III. Integrasi wajar sebagai jalan pemecahan yang paling baik.
Kalau kita perhatikan, Siauw sejak muda sudah berpendirian untuk memecahkan masalah etnis Tionghoa, jalan terbaik adalah menyatukan diri dengan rakyat Indonesia, dan menjadikan aspirasi rakyat Indonesia sebagai aspirasi dirinya sendiri. Menunggal dengan rakyat. Dan itulah yang dikonsekwenkan dalam kehidupan dan perjuangannya untuk bersama-sama tokoh-tokoh gerakan-rakyat memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, dan kemudian dalam usaha membangun masyarakat adil dan makmur setelah mencapai kemerdekaan.
Menjadi satu dengan rakyat Indonesia, berjuang bersama-sama untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dalam kenyataan! Golongan etnis Tionghoa menjadi satu dengan rakyat, menunggal dengan rakyat. Menjadikan inspirasi rakyat banyak juga menjadi inspirasi golongannya, tanpa mempersoalkan perbedaan etnis-keturunan yang ada, tanpa mempersoalkan perbedaan agama yang dianut dan tanpa mempersoalkan perbedaan adat-istiadat setiap suku yang ada. Inilah yang dimaksud oleh BAPERKI “Integrasi Wajar” sesuai dengan makna yang diajukan oleh Liem Koen Hian dan Kwik Hing Tjiat di tahun-tahun 30-an.
Begitulah tokoh-tokoh Nasional seperti Dr. Wahidin, Dr. Sutomo pendiri Budi Utomo; Dr. Douwers Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantoro yang kita kenal sebagai tiga serangkai pendiri Indische Partij, begitu juga dengan mantan Presiden pertama Republik Indonesia – Soekarno, tidak pernah mempersoalkan setiap warganya beradasarkan suku dan keturunan. Yang menjadi persoalan hanyalah mempersatukan semua kekuatan rakyat yang ada dalam perjuangan melawan penjajah Belanda, perjuangan untuk mencapai Kemerdekaan dan kemudian pembangunan ekonomi nasional setelah Kemerdekaan! Sesuai dengan lambang Negera yang harus dijunjung tinggi, Bhineka Tunggal Ika, menerima segala perbedaan antara suku yang ada, dengan tidak mempersoalkan orang dengan nama yang 3 suku, tidak mempersoalankan perbedaan agama yang ada dan tidak mempersoalkan perbedaan adat-istiadat yang ada. Semua bersatu teguh dalam kesatuan Nasion Indonesia, bangsa Indonesia yang majemuk itu.
Gagasan lain adalah “Asimilasi total” yang diajukan oleh LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa), dan yang kemudian dilaksanakan secara intensif oleh Jenderal Soeharto setelah berhasil merebut kekuasaan Oktober 1965. Jadi semboyan “asimilasi total”, yang menganjurkan golongan Tionghoa menghilangkan ciri-ciri etnis Tionghoa, dimulai dengan ganti-nama, kawin campur bahkan menjadi Islam, inilah yang telah berlangsung selama lebih 30 tahun. Sedang pendapat yang diwakili oleh Baperki, “Integrasi Wajar”, dicampakan dengan tuduhan “komunis”, di”komunis”kan.
Memang, sejak berdirinya BAPERKI sudah mendapatkan stigma “merah” yang lebih dekat dengan PKI dan Presiden Soekarno. BAPERKI telah dicurigai hendak membawa golongan peranakan Tionghoa menjadi pendukung Partai Komunis Indonesia dan oleh mereka yang keranjingan komunisto-phobia BAPERKI dituduh menghendaki terbentuknya masyarakat komunis sebagai cara penyelesaian masalah Tionghoa. Benar-kah dan bisa-kah dikatakan Siauw dengan BAPERKI-nya menggandolkan pemecahan masalah etnis Tionghoa pada Soekarno, dan bersandar pada PKI untuk mencapai masyarakat sosialis sebagai jalan pemecahan masalah Tionghoa? Tuduhan demikian itu tentunya tidak berdasarkan kenyataan.
Siauw sendiri yang sejak mudanya sudah bertekad menyatukan diri dengan rakyat. Membantah tuduhan menggandolkan penyelesaian masalah Tionghoa pada Soekarno seorang, secara tegas menyatakan: “Selanjutnya juga telah cukup jelas, bahwa menggantungkan nasib golongan peranakan Tionghoa sebagai keseluruhan pada tetap berkuasanya orang atau orang-orang tertentu, tidak bisa tidak bersifat sementara saja. Orang bisa mati, atau segolongan orang bisa diganti karena prubahan perkembangan. Tetapi berhasil menyatukan diri dengan rakyat dalam rangka pelaksanaan proses integrasi wajar dengan rakyat sebagai pewujudan BHINEKA TUNGGAL IKA, merupakan jalan selamat lebih kekal.” (Lihat Siauw Giok Tjhan: “Lima Jaman”, edisi bahasa Indonesia, halaman 429)
|
Lebih lanjut Siauw menjelaskan keharusan menyatukan diri dengan rakyat: “Ada yang bahkan mengatakan : Politik bersatu dengan rakyat yang diajukan oleh BAPERKI adalah politik PKI. ………Kalau ada orang mengatakan bahwa Soekarno juga telah melaksanakan politik PKI, itu berarti terlalu membesarkan peranan PKI. Dulu, penjajah Belanda juga terlalu melebih-lebihkan kegiatan PKI, mereka menganggap bahwa perjuangan kemerdekaan nasional juga sebagai kegiatan PKI, sedangkan kenyataannya gerakan kemerdekaan nasional bukanlah monopoli orang-orang komunis.”
“Ada juga orang yang mengatakan BAPERKI sejalan dengan PKI, karena Baperki menyetujui terlaksananya persatuan nasional “NASAKOM”. Yang patut diajukan adalah : “Konsep kerjasama NASAKOM bukanlah diajukan oleh PKI, melainkan dikemukakan oleh presiden Soekarno dalam suatu sidang DPA. ……. Jika kita mengambil sikap menentang atau tidak acuh terhadap konsep NASAKOM, justru akan menempatkan diri kita sendiri berada dalam kedudukan terpencil dan patut dikutuk sebagai golongan yang bersikap “sektaris.”…. Menghadapi situasi semacam ini, sebagai suatu organisasi massa yang tidak terlalu besar, bila BAPERKI berusaha merintangi pelaksanaan konsep NASAKOM, pasti akan digilas babak belur oleh partai-partai politik besar, sehingga tak punya tempat berdiri lagi. BAPERKI menganjurkan integrasi berarti harus mendukung “NASAKOM”, harus ada kesesuaian kata-kata dengan tindakan, tidak boleh plintat-plintut ” (Lihat : “Bhineka Tunggal Ika”, edisi bahasa Tionghoa hal. 173 dan hal.159-161)
Baperki merupakan satu-satunya organisasi massa Tionghoa yang berhasil mendidik massanya untuk tidak hanya menjadi penonton dalam percaturan politik Indonesia. Mereka disadarkan untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya sehingga mudah untuk didorong berpartisipasi dalam menciptakan perubahan-perubahan yang dianggap positif untuk Indonesia secara keseluruhan. Mereka-pun disadarkan akan hak dan kewajibannya sebagai Warga Negara Indonesia. Animo untuk berpolitik para siswa dan mahasiswa sekolah-sekolah dan universitas-universitas Baperki tercatat tinggi dalam sejarah.
Lalu apa yang terjadi setelah “Asimilasi total” dilaksanakan selama 32 tahun lebih itu? Keadaan masalah Tionghoa jadi lebih baik-kah? Tentu saja tidak! Setelah mayoritas mutlak golongan etnis Tionghoa secara terpaksa mengganti nama, lebih banyak yang melangsungkan kawin campur dan bahkan juga tidak sedikit yang ganti agama, jadi Islam, tapi keadaan bertambah jelek, masalah Tionghoa tetap saja tidak selesai! Ketentuan-ketentuan yang berbau rasialis muncul satu persatu, lebih banyak lagi. Dari pelarangan menggunakan huruf-Tionghoa, mengganti istilah Tionghoa-Tiongkok menjadi Cina yang berkonotasi penghinaan, sampai pada pelarangan merayakan Imlek dan beribadah didepan umum. Kerusuhan SARA anti-Tionghoa terjadi lebih kerap kali, lebih luas skalanya dengan korban lebih berat lagi, dengan puncaknya tragedi Mei-1998. Gerak-gerik mereka selalu diawasi oleh Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Sedang Siauw sudah dijebloskan dalam penjara, BAPERKI sudah dibubarkan, tidak ada lagi kekuatan yang bisa tampil membela kepentingan etnis Tionghoa.
Ketentuan yang berbau rasialis, misalnya, 31 Desember 1966, Mayor Jenderal Soemitro sebagai Panglima Jawa Timur mengeluarkan peraturan penguasa perang daerah, yang isinya antara lain:
- Melarang orang Tionghoa asing untuk melakukan perdagangan grossier di luar ibukota propinsi, Surabaya;
- Melarang orang Tionghoa untuk pindah domisili dari satu bagian wilayah ke lain bagian wilayah Jawa Timur;
- Melarang digunakannya huruf dan bahasa Tionghoa dilapangan ekonomi, keuangan, pembukuan dagang dan telekomunikasi.
Jendral Purnawirawan Soemitro melalui memoarnya yang berjudul “Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib” bahkan secara bangga menyatakan apa yang diajukannya sebagai ketentuan-ketentuan penguasa perang daerah yang berbau rasialis itu, sebagai hasil pemikirannya yang “luar biasa”, ia antara lain mengatakan :”… Yang berbau Cina saya hilangkan. Saya larang pemakaian bahasa Cina di muka umum, saya larang mereka melakukan pembukuan dalam bahasa Cina, jualan dengan memakai bahasa Cina juga saya larang. Tentang agama saya sarankan mereka memilih agama yang ada di daerahnya, yaitu antara Islam, Kristen, Buddha dan Hindu. Suku mereka adalah suku di mana mereka lahir. Saya himbau bagi WNI agar nama diganti dengan nama Indonesia, atau suku di mana mereka lahir. Semua ini saya keluarkan pada tanggal 1 Januari 1967.”
Jendral yang satu ini lupa, bahwa pemikirannya itu adalah pelanggaran hak-hak asasi manusia yang bertentangan dengan jiwa Pancasila dan lambang negara Bhineka Tunggal Eka. Sebagai salah satu suku yang ada di Indonesia, golongan peranakan Tionghoa berhak mempertahankan dan mengembangkan adat-istiadat ke-Tionghoa-annya yang sudah berlangsung turun-temurun. Sebagaimana juga suku-suku yang lain di Indonesia, berhak mempertahankan dan mengembangkan adat-istiadat suku masing-masing. Suku Jawa berhak mempertahankan adat-istiadat Jawa-nya; suku Minang juga berhak mempertahankan adat-istiadatnya; suku Bugis juga berhak mempertahankan adat-istiadatnya. Biarlah setiap suku yang ada mengembangkan ciri-ciri suku yang baik, dan belajar dari keunggulan suku lain untuk memperbaiki kekurangan sendiri. Bagaikan seratus bunga mekar bersama memperindah taman sari dimana kita hidup bersama.
Dan Siauw sebagai anak rakyat, dimasa mantan Presiden Soeharto masih jaya, diakhir tahun 79, didalam karyanya “The Brighter Future” tetap optimis dengan menyatakan: “Apabila rakyat telah sadar, mereka pasti bertekad untuk mengubah situasi politik yang penuh dengan pertentangan ini menjadi situasi politik yang mendorong terjadinya kedamaian bangsa, yang positif, konstruktif dan harmonis. Prinsip demokratis yang sejati akan unggul, segala diskriminasi rasial akan lenyap oleh hukum, dan segala kebobrokan korupsi akan berakhir, setiap warganegera akan memperoleh perlakuan yang sama. Dengan demikian dapat ditegakkan semangat patriot sejati dan tanggung jawab atas kesejahteraan sosial, sehingga menjamin seluruh rakyat dapat mengecap kehidupan yang bebas dari rasa takut dan kemiskinan. Hari depan pasti cemerlang.”
Sekarang dimana reformasi sedang begulir dan demokrasi benar-benar telah menjadi tuntutan rakyat yang tidak bisa ditawar, maka harapan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang harmonis, damai-tentram, tidak ada lagi diskriminasi rasial, adil dan makmur bisa diwujudkan.
Benar-benar hari depan Indonesia pasti cemerlang!
Budaya-Tionghoa.Net | 1466
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net dan link aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.