusir setan. Peristiwa Tanggerang yang berbau rasialis dan religius ini berhasil membuat panik masyarakat Tionghoa, menanamkan kebencian mereka pada Republik yang baru meredeka itu. Tentunya, juga menimbulkan kesan salah pada dunia internasional, bahwa Revolusi Indonesia rasialis dan pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar, ke-bebas-an bagi setiap orang menganut Agama dan kepercayaan.
Perang urat-syaraf dilanjutkan lebih intensif lagi oleh Belanda untuk mengadu-domba dan memecah-belah persatuan bangsa Indonesia, antara etnis Tionghoa dan penduduk yang dinamakan “pribumi” itu. Di Demak, diberitakan ada seorang “pribumi” meninggal-dunia karena keracunan makan tempe yang dibikin dengan air-sumur penduduk Tionghoa. Tanpa penyelidikan dan fakta-fakta yang ada, Komando-militer memerintahkan menahan semua pemuda etnis Tionghoa diatas 16 tahun. Lagi, di Jawa-Timur front Sidoarjo, beberapa pemuda yang mencoba menyerbu melewati garis pertahanan Belanda, tertangkap. Di-interogasi dengan disiksa secara kejam oleh pemuda etnis Tionghoa yang berpakaian seragam Belanda, dan sengaja menyatakan bahwa orang-tua mereka adalah korban-teror di Tanggerang. Setelah babak-belur, 2 pemuda ini dilepas kembali kedaerah Republik dan …. Jelas mempropagandakan apa yang dikehendaki Belanda itu, bukan hanya menyatakan digebukin oleh si-anu, tapi digebuki oleh si-Cina berseragam Belanda! Di-generalisasi, bahwa Cina-Cina itulah yang berpihak pada Belanda dan menganiaya mereka.
Dengan melancarkan peristiwa-peristiwa yang menghasut demikian, Belanda berhasil meningkatkan rasa curiga-mencurigai, membakar rasa kebencian dan dendam diantara etnis Tionghoa dan “pribumi”. Keadaan demikian ini jelas sangat tidak menguntungkan usaha meng-Indonesia-kan masyarakat etnis Tionghoa. Padahal usaha mempersatukan segenap kekuatan yang ada, termasuk etnis Tionghoa termasuk tugas pokok Revolusi Indonesia, yang ketika itu sedang menghadapi agresi militer Belanda I dan II.
Setelah perang Korea dan Amerika melancarkan aksi untuk membendung pengaruh komunis, tuntutan pada pemerintah Indonesia untuk penangkapan orang-orang komunis dan gerakan revolusioner di lakukan juga. Gerakan revolusioner di Indonesia mengalami ujian baru. Kabinet Su-Su (Sukiman, Perdana Menteri dan Suwirjo, Wakil Perdana Menteri) melancarkan penangkapan massal yang dikenal dengan “razzia Sukiman” atau “Red Drive II” (Red Drive-I, Peristiwa Madiun), belasan ribu orang dijebloskan dalam penjara tanpa proses pengadilan. Menangkap tokoh-tokoh PKI, atau tokoh-tokoh yang dianggap simpatisan PKI, termasuk tokoh-tokoh etnis Tionghoa yang dianggap pro-RRT dari black-list yang diajukan Kuomintang di Indonesia.
Satu pukulan yang sangat berat bagi perjuangan Siauw, ternyata pemerintah hasil perjuangannya sendiri itu-lah yang menangkap dirinya! Kenyataan pahit dan sangat menyedihkan ini, tidak meruntuhkan tekad Siauw menjadi putra baik Indonesia. Tapi beliau menjadi lebih sangat sedih, karena tidak berhasil meyakinkan seorang kawan seperjuangan yang lebih senior dari dirinya. Seorang kawan yang juga kena “razzia Sukiman” dan dipenjarakan itu, mengalami kekecewaan dan kejengkelan yang sangat berat, bagaimanpun juga tidak bisa menerima pemerintah yang diperjuangkan justru yang menangkap dirinya, akhirnya menggunakan hak repudiasinya melepaskan Kewarganegaraan Indonesia dan menjadi asing.
Lebih lanjut Siauw meneruskan perjuangannya dengan memimpin BAPERKI (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang didirikan 13 Maret 1954. Dibawah pimpinan Siauw, BAPERKI tumbuh besar didalam kancah perjuangan melawan menteri-menteri yang berpandangan rasialis, melawan segala keputusan UU, ketentuan yang berbau rasialis, membela kepentingan moyoritas etnis Tionghoa dan terus berusaha meng-Indonesia-kan masyarakat etnis Tionghoa.
Masalah Kewarganegaraan
Dengan adanya issue-issue RRT akan mengembangkan pengaruh komunis melalui Huakiao atau etnis Tionghoa yang ada di Asia, menjadikan mereka kolone-5 yang sangat membahayakan “keamanan-nasional”, maka masalah penyelesaian Dwi Kewarganegaraan selalu dipersulit dan menjadi berlarut-larut. Seperti yang dilakukan Mr. Sunarjo, menteri-luarnegeri ditahun 1955, kembali menentukan UU Kewarganegaraan dengan menggunakan “sistim aktif”, dimana setiap etnis Tionghoa harus secara aktif memilih Kewarganegaraan Indonesia, kalau tidak, dia menjadi asing. Dengan menggunakan “sistim aktif”, akan makin banyak etnis Tionghoa yang jadi asing. Karena banyak etnis Tionghoa yang jauh dari kota dan yang tidak mampu untuk membayar surat-surat yang diperlukan untuk jadi Warganegara Indonesia. Penghasilan yang didapat dari keharusan membuat Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia ternyata cukup memadai, sedang penghasilan dari penarikan pajak-orang asing juga tidak sedikit. Tapi apakah ini yang harus dijadikan bahan pertimbangan, dan oleh karena itu SBKRI sekalipun sudah dicabut, tapi dibawah tetap saja berlaku sampai sekarang? Padahal kalau kita ingat kembali, berdasarkan UU No.3/1946 sudah diputuskan UU Kewarganegaraan menggunakan “sistim pasif”. Jadi, bagi etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia otomatis menjadi dan diperlakukan sebagai warganegara Indonesia.
Dengan terbentuknya Republik Indonesia, terwujud pula secara resmi bangsa atau nasion Indonesia. Usaha membangun bangsa – Nation Building, harus dikaitkan dengan kewarganegaraan Indonesia. Kewarganegaraan Indonesia-lah yang memberi makna hukum keberadaan Nasion Indonesia. Bilamana pengertian ini dihayati, diskriminasi rasial tidak akan bisa dilegitimasikan, karena setiap Warga Negara Indonesia tentunya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kewarganegaraan Indonesia tidak mengenal perbedaan asal usul keturunan, agama dan status sosial-nya.
Bilamana dasar setiap UU dan peraturan serta kebijakan/pelaksanaan UU yang berlaku adalah konsep kewarganegaraan ini, setiap usaha yang mengandung diskriminasi rasial dengan sendirinya melanggar hukum dan harus ditindak atas dasar hukum yang ada. Dengan demikian, ratusan UU dan peraturan yang berbau diskriminasi rasial dan masih berlaku sampai sekarang, tentunya tidak memiliki legitimasi hukum dan harus segera dihapus. Mereka harus diganti dengan berbagai UU dan peraturan yang memungkinkan semua komponen bangsa – semua Warga negara Indonesia –untuk bisa menyumbangkan tenaga, pikiran, funds dan resources untuk kemajuan Indonesia secara keseluruhan, tanpa perbedaan apapun.
Masalah Ekonomi
Sejak awal kemerdekaan RI, di tahun 1950 Kabinet Natsir dengan Menteri Perekonomian Prof.Dr.Sumitro ketika itu, sudah mengeluarkan instruksi pada bank-bank negara untuk memberi kelonggaran syarat-syarat kredit pada pengusaha-pengusaha yang dinamakan “pribumi”, dengan demikian mengurangi bahkan menyetop pemberian kredit pada pengusaha “non-pribumi”(etnis Tionghoa). Maret 1956, dimulailah gerakan Assaat untuk “pribumisasi” distribusi. Menteri Asaat mengeluarkan ketentuan yang lebih kejam lagi, yang menuntut “pribumisasi” perdagangan dan distribusi, adanya importir “benteng” yang memperoleh fasilitas import macam-macam barang. Importir “benteng” yang dimaksud adalah, perusahaan yang 70% saham milik “pribumi”.
Pengalaman demikian membuktikan, sangat merugikan perkembangan ekonomi secara sehat. Pengusaha etnis Tionghoa terpaksa harus “meminjam” nama pejabat-tinggi atau jenderal yang dinamakan “pribumi” untuk duduk sebagai direktur yang “memiliki” 70% saham perusahaan. Dengan demikian tumbuh parasit-parasit yang menambah besar pengeluaran perusahaan dan akhirnya beban dijatuhkan pada rakyat banyak sebagai konsumen. Satu pemborosan yang tidak seharusnya terjadi!
Kemudian 14 Mei 1956, penguasa perang Jawa Barat lebih lanjut mengeluarkan peraturan melarang orang Tionghoa asing berdagang di desa-desa dan akhirnya berkembang menjadi yang kita kenal dengan PP-10/1959 yang merupakan “mini exodus” Huakiao yang sangat memalukan Indonesia. Etnis Tionghoa asing harus keluar meninggalkan desa-desa, dikumpulkan di kota-kota kabupaten tanpa ada pengurusan yang baik dari Pemerintah. Sebagian besar dari mereka dengan bantuan sanak-keluarga dan sahabat-sahabat bisa memulai dengan usaha baru di kota-kabupaten, tapi sebagian lainnya, yang tidak sedikit jumlahnya harus diangkut dengan kapal yang dikirim pemerintah RRT, kembali ke Tiongkok.
Ketentuan-ketentuuan dan tindakan-tindakan pihak penguasa yang berbau rasialis itu, jelas sangat merugikan perkembangan ekonomi Indonesia, dan sangat merugikan proses peralihan ekonomi Indonesia yang masih bersifat kolonial ke ekonomi nasional. Karena dengan perpindahan secara paksa dari desa-desa ke kota-kota, dan tidak adanya pengaturan yang baik dari pemerintah maka mereka (etnis Tionghoa) jadi kehilangan mata-pencaharian, menjadi penganggur. Dipihak lain, rakyat banyak secara langsung juga sangat dirugikan, karena harus membeli barang-barang dengan harga lebih mahal sedang hasil-bumi rakyat yang biasa dikumpulkan oleh orang-orang Tionghoa jadi macet, tidak mendapatkan saluran yang semestinya, barang-barang rusak-busuk tertumpuk. Peredaran barang-barang dari kota ke desa dan sebaliknya, jadi kacau-balau.
Untuk apa harus begitu? Mengapa tidak memusatkan segenap kekuatan yang ada untuk membangun ekonomi lebih cepat, meningkatkan kehidupan masyarakat lebih makmur dengan cepat sebagai tujuan utama. Gunakanlah sebaik-baiknya setiap orang yang benar-benar berkemampuan dan jujur dalam berusaha, tidak peduli dia “asli” atau peranakan Arab, peranakan Tionghoa, “pribumi” atau non-“pribumi”. Yang pasti, tidak semua orang, termasuk etnis Tionghoa bisa menjadi pengusaha yang baik dan sukses. Karena memang menjadi pengusaha diperlukan satu keahlian dan ketajaman mata melihat pasaran, pandai merebut kesempatan baik.
Masalah Pendidikan
Dibidang pendidikan, BAPERKI telah memainkan peranan yang seharusnya dilakukan pemerintah, dan sangat banyak membantu masyarakat etnis Tionghoa. Ketentuan pemerintah tahun 1958 yang melarang bagi anak-anak yang orang tuanya Warganegara Indonesia masuk sekolah Tionghoa. Dan sungguh celaka, pemerintah dalam mengeluarkan larangan tersebut, tidak lebih dahulu mempersiapkan penampungan anak-anak yang tidak lagi boleh sekolah Tionghoa itu, harus sekolah dimana. Akhirnya tugas ini dipikul oleh BAPERKI, Siauw berhasil mendapatkan dukungan kuat dari etnis Tionghoa totok. Tanpa ragu-ragu sekolah-sekolah Tionghoa bersedia membagi sebagian ruang-klas untuk menampung anak-anak yang WNI. Jadi, dalam sekejap berdirilah sekolah-sekolah SD sampai SMA diseluruh negeri untuk menampung anak-anak WNI yang tidak lagi boleh sekolah Tionghoa.
Juga dibidang perguruan tinggi. Menghadapi kenyataan adanya jatah penerimaan mahasiswa terhadap etnis Tionghoa yang tidak boleh lebih dari 5% di Universitas negeri. Satu ketentuan yang berbau rasialis yang seharusnya tidak terjadi di negeri berasaskan Pancasila. Ternyata, di Indonesia yang menjadi ukuran peneerimaan masuk Universsitas, bukan hasil angka ujian, bukan kemampuan belajar anak tersebut, tapi lebih mengutamakan warna-kulit orang, mengutamakan “pribumi” lebih dahulu. Akibatnya, banyak anak-anak etnis Tionghoa terlempar diluar sekolah. Bagi mereka yang mampu, masih ada kemungkinan meneruskan sekolah di luar-negeri, tapi kenyataan tidak sedikit anak-anak etnis Tionghoa yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Kasihan, tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi dengan sangat sedih!
Dengan “modal-dengkul” BAPERKI menggerakkan para sarjana untuk mendirikan fakultas yang pertama kedokteran gigi. Dengan kesigapan dr. gigi Be Wie Tjoen yang sangat aktif dan kesediaan Prof. Dr. gigi Mustopo, jenderal purnawirawan, terbentuklah Fakultas Kedokteran Gigi BAPERKI di tahun 1959. Kemudian menyusul Fakultas Teknik yang dipelopori oleh Ir. Pudjono dan Ir. Tan Heng Gwan, dan Fakultas Ekonomi yang dibantu oleh Prof. drs. E. Utrech, Mr. Lie Oen Hok. Dan resmilah pembentukan Universitas Baperki yang dinamakan Universitas Res Publica, dengan rektor pertama-nya Dr. F.L. Tobing. Setelah Dr. F. L. Tobing tutup-usia di tahun 1963, BAPERKI memutuskan pengangkatan Nyonya Utami Suryadarma sebagai gantinya. Dengan demikian Universitas Res Publica menjadi universitas pertama di Indonesia yang dipimpin oleh seorang wanita.