Kesukubangsaan Sebagai Kekuatan Sosial
Tidak dapat disangkal bahwa kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial diantara sesama anggota sukubangsa, dan kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan sebagai solidaritas sosial yang mempunyai kekuatan sosial yang memaksakan diberlakukannya sesuatu kenbijaksanaan politik atau ekonomi, memenangkan sesuatu persaingan untuk memperebutkan sumber daya, atau untuk menghancurkan sesuatu kelompok sukubangsa lain yang menjadi lawan. Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada saat kesukubangsaan tersebut terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.
Dari satu segi, kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial mirip dengan keyakinan keagamaan. Karena keyakinan keagamaan pada waktu terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial juga tidak dapat ditawar atau diremehkan. Kedua-duanya mempunyai potensi merusak yang sama besarnya di dalam konflik antar-sukubangsa atau antar-keyakinan keagamaan. Tetapi dari segi lain, kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan tidaklah sama. Karena kesukubangsaan mempunyai efektivitas kekuatan sosial dalam batas-batas sesama anggota sukubangsa, sedangkan keyakinan keagamaan mempunyai jangkauan solidaritas sosial hanya dalam salah satu segmen masyarakat sukubangsa, dalam sesuatu masyarakat sukubangsa, atau di luar batas-batas sesuatu masyarakat sukubangsa. Karena itu, di satu sisi, keyakinan keagamaan dapat memperkuat atau memperlemah kekuatan sosial dari kesukubangsaan, sedangkan di sisi lain kesukubangsaan dapat tunduk dan berada di bawah bayang-bayang kekuatan keyakinan keagamaan.
Sebagai kekuatan sosial, kesukubangsaan beroperasi dalam batas-batas wilayah sukubangsa tempat anggota-anggota sukubangsa itu hidup. Sedangkan keyakinan keagamaan sebagai kekuatan sosial beroperasi dalam batas-batas wilayah para penganut agama yang bersangkutan, yaitu dalam sebagian dari wilayah kehidupan sukubangsa, atau keseluruhan wilayah kehidupan sukubangsa, atau dalam sebuah wilayah yang mencakup dua atau lebih wilayah kehidupan sukubangsa yang berbeda. Karena itu kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat saling memperkuat atau memperlemah jatidiri dan potensi kekuatan masing-masing, dalam hubungan antar-sukubangsa ataupun dalam hubungan antar keyakinan keagamaan.
Bruner (1974) pada waktu membahas teorinya mengenai ‘hipotesa kebudayaan dominan’ sebenarnya berbicara mengenai kesukubangsaan sebagai sebuah kekuatan sosial politik (lihat Suparlan 1999). Salah satu kekuatan kesukubangsaan yang dapat dilihat dan diamati sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dari sebuah masyarakat sukubangsa adalah kemampuannya untuk menentukan macam mata pencaharian yang dapat dikerjakan oleh pendatang dari sukubangsa lain. Bila pelanggaran dilakukan maka konflik antar sukubangsa dapat terwujud, seperti dalam kasus Kalimantan Barat dan Ambon (Suparlan 2000a, 2000b, 2001).
Di masa lampau hanya di kota-kota besar terdapat kehidupan masyarakat yang kesukubangsaannya beranekaragam. Tetapi pada masa sekarang hampir seluruh wilayah Indonesia secara sukubangsa adalah heterogen, dimana anggota-anggota sukubangsa dari berbagai sukubangsa dan daerah yang berbeda-beda telah secara berdampingan hidup dalam komuniti-komuniti dari kelompok-kelompok sukubangsa setempat. Sehingga hubungan antar-sukubangsa menjadi lebih intensif daripada di masa lampau, dan hal ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan berkenaan dengan pengakomodasian perbedaan-perbedaan budaya antara pendatang dengan penduduk setempat karena hampir semua pendatang yang hidup di komuniti-komuniti setempat mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan lebih agresif. Permasalahan hubungan antara pendatang dengan masyarakat setempat terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya. Tingkat agresifitas secara ekonomi dari para pendatang adalah masalah yang paling kritikal dalam persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang ada setempat. Karena, masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah serta pemilik atas sumber-sumber daya alam yang ada di dalam wilayah hak ulayat mereka sedangkan para pendatang dilihat sebagai tamu mereka.
Komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat yang mayoritas dan dominan menekankan penggunaaan prinsip “dimana bumi dipijak langit dijunjung” sebagai acuan yang harus dijadikan pedoman oleh para pendatang. Secara langsung atau tidak langsung komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat mendiskriminasi para pendatang dalam hak dan kewajiban berkenaan dengan upaya eksploitasi dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada setempat serta pendistribusiannya. Dalam keadaan dimana prinsip tersebut tidak lagi ditaati oleh para pendatang anggota masyarakat setempat dapat memberi peringatan atau melaporkannya kepada polisi setempat. Tetapi dalam keadaan dimana pelanggaran yang dilakukan oleh pendatang telah melampaui kelaziman hubungan ‘tamu’ dengan ‘tuan rumah’ nya, anggota-anggota komuniti dan masyarakat setempat mengaktifkan dan menggunakan kesukubangsaan untuk mengorganisasi diri mereka sebagai satuan-satuan perang, seperti yang telah terjadi di Kalimantan Barat, Ambon, dan Kalimantan Tengah.
Orang Cina yang telah datang ke Indonesia selama berabad-abad dan terus berdatangan hingga sekarang ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi sebagai tamu dalam prinsip “dimana bumi dipijak dan langit dijunjung” yang ditekankan oleh komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat. Karena itu di masa lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa setempat dengan orang Cina. Hubungan kawin-mawin antara orang-orang Cina dengan perempuan pribumi setempat telah memungkinkann berubahnya status ‘tamu’ menjadi kerabat dari anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat. Perubahan status ini telah memungkinkan berubahnya status ‘tamu’ menjadi orang sendiri yang dalam batas-batas tertentu telah memungkinkan keturunan mereka itu juga mempunyai hak-hak atas tanah dari kelompok kerabat setempat.
Diantara orang-orang Cina yang hidup di Indonesia yang secara relatif terbebas dari posisinya sebagai tamu adalah komuniti orang Cina di Singkawang. Orang Cina yang sekarang hidup di Singkawang adalah keturunan dari nenek moyangnya yang telah datang ke tempat ini dan sekitarnya karena tertarik pada adanya emas di Monterado dan Mandor. Mereka telah datang dan menetap di Singkawang sebelum adanya orang Melayu atau Dayak yang menetap di daerah tersebut. Di masa lampau mereka ini merupakan komuniti-komuniti yang masing-masing berdiri sendiri berdasarkan atas kesukubangsaan dan asal daerah di Cina, yang menjalin hubungan diantara sesama komuniti tersebut, disamping menjalin hubungan baik dengan kesultanan Sambas dan dengan masyarakat Dayak yang ada di sekeliling Singkawang. Pada masa sekarang, mereka ini diperlakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai warga negara Indonesia keturunan asing, dan bersamaan dengan itu berbagai peraturan mengenai kewarganegaraan tersebut diberlakukan terhadap mereka, sama dengan yang dibelakukan terhadap orang-orang Cina di Indonesia. Kalau di masa lampau posisi mereka di Singkawang seperti pribumi, maka posisi mereka sekarang ini adalah seperti orang asing yang menjadi tamu di wilayah orang Melayu dan Dayak.
Kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, sebetulnya terdapat kontradiksi antara kebijaksanaan diskriminasi dan yang dilakukaan oleh presiden Suharto dan pajabat-pejabat sipil ABRI terhadap orang Cina (lihat: Nuranto 1999, Wibowo 1999). . Karena presiden Suharto dan penguasa Orde Baru telah menggunakan orang-orang Cina sebagai bankir dan pelaksana perusahaan-perusahaan mereka. Dalam posisi tersebut orang-orang Cina telah memperoleh berbagai keistimewaan dan fasilitas yang telah menyebabkan mereka ini secara mencolok menjadi konglomerat bersamaan dengan posisi informal yang mereka punyai dalam pemerintahan Orde Baru. Mereka itu adalah individu-individu dan bukannya kategori atau golongan. Tetapi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, yang mereka lihat bukanlah kemunculan individu-individu konglomerat Cina pada tingkat pusat atau nasional dan pada tingkat lokal atau pemerintahan di daerah-daerah dalam struktur Orde Baru, tetapi kemunculan orang Cina sebagai sebuah golongan askriptif menjadi konglomerat sebagai hasil kong kali kong dengan para pejabat Orde Baaru. Sehingga yang disimpulkan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya adalah bahwa orang-orang Cina sebagai kategori adalah konglomerat, dan bahwa kekayaan mereka yang berlimpah tersebut adalah hasil dari korupsi dan pemanipulasian kekuasaan para pejabat yang mereka dorong untuk dilakukan dan mereka nikmati, dan dengan cara memonopoli pengeksploitasian sumber-sumber daya alam dan ekonomi yang ada di wilayah Indonesia.
Kambing hitam memang ciri-ciri kategorikal, bukan ciri-ciri individual atau perorangan. Sehingga semua orang yang bercirikan Cina, dengan segala atribut ke- Cinaanya digolongkan sebagai kambing hitam yang konglomerat dan jahat. Karena itu mereka ini harus dihancurkan supaya kehidupan ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Secara sadar atau tidak sadar orang-orang Indonesia telah menggolongkan orang-orang Cina di Indonesia sebagai sebuah sukubangsa, yaitu sebuah golongan sosial yang askriptif berdasarkan prinsip pengakuan dan diakui secara sosial, berdasarkan atas sejumlah atribut yang menjadi ciri-cirinya, dalam kasus pengkambing hitaman terhadap mereka seperti tersebut diatas.
Sebagai sebuah sukubangsa, orang Cina dilihat sebagai mempunyai ciri-ciri fisik tubuh yang berbeda dari sukubangsa-sukubangsa pribumi, terkecuali di Minahasa atau di beberapa tempat di Kalimantan, dan di Sulawesi Tengah. Secara kebudayaan dan bahasa lisan dan tertulis, kebudayaan dan ungkapan-ungkapannya, nilai-nilai budaya, dan keyakinan keagamaan yang menjadi atribut bagi ciri-ciri ke Cinaan mereka juga berbeda dari sukubangsa-sukubangsa ‘pribumi’. Dengan mudah mereka dilihat sebagai orang ‘asing’ dan diperlakukan sebagai ‘asing’ dalam kehidupan masyarakat sukubangsa setempat dengan mengacu pada diskriminasi secara hukum yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan kehidupan mereka yang terpusat pada perdagangan, industri, dan berbagai pelayanan jasa yang anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat kurang atau tidak menggelutinya, telah membuat mereka itu menjadi sebuah sukubangsa nampak berbeda dan dengan mudah diidentifikasi sebagai golongan sukubangsa yang berbeda.
Sebaliknya, orang Cina juga menciptakan batas-batas sukubangsa yang dilakukannya diantara mereka yang berasal dari golongan sukubangsa atau asal daerah yang berbeda di Cina, dan yang berbeda secara strata sosial karena perbedaan kemampuan ekonomi. Dan, menciptakan serta memantapkan batas-batas sukubangsa dengan masyarakat sukubangsa setempat dimana mereka itu hidup. Jarak sosial dan budaya dengan masyarakat sukubangsa setempat ini lebih dipertegas pada waktu keyakinan keagamaan mereka yang memperbolehkan memakan daging babi dipertentangkan dengan keyakinan Islam dari masyarakat sukubangsa setempat. Walaupun terjadi batas-batas sukubangsa antara orang Cina dengan orang dari sukubangsa setempat, terkecuali yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama, tetapi hubungan simbiotik secara indvidual dan kelompok antara orang Cina dengan anggota-anggota masyarakat setempat telah terjadi selama adanya orang Cina di masyarakat setempat. Yaitu hubungan simbiotik dalam kehidupan ekonomi atau pasar, sesuai dengan tesis Furnivall (1948). Hubungan simbiotik seperti ini sebenarnya rapuh karena tidak didukung oleh adanya hubungan-hubungan sosial dan budaya yang dimantapkan melalui pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat setempat.
Kerapuhan ini, diperkuat oleh pandangan kesukubangsaan dari pemerintah yang melihat orang Cina sebagai satuan sukubangsa pendatang atau orang asing walaupun mereka itu telah menjadi warganegara Indonesia. Pandangan kesukubangsaan ini diwujudkan dalam bentuk perundangan yang diskrimitif berkenaan dengan status mereka yang warganegara, yaitu seorang anak Cina dari orang tua yang warganegara Indonesia masih harus secara aktif memohon pemebrian kewarganegaran Indonesia kepada pemerintah. Sedangkan anak dari orang Arab atau sukubangsa lainnya tidak diharuskan melakukan hal itu.
Posisi orang Cina yang digolongkan sebagai asing dan didiskriminasi seperti tersebut diatas, pada masyarakat-masyarakat lokal sebenarnya tidak separah diskriminasi yang dilakukan secara hukum oleh pemerintah Karena, melalui hubungan simbiotik seperti tersebut diatas, kategori Cina dikenal dan disahkan keberadaannya di dalam dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal yang bersangkutan. Selama bergenerasi dikenal nama orang Cina atau Cine dalam kehidupan orang Jakarta, orang Cino dalam kehidupan orang Melayu Riau, orang Cine menurut orang Melayu Kalimantan Barat, wong Cino menurut kata orang Jawa. Bahkan pada orang Jawa sebutan piyantun Cinten (priyayi Cina), dalam bahasa Jawa halus atau bahasa penghormatan, juga diberlakukan bagi orang Cina yang berpenampilan sebagai terpelajar atau priyayi, seperti dokter dsb.
Apa yang menarik untuk diperhatikan adalah gejala kemunculan konsep Tionghoa yang sekarang diaktifkan untuk digunakan oleh orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh Cina, terutama di Jakarta. Mereka dengan tegas menolak disebut orang Cina, dan bersamaan dengan itu menuntut untuk dipanggil dengan sebutan orang Tionghoa atau Chinese (dari bahasa asing yang artinya juga orang Cina). Saya tanyakan mengapa mereka tidak mau disebut orang Cina, padahal dari dulunya mereka itu juga disebut orang Cina. Jawabannya adalah kata Cina adalah kata penghinaan, karena mereka itu sering disebut atau diteriaki “Cina, lu”. Lalu mengapa mereka itu ingin disebut sebagai orang Tionghoa? Jawabannya adalah karena kata Tionghoa berarti orang dari Kerajaan tengah atau Pusat Kerajaan di Cina, atau dengan kata-kata lain mereka ini minta diperlakukan sebagai orang kerajaan atau penguasa dari Cina yang datang dan hidup di Indonesia. Jadi, mereka ini orang asing, bukan orang Cina yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat-masyarakat lokal. Ciri keasingan mereka itu juga ditegaskan kembali dalam pengidentifikasian diri sebagai orang Chinese. Sebutan yang biasanya ditujukan kepada orang Cina yang berasal dari luar Indonesia atau orang asing.
Sebagai catatan penutup patut dicatat bahwa oranmg-orang Cina di Indonesia, yang warga negara Indonesia, ingin diperlakukan sebagai orang Indonesia baik secara hukum maupun secara sosial dan budaya sama dengan perlakuan yang diterima oleh setiap orang Indonesia dari sukubangsa manapun, tanpa ada diskriminasi walaupun mereka ini keturunan asing yang bukan pribumi Indcnesia.
Tetapi di lain pihak, mereka ini tidak mau disederajatkan secara sosial dan budaya dengan sukubangsa-sukubangsa yang hidup di Indonesia. Mereka menuntut diperlakukan sebagai sebagai orang asing yang terhormat dan dalam jenjang yang lebih tinggi daripada orang-orang Indonesia lainnya, yaitu minta diperlakukan sebagai orang dari pusat kerajaan Cina. Ada baiknya tokoh-tokoh dan cendekiawan Cina memikirkan sungguh-sungguh tuntutan untuk disebut sebagai orang Tionghoa atau orang Chinese bila mereka tidak ingin diperlakukan sebagai orang asing dan tidak ingin didiskriminasi. Ada baiknya jika mereka belajar dari pengalaman orang-orang Cina di Amerika (Suparlan 2002), yaitu bagaimana mereka itu dari kategori orang Cina di Amerika yang didiskriminasi secara hukum dan sosial bisa menjadi orang Cina Amerika yang semula secara sosial didiskriminasi tetapi secara bertahap menjadi bagian dari masyarakat Amerika yang sama hak dan kewajibannya dengan setiap orang Amerika lainnya. Jadi bukan mengaktifkan dan menunjukkan diri sebagai orang Tionghoa atau Chinese yang orang asing, yang hanya akan mengasingkan dan mendiskriminasikan mereka secara hukum dan secara sosial sebagai orang asing.
Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang penekanannya pada pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang Cina sebagai orang asing walupun orang Cina tersebut berstatus sebagai WNI. Upaya-upaya secara sosial, ekonomi, dan politik dari orang Cina di Indonesia dalam menunjukkan bahwa mereka itu bagian dari masyarakat Indonesia dan yang menunjukkan bahwa mereka itu orang Indonesia adalah yang utama. Masalah ini menuntut dilakukannya kajian-kajian secara mendalam baik oleh para cendekiawan dan tokoh-tokoh Cina di Indonesia maupun oleh ilmuwan sosial yang mempunyai perhatian mengenai hal itu.
Secara hipotetis mengingat corak masyarakat Indonesia yang menekankan kesukubangsaan dan afiniti mungkin dua isyu dapat didiskusikan, yaitu: apakah orang Cina di Indonesia harus diperlakukan sebagai sebuah sukubangsa, atau orang Cina di Indonesia dilihat sebagai bagian dari sukubangsa-sukubangsa setempat dimana mereka itu telah dan sedang hidup di dalam masyarakatnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bruner, Edward M., 1974, “The Expression of Ethnicity in Indonesia”. Dalam Abner Cohen (ed), Urban Ethnicity. Hal. 251-288. London: Tavistock.
Furnivall, J.S., 1944, Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press.
Nuranto, N., 1999, “Kebijakan Terhadap Bisnis Etnis Cina Di Masa Orde Baru.” Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal. 50-74 Jakarta: Gramedia.
Suparlan, Parsudi, 1979, “Ethnic Groups of Indonesia”, The Indonesian Quarterly, Vol. 7, No.2, hal. 55-75.
_______ , 1995, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Tearsing Dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk. Jakarta: Yayasan OBOR.
_______ , 1999a, “Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa”. Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal. 149-173. Jakarta: Gramedia.
_______ , 1999b, “Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan”. Jurnal Antropologi Indonesia, Vol.23, No.58, hal.13-20.
_______ , 2000a, “Kerusuhan Sambas”. Jurnal Polisi Indonesia, No.2, hal. 71-85.
_______ , 2000b, “Ethnic and Religious Conflicts in Indonesia”. Dalam, Michael Leigh (ed), Proceedings of the Sixth Bienneal Borneo Reserach
Conference. Hal. 97-128. Kucing, Sarawak: Institute of East Asian Studies, University of Malaysia.
_______ , 2001a, “Kerusuhan Ambon”. Jurnal Polisi Indonesia. No.3, hal. 1-30.
_______ , 2001, Indonesia, Kesukubangsaan, dan Posisi Orang Cina. Makalah.
_______ , 2002, Orang Cina Amerika. Makalah untuk Seminar Orang
Cina di Amerika. Kajian Wilayah Amerika, U.I., 6 Juni 2002.
Taher, Tarmizi, 1997, Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.
Thung Ju Lan, 1999a, “Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia”. Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal. 3-23. Jakarta: Gramedia.
_____ , 1999b, “Masalah Cina: Konflik Etnis yang Tak Kunjung Padam”.
Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 23, No. 58, hal. 21-35.
Wibowo, I., 1999, “Pendahuluan”. Dalam I.Wibowo (editor), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal.. ix-xxxi, Jakarta: Gramedia
TAUTAN INTERNAL :