Budaya-Tionghoa.Net | Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas masyarakat-masyarakat sukubangsa yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional dari masyarakat negara tersebut. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini penekanan keanekaragaman adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Dalam masyarakat Indonesia, setiap masyarakat sukubangsa secara turun temurun mempunyai dan menempati wilayah tempat hidupnya yang diakui sebagai hak ulayatnya yang merupakan tempat sumber-sumber daya dimana warga masyarakat sukubangsa tersebut memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.
|
Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal, tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politiklnya (Suparlan 1979). Tanpa disadari oleh banyak orang Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas, Sebagaimana yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap mereka dalam berbagai interaksi baik interaksi secara individual maupun secara kategorikal baik pada tingkat nasional (seperti posisi orang Cina yang minoritas dibandingkan dengan pribumi) maupun pada tingkat masyarakat lokal (seperti posisi orang Sakai yang minoritas dibandingkan dengan posisi orang Melayu yang dominan di Riau) (Suparlan 1995).
Penekanan dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, yaitu pada keanekaragaman sukubangsa telah menghasilkan adanya potensi konflik antar-sukubangsa dan antara pemerintah dengan sesuatu masyarakat sukubangsa. Potensi-potensi konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada bersamaan dengan keberadaan coraknya yang secara sukubangsa majemuk. Sumber dari permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah-wilayah kedaulatan dan kekuasaan sistem nasional atau pemerintah pusat.
Pertanyaan mengenai siapa yang paling berhak atas sumber-sumber daya tersebut adalah karena sumber-sumber daya tersebut ada di dalam wilayah-wilayah hak ulayat masing-masing masyarakat sukubangsa, dan bahwa Indonesia sebagai sebuah masyarakat dan bangsa secara de jure dan de facto baru ada setelah proklamasi 17 Agustus 1945 atau lebih muda dibandingkan ndengan keberadaan masyarakat-masyarakat sukubangsa dan wilayah-wilayah hak ulayat mereka. Sehingga pemerintahan nasional berada dalam posisi yang dipertanyakan mengenai keabsahannya dalam turut meng-haki, atau bahkan mengambil alih dan memonopoli, sumber-sumber daya yang ada dalam hak ulayat masyarakat-masyarakat sukubangsa. Karena itu hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa menjadi permasalahan yang kritikal dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dan dalam kehidupan bermasyarakat pada tingkat nasional dan lokal berkenaan dengan konflik kepentingan antara pemerintah nasional dan masyarakat-masyarakat sukubangsa atas sumber-sumber daya tersebut.
Dampaknya adalah bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa sebagai sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi sosial, menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas diantara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan sumber-sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka. Dampak lebih lanjut dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah ditegaskannya batas-batas kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa setempat berkenaan dengan hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan siapa yang asing. Penggolongan kesukubangsaan ini mempunyai buntut perlakuan sosial, politik, dan ekonomi oleh masyarakat sukubangsa setempat terhadap berbagai golongan tersebut diatas berupa tindakan-tindakan diskriminasi dari yang paling ringan (digolongkan sebagai pribumi tetapi tidak asli setempat dan karena itu mempunyai posisi minoritas) sampai dengan yang terberat (orang Cina, yang digolongkan sebagai asing).
Dampak lainnya dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan untuk perebutan sumber-sumber daya adalah bahwa ideologi kesukubangsaan ini, secara sadar atau tidak sadar, juga melandasi corak kegiatan dari sistem nasional. Ide bahwa orang Cina itu secara kesukubangsaan adalah asing lebih dominan dibandingkan dengan ide dan kenyataan bahwa orang Cina itu adalah warganegara Indonesia. Sehingga yang terjadi adalah, walaupun orang Cina itu sudah menjadi warganegara Indonesia tetapi tetap juga didiskriminasi secara hukum dan secara sosial.
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial terhadap orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara dominannya ideologi kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada tingkat nasional dengan kesukubangsaan Cina sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan dan perebutan sumberdaya. Uraian dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan mengenai hakekat masyarakat majemuk dan dominannya ideologi kesukubangsaan, kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial yang muncul dan digunakan dalam interaksi, masalah pribumi asli sebagai lawan dari tidak asli dan asing dan berbagai dampak diskriminatifnya.