Budaya-Tionghoa.Net | Polemik tentang diakuinya Konghucu sebagai agama, telah berkembang menjadi perdebatan yang kontroversial, antara yang pro dan kontra. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang objektif tentang masalah ini, sehingga dapat menghindarkan pertentangan yang tidak perlu.
|
KELOMPOK PRO KONGHUCU.
Pihak yang pro agar Konghucu diakui sebagai agama, menuduh bahwa para penentangnya mempunyai motif tertentu, seputar pengikut (umat) dan materi semata-mata. Semakin banyak pengikut, maka akan semakin banyak pula dana yang dapat dihimpun. Mereka melihatnya dari kenyataan di lapangan, di mana banyak tokoh- tokoh agama tertentu yang agresif dalam “menyelamatkan” umat manusia; khususnya orang Tionghoa, dari “kuasa kegelapan”. Untuk mudahnya sebut saja agama XY, agama X dari sekte Y.
Kalau Konghucu diakui sebagai agama resmi di Indonesia, berarti kedudukan agama Konghucu dengan agama XY sederajat. Dengan demikian, tokoh-tokoh agama XY tidak bisa lagi “menyelamatkan” orang Tionghoa
dari “kuasa kegelapan”, yang berarti kehilangan calon pengikut yang potensial. Kalau ini tetap dilakukan, berarti tokoh agama XY telah melanggar etika kerukunan beragama, dan telah melakukan intervensi ke agama lain.
Mereka juga mencurigai motif materi dalam kasus ini, mengingat banyak orang Tionghoa yang potensial sebagai “resources fund”, sehingga, jika suatu kelompok bisa merangkul orang Tionghoa berarti suatu advanted bagi kelompok tersebut. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak pihak yang menentang Konghucu diakui sebagai agama resmi di Indonesia.
Argumentasi lain yang berkembang adalah, di dalam kelima agama yang diakui di Indonesia, di dalam kelompok agamanya sendiri, secara internal mereka selalu menjelekkan agama lain. Selain itu, masing- masing agama juga terpecah-pecah dalam berbagai sekte di mana masing- masing mengklaim kelompoknya yang paling benar. Bahkan tidak jarang ada sekte yang menuduh sekte lain murtad. Oleh karena itu, dengan egoisme kelompok seperti ini, bagaimana mungkin mereka setuju Konghucu diakui sebagai agama resmi.
Mereka juga mentertawakan kontroversi ini, karena kenyataannya, Matakin, sebagai majelis tinggi agama Konghucu, diakui keberadaannya di Indonesia. Kalau Matakin tidak diakui, kenapa Matakin sering
diundang dalam dialog antar umat beragama. Kalau Matakin diakui, kenapa agama Konghucu yang diwakilinya tidak diakui? Beberapa pejabat tinggi negara juga bersedia datang untuk menghadiri perayaan Imlek yang dikoordinir oleh Matakin.
Ada pula yang beranggapan bahwa diakui atau tidak, tidak ada orang yang bisa melarang seseorang untuk memeluk agama Konghucu, dan secara umum tidak ada UU yang bisa melarang atau memaksa orang untuk memeluk
suatu agama tertentu. Agama adalah urusan pribadi setiap manusia, bukan urusan pemerintah atau orang lain.
KELOMPOK KONTRA KONGHUCU
Sebaliknya pihak yang kontra juga mengemukakan berbagai argumentasi. Pertama adalah argumentasi yang berkembang dari ajaran monotheisme yang menyatakan, bahwa agama adalah wahyu dari Tuhan yang diturunkan
melalui Nabinya yang tercatat di Kitab Suci masing-masing. Sedangkan Nabi adalah utusan Tuhan. Karena Konghucu orang biasa, bukan Nabi yang tercatat dalam Kitab Suci ajaran monotheisme, maka Konghucu tidak bisa diakui sebagai agama.
Argumentasi ini pada dasarnya pertentangan antara ajaran monotheisme dengan polytheisme. Argumentasi ini juga dapat mengundang perdebatan yang tiada berakhir, karena kenyatannya ada Nabi dari agama monotheisme yang satu yang tidak diakui oleh agama lain, bahkan lebih jauh lagi ada agama yang secara internal tidak mengakui agama lain.
Diyakini oleh berbagai pihak, pertentangan terhadap pengakuan Konghucu pada dasarnya adalah argumentasi di atas, namun banyak orang yang tidak mau secara terbuka mengemukakan argumentasi tersebut.
Padahal kalau argumentasi ini yang dipakai, maka agama Buddha yang diakui sebagai agama resmi di Indonesia juga akan terkena dampaknya.
Argumentasi lain menyatakan bahwa Konghucu adalah suatu ajaran filosofi, bukan agama. Dikatakan, secara filosofi ajaran Konghucu adalah milik semua orang Tionghoa tanpa melihat agamanya. Pernyataan tersebut jelas dapat berkembang ke segala arah dan akan mengundang perdebatan yang tiada akhirnya, karena dibalik ucapan tersebut tersirat arti bahwa orang non-Tionghoa tidak tersentuh oleh ajaran Konghucu.
Kalau argumentasi ini yang dipakai, agama Buddha juga akan terkena dampaknya, karena ada kelompok masyarakat yang menganggap bahwa agama Buddha juga bukan agama, hanya ajaran filsafat. Padahal banyak negara
di dunia yang mengakui agama Buddha, sehingga kedua argumentasi tersebut akan menimbulkan masalah dengan negara lain.
PANDANGAN KELOMPOK NETRAL.
Bagi mereka yang pernah mempelajari Ilmu Perbandingan Agama, akan mengerti bahwa filosofi dasar dari semua agama adalah sama, sehingga banyak pihak yang mengatakan bahwa semua agama pada dasarnya sama,
mengajarkan kebaikan. Yang berbeda hanya ritual dan tata laksananya saja.
Jaman dahulu, ajaran filsafat, baik yang disebut sebagai agama maupun yang tidak, berkembang dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu dan mempengaruhi kehidupan masyarakat tersebut. Pengaruh ini
selanjutnya akan membentuk berbagai kebiasaan masyarakat tersebut secara tutun temurun, yang kemudian kita kenal sebagai budaya.
Sejalan dengan perkembangan alat transportasi & komunikasi, interaksi antara berbagai kelompok masyarakat menjadi semakin kental. Interaksi ini membawa konsekwensi percampuran budaya, dan membentuk budaya baru
yang tidak jelas lagi asal usulnya sehingga di klaim sebagai budaya asli masyarakat tersebut.
Imigrasi orang-orang dari daratan Tiongkok ke berbagai penjuru dunia sejak ratusan / ribuan tahun yll, khususnya ke wilayah Indonesia sekarang, otomatis membawa budaya yang sarat dengan ajaran Konghucu.
Interaksi yang terjadi antara kaum imigran ini dengan masyarakat setempat, langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi budaya masyarakat setempat, dan membentuk budaya baru.
Dengan demikian, klaim bahwa ajaran Konghucu adalah milik orang Tionghoa, menjadi rancu dan naif. Diakui atau tidak, ajaran filosofi Konghucu, dan juga ajaran filosofi Kristen yang dibawa orang Belanda ke Indonesia, juga mempengaruhi kehidupan masyarakat di Indonesia. Sebaliknya, di daratan Tiongkok sendiri, khususnya sejak masuknya orang Eropah, kehidupan masyarakatnya juga terpengaruh oleh budaya luar.
Secara umum, karena ajaran filsafat pada dasarnya untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia, maka banyak ajaran filsafat dari berbagai sumber yang berbeda, mempunyai banyak persamaan, sehingga tidak jelas
lagi apakah fenomena yang berkembang di suatu wilayah mengikuti ajaran filsafat A atau B, termasuk juga filsafat yang dikembangkan melalui ajaran agama yang berasal dari luar wilayah tersebut.
Akibat egoisme yang berkembang pada masing-masing kelompok, timbul berbagai kerancuan yang diklaim sebagai kebenaran oleh kelompok tersebut. Misalnya, ucapan “assalamu’alaikum” dianggap tabu diucapkan
oleh kalangan Kristen, karena dianggap sebagai budaya Islam. Padahal ucapan tersebut adalah kata dalam bahasa Arab yang artinya kurang lebih sama dengan salam dalam bahasa Indonesia. Padahal kalangan
Kristen di wilayah Arab serring menggunakan kata “assalamu’alaikum” untuk menyapa orang lain.
Sebagian kalangan Kristen di Indonesia belakangan ini sering menggunakan kata “salom” untuk menunjukkan ke-Kristenannya, padahal artinya sama saja dengan salam dalam bahasa Ibrani. Kiong-hie, dengan mengepalkan kedua tangan di depan dada, di klaim oleh sementara pihak sebagai milik orang Tionghoa non-Krsiten, padahal maknanya adalah penghormatan atau selamat. Dan masih banyak lagi istilah atau sikap yang dikaitkan dengan agama tertentu secara salah kaprah.
Konsep Ketuhanan yang diklaim oleh ajaran monotheisme, sampai saat ini juga masih kontroversial dan mungkin tidak akan pernah terpecahkan. Pertanyaan yang nakal yang sering muncul adalah, apakah
Tuhan dari agama yang satu sama dengan Tuhan dari agama yang lain? Apakah Penguasa Langit atau Dewa Tertinggi dalam ajaran polytheisme sama dengan Tuhan dalam ajaran monotheisme?
Antara filosofi dengan agama juga menimbulkan perdebatan yang tidak berakhir. Dilihat dari sejarahnya, terlepas dari konsep Ketuhanan dalam ajaran monotheisme, agama-agama monotheisme berkembang dari
ajaran filsafat yang dikembangkan oleh tokohnya masing-masing, yang disebut Nabi. Ajaran filsafat ini kemudian dirangkum oleh para pengikutnya dalam sebuah buku yang disebut Kitab Suci.
Dalam ajaran Konghucu, filosofi ini ditulis sendiri oleh Konghucu dalam sebuah buku, dan para pengikutnya, pada awalnya tidak menyatakan Konghucu sebagai Nabi dalam pengertian ajaran monotheisme,
dan ajarannya juga tidak secara explisit dianggap sebagai agama. Belakangan, sebagian penganut ajaran Konghucu menyatakan bahwa ajaran Konghucu adalah agama, dan selanjutnya Konghucu disebut sebagai Nabi.
Selain Kong Hu Cu, masih ada lagi “agama” lain yaitu Kepercayaan Kepada Tuhan YME, yang hampir ada di semua wilayah Indonesia. Secara umum aliran Kepercayaan ini percaya kepada Tuhan, tetapi tidak mengikuti aliran suatu agama yang diakui pemerintah. Apakah ini akan dibiarkan mengambang terus sampai sekarang? Diyakini oleh sebagian orang, yang disebut Islam KTP atau Krsiten KTP, sebagian besar adalah pengikut aliran Kepercayaan ini.
Berdasarkan fakta seperti di uraikan di atas, kenapa ada orang yang keberatan kalau Konghucu diakui sebagai agama di Indonesia? Lebih jauh lagi, seharusnya pemerintah tidak perlu lagi menetapkan agama resmi dan tidak resmi, karena mustahil pemerintah dapat melarang atau memaksa seseorang untuk menganut agama tertentu.
Dipertanyakan pula sampai dimana manfaatnya pencantuman agama dalam KTP setiap orang? Jika untuk keperluan statistik, data yang lebih akurat dapat diminta kepada institusi agama ybs. Biarkanlah agama diselesaikan oleh pribadi masing-masing individu, dan pemerintah cukup mengawasi saja agar semuanya berjalan dengan aman dan damai.
Sekian.
John Towell
Catatan Admin : John Towell , Moderator Milist Tionghoa Net menulis ini di tahun 2004 .
TAUTAN INTERNAL :
- http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/
- http://web.budaya-tionghoa.net/religi-filosofi/konghucu-confucian/864-kontroversi-tentang-pengakuan-agama-kong-hu-cu
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan link aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.