Budaya-Tionghoa.Net | “Tragedi bulan Mei 1998, telah menggemparkan dunia. Korbannya kebanyakan dari etnis Tionghoa. Sebuah tragedi yang meninggalkan noda hitam dalam sejarah Indonesia. Sebagai penyair yang punya hati nurani, pasti mengutuk peristiwa tersebut dan menyampaikan simpatinya kepada para korban, dengan caranya seorang penyair….”(Tjandinegara, 1999, hal.28)
|
Pernyataan yang membuka tulisan ini cukup menghentak bukan? Tulisan tersebut merupakan pengantar Wilson Tjandinegara bagi 3 sajak dalam kumpulan sajak “Rumah Panggung Di Kampung Halaman”, untuk memberi perhatian terhadap peristiwa kerusuhan yang terjadi di bulan Mei 1998.
Satu halaman khusus pernyataan untuk mengantarkan 3 sajak-sajak yang diilhami tragedi tersebut. Sajak-sajak yang dimaksud adalah sebagai berikut:
KITA TAK BOLEH BERDIAM DIRI
Karena terus bersabar
kita sering jadi korban
jadi kambing hitamKarenanya, kita tak boleh berdiam diri!
Menerima perlakuan tidak adil
menahan diri terhadap hinaan orang
ternyata ada batasnyaKarena, kita tak boleh berdiam diri!
Kita juga manusia, adalah manusia!
punya hak yang sama
betapa mungkin diinjak-injakKarenanya, kita tak boleh berdiam diri!
Tangerang, Juni 1998
KAMBING HITAMSejak purbakala
yang paling banyak
di dunia ini
adalah ‘kambing hitam’Walau kulit dan bulunya hitam
namun darahnya sama merahPara ambisius pengejar kekuasaan
politisi pengobral janji
para orang culas
lempar batu sembunyi tanganMereka itulah
menghitamkan kambing
jadikan kurbanKetika dibutuhkan
mereka diperalat
ketika tak mampu kuasai situasi
dijadikan tumbalZaman apa pun
negara mana pun
yang paling malang nasibnya
adalah kau:
‘kambing hitam’
DI MANAKAH NURANIMU!Apakah dosanya
maka direncah kelopak bunga
dan dinodai tiada taraDi manakah nuranimu!
Hanya hewan
bisa melakukan
perbuatan terkutuk itu!Di manakah nuranimu!
Andai sang korban
adalah anak, istri
atau saudara perempuanmu
apakah kau terima?Di manakah nuranimu!
Kau reguk madu perawan
kau hancurkan masa depan
insan lemah tanpa dosa
kini memeluk duka laraDi manakah nuranimu!
Walau kali ini kau terbang bebas
takkan lolos pengadilan Tuhan!Ya, Tuhan! Turunkan hukum keadilan
bagi pelanggar ajaranmuTanggerang, Mei 1998
Terhadap tragedi Mei 1998 , Ariel Haryanto (1998) memberikan pernyataan: “…..sulit mengatakan bahwa pemerkosa adalah massa, atau tindakan mereka bersifat spontan. Bukan kejutan jika penelitian lebih lanjut akan menyimpulkan kejahatan itu merupakan sebuah paket program yang dipersiapkan dan diko-mando oleh kelompok yang ahli dalam kekerasan dan teror. Perkosaan massal itu merupakan bagian integral dari pembakaran aset ekonomi nasional dan lebih dari seribu nyawa
penjarah dalam beberapa jam saja. Kelakuan immoral itu tak mungkin dilakukan oleh rata-rata manusia Indonesia. Moral-itas menjadi modal utama perjuangan generasi muda Indonesia menumbangkan otoriterisme Orde Baru. Tindakan immoral bulan Mei itu hanya mampu dilakukan oleh mereka yang berada jauh di bawah atau jauh di atas rata-rata manusia Indonesia.”
Pada halaman lain pada buku RPDKH tersebut ada bagian yang menuturkan pengalaman kreatif dan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya. Sebagai seorang yang merasa sebagai bagian masyarakat yang dimarjinalkan, Wilson Tjandinegara berkomentar: “Selama ini ada anggapan yang kurang obyektif terhadap kaum keturunan Tionghoa. Meraka dianggap pelit, egois, anasionalis, tidak peduli pada orang lain dan hanya mencari keuntungan”.(Tjandinegara, 1999, hal.34)
Ariel Haryanto (1998) melihat persoalan itu sebagai: “seperti korupsi atau kolusi, rasialisme anti-Cina sudah merasuk dan melembaga dalam kehidupan sosial. Dalam berbahasa pun rasialisme itu dihayati dan diamalkan secara lumrah. Misalnya populernya istilah pribumi dan nonpribumi. Fiksi ciptaan kolonialisme Belanda ini telah dimanfaatkan secara maksimal oleh Orde Baru. Di akhir abad 20 ini sudah tidak adalagi makhluk pribumi. Kita semua adalah nonpribumi: tengok bahasa, menu, busana, perabot rumah, atau rekreasi dan hiburan kita. Baik struktur lembaga, cita-cita maupun istilah “Republik Indonesia” sepenuhnya bersifat nonpribumi!”
Dalam pencariannya terhadap riwayat identitas diri, Wilson Tjandinegara menuangkan tipikal pembauran alami yang terjadi di sebuah tempat di daerah Tangerang yang terkenal dengan “Cina Benteng.”
BALADA SEORANG LELAKI DI NAN YANG
Sejak abad lima belas
dengan perahu Jung
mereka arungi lautan ganas
larikan diri dari bencana dan malapetaka
tinggalkan negeri leluhur
mencari tanah harapan di Nan Yang*Perkampungan nelayan di Teluk Naga
seorang encek pembuat arak
mengubur kesendiriannya
bersama seorang pendamping setia
gadis pribumi lugu sederhanaKikuk seperti ayam dan itik
yang satu pakai sumpit
yang satu doyan sambel
dengan bahasa isyarat
berlayar biduk antar bangsa
beranak pinak dalam kembaraDari generasi ke generasi
warna kulit makin menyatu
jadilah generasi persatuan:
‘Cina Benteng’
teladan pembauranSungai Cisadane jadi saksi
perjalanan hidup kedua anak bangsa
bersama melwan penjajah Belanda
bergotong royong
terjalin persaudaraan sejati
seperti Cisadane terus mengalir
dari abad ke ke abad
menuju tanah air-IndonesiaTangerang, 1996
* Nan Yang : Samudera Selatan (Asia Tenggara)
Tentang riwayat nenek moyang tersebut Leo Suryadinata (1999) mengatakan bahwa: “Sebelum terjadi imigrasi massal etnik Tionghoa ke Asia Tenggara, khususnya ke Indonesia dan Malaysia, masyarakat Tionghoa di kedua kawasan itu sangat kecil. Pada umumnya, anggotanya telah berbaur ke dalam masyarakat setempat. Pada masa itu, transportasi sulit. Orang Tionghoa, dilarang oleh kerajaan Tiongkok untuk meninggalkan negaranya. Mereka yang meninggalkan tanah leluhurnya juga tidak membawa keluarganya. Jadi, wajar jika mereka akhirnya mengawini wanita setempat. Umumnya wanita Islam nominal dan tinggal menetap di tempat itu. Karena jumlahnya yang kecil, orang Tionghoa ini bertendensi yang berintegrasi dengan masyarakat lokal. Keturunan mereka akhirnya tidak lagi menguasai bahasa Tionghoa dan menggunakan bahasa Melayu-lingua franca dalam Nusantara untuk berkomunikasi (setelah 1928, bahasa Melayu dinamakan bahasa Indonesia). Namun, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terjadi imigrasi massal yang menimbulkan masyarakat totok, yaitu masyarakat yang terdiri atas pendatang baru yang masih berbahasa Tionghoa.”
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, mereka membuat karya-karya sastra, dan dalam sejarah sastra kita sering disebut sastra peranakan Tionghoa.
Menurut Leo Suryadinata (1999) Sastra peranakan Tionghoa adalah karya sastra dalam bahasa Indonesia yang dihasilkan oleh orang Tionghoa yang dilahirkan di Indonesia. Sastra ini mulai muncul pada akhir abad ke-19 dan mulai “merosot” sesudah Perang Dunia II (PD II).
Saat ini terasa ada kebangkitan lagi bagi sastra tionghoa dalam mewarnai sastra Indonesia. Sastra yang menjembatani antara dua budaya ini oleh Wilson Tjandinegara coba diperkenalkan dengan istilah “Inhoa”.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh Wilson Tjandinegara adalah dengan menerjemahkan beberapa karya sastra dari tionghoa ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya.
Mengenai sajak-sajak pribadi Wilson Tjandinegara sendiri, Korrie Layun Rampan (1999), dalam acara diskusi peluncuran buku “Rumah Panggung Di Kampung Halaman” (1999) memberikan tinjauan: Sajak-sajak Wilson Tjandinegara termasuk puisi-puisi yang sederhana dalam bentuk. Dengan struktur baris dan baitnya yang relatif tetap, penyair ini mendayagunakan pola-pola tradisional dalam membangun imaji estetik. Dengan penemuannya terhadap bahasa, puisi-puisi Wilson dibangun secara diafan dengan pilihan kata yang komunikatif. Meskipun tidak ditulis dalam bentuk balada atau puisi naratif, pada dasarnya sajak-sajak Wilson merupakan sajak berkisah. Dengan demikian, sebenarnya sajak-sajak ini menampakkan pola puisi kalimat yang dibangun dalam lirik. (Rampan, 1999) Puisi kalimat secara dasariah dibangun oleh struktur dan logika prosa. Struktur demikian melahirkan sifat khas ciptaan yang selalu kembali kepada tema. Secara meyakinkan penyair ini menjauhi sifat-sifat prismatis dalam memilih dan menempatkan kata.
Dengan demikian kata-kata sajak selalu bersifat dependen terhadap sintaksis di dalam baris dan bait. Seperti kesatuan pantun atau syair, ia akan kehilangan makna jika salah satu bagian dari kata maupun kalimatnya dihilangkan. Model penciptaan seperti ini berseberangan dari apa yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri yang menempatkan kata secara independen dalam struktur sintaksis maupun dalam kesatuan bait. (Ibid, 1999)
Ada satu hal yang unik pada Wilson Tjandinegara dalam hubungannya dengan sastra dan dunia bisnia: “Pada akhir tahun 1995, saya mengundurkan diri dari dunia bisnis, dan total dalam bersastra. Dalam masyarakat kita, yang sering terjadi adalah orang meninggalkan sastra dan memilih bisnis, namun saya justru sebaliknya meninggalkan bisnis dan menekuni sastra. Ini membuat kebanyakan sanak keluarga saya heran.
Namun, dengan teguh saya memilih dunia sastra, sebuah jalan yang sunyi sepi. Ini demi mewujudkan cita-cita saya sejak remaja, karena sejak remaja saya sudah menyukai sastra”.(Tjandinegara, 1999, hal.33)
Dalam biodata singkat yang termuat pada buku ini, kita juga akan mengetahui bahwa: Wilson Tjandinegara, lahir dalam keluarga keturunan Tionghoa miskin di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, 20 Desember 1946. Pendidikan formalnya hanya sampai Sekolah Menengah Pertama. Dan sejak usia 12 tahun ia sudah harus membantu orang tuanya mencari nafkah. Ia seorang otodidak. Sejak tahun 90-an mulai menekuni sastra. Tahun 1995 hijrah ke Tangerang, Jawa Barat. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Puisi Untukku (1995) dan Rumah Panggung Di Kampung Halaman (1999). Karya terjemahannya: Perjalanan Hidup Saya Yang berliku dan Penuh Rintangan karya Lie Chiu Mo (1996, bersama Alu Barli); Bisikan Hati karya Teo Un (1996, kumpulan puisi); 55 Puisi Cinta Mandarin (1998); Menyangga Dunia Di Atas Bulu Mata (1998); Kumpulan Cerpen Mini Inhoa (1999).
RUJUKAN:
- Ariel Haryanto, 1998, http://members.xoom.com/megatruh/bhinneka/98061049.html
- Korrie Layun Rampan, 1999, makalah diskusi “Menengok Rumah Panggung Di Kampung Halaman”, Komunitas Sastra Indonesia
- Leo Suryadinata, 1999, http://www.egroups.com/group/indo_chaos/3286.html
- Wilson Tjandinegara, 1999, Kumpulan sajak Indonesia-Tionghoa “Rumah Panggung Di Kampung Halaman”, Komunitas Sastra Indonesia