Budaya-Tionghoa.Net | Muncul pertanyaan bahwa sejarah Tiongkok dipenuhi legenda yang seringkali berangkat dari mitos dan pertanyaan yang kerap muncul adalah apakah cerita tersebut seperti Sun Go Kong , Ti Pat Kay etc , bisa dipercaya sebagai suatu sejarah ? Mungkin bagi kita yang asing terhadap sejarah dan budaya bangsa Tiongkok, pertanyaan ini lumrah-lumrah saja. Jangankan kita, bagi generasi tua di negara asal (Mainland China, Taiwan, HK dan Macau) sendiri terutama yang tidak mengecap pendidikan formal pada masanya, sejarah, budaya dan legenda dapat dicampur-adukkan yang menjadikan mereka salah kaprah. Namun, batas2 sejarah, legenda dan mitos dalam perkembangan kebudayaan Tiongkok adalah sangat jelas.
|
Ini dimungkinkan karena selain kebudayaan Tiongkok adalah kebudayaan tertua di dunia, lebih dulu memasuki zaman sejarahnya daripada bangsa2 lainnya di dunia yang ditandai dengan adanya peninggalan sejarah yang penemuannya menjadi bukti2 yang melengkapi catatan sejarah Tiongkok, juga karena sejarah Tiongkok yang berkesinambungan dan tidak putus seperti halnya kebudayaan lainnya di dunia ini.
Saya ambil contoh kebudayaan tertua dunia lainnya seperti kebudayaan Yunani atau Romawi yang dalam perkembangannya mengalami masa-masa gelap di mana catatan sejarah sangat minim dan terpecah menjadi negara-negara kecil yang masing-masing kemudian memulai sejarahnya sendiri.
Lain dengan sejarah Tiongkok yang setelah dipersatukan oleh Kaisar Qin Shi Huang dengan mendirikan Dinasti Qin pada abad ke-2 SM, walaupun terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil, namun negara-negara kecil tadi mempunyai kesepakatan bahwa mereka adalah bangsa Tiongkok yang kemudian akan dipersatukan kembali dibuktikan dengan pembentukan dinasti-dinasti yang sambung menyambung (Gai Chao Huan Dai).
Catatan sejarah resmi Tiongkok merupakan salah satu catatan sejarah terlengkap di dunia dan yang menjadi acuan bagi sejarahwan Mainland China dan Taiwan adalah 25 Buku Sejarah (Erl Shi Wu She) yang ditulis oleh sejarahwan pada masanya masing, dimulai dari buku pertama “She Ji” yang menceritakan sejarah dinasti pertama Tiongkok Dinasti Hsia sampai Dinasti Zhou, dan yang terakhir buku ke-dua puluh lima “Qing She” yang merupakan catatan sejarah Dinasti Qing.
Yang sekarang dilakukan oleh para sejarahwan adalah selain mencatat perkembangan sejarah mutakhir, mereka juga bekerjasama dengan para ahli arkeologi, antropologi, palaeotologi dan linguistik untuk mencari catatan yang lebih lengkap untuk menambahi catatan sebelum 5000 tahun yang lalu. Banyak peninggalan yang ditemukan untuk mendukung usaha ini, di antaranya yang paling berharga adalah Jia Gu Wen, yang merupakan pahatan tulisan-tulisan kuno Tiongkok pada tulang binatang atau punggung kura-kura. Ini merupakan catatan dari abad ke-14 SM dari Dinasti Shang dan merupakan cikal bakal dari karakter Han yang sekarang kita kenal.
Mengenai catatan budaya, dalam hal ini yang sering kita bicarakan adalah aspek sastranya karena karya sastra merupakan literatur yang dipisahkan dari catatan sejarah yang hanya mencatat peristiwa faktual yang terjadi dari masa ke masa. Jadi catatan sejarah cuma mencakup politik, tokoh sejarah, ekonomi serta sosial kemasyarakatan. Karya sastra Tiongkok yang terkenal misalnya puisi-puisi dan novel2 klasik semisal Shi You Ji (Perjalanan ke Barat), San Guo Yan Yi (Kisah Tiga Negara), Suei Hu Jhuan (Batas Air) deelel. Novel seperti ini tentu tak dapat dijadikan acuan sejarah karena ia merupakan karya seorang sastrawan yang mengambil latar belakang sejarah untuk menceritakan kembali sejarah dengan kata2 sastra.
Sun Go Kong yang merupakan tokoh dalam Shi You Ji adalah tokoh mitos, namun Pendeta Tong-nya sendiri merupakan seorang tokoh sejarah yang pernah saya tuliskan di milis ini dalam posting “Sekilas Pendeta Tong” pada tanggal 10 Maret 2004 yang lalu. Pendeta Tong (602 ~ 664 M), lahir di Luo Zhou (sekarang di Henan) adalah seorang Biksu Buddhis terkenal pada masanya Dinasti Tang. Sedangkan mengenai San Guo Yan Yi, Luo Guan-zhong menceritakan kembali peristiwa yang terjadi pada masa Tiga Negara dengan mengambil rujukan dari Buku Sejarah ke-4 “San Guo Zhi” yang terbagi atas Wei Shu, Wu Shu dan Shu Shu. Namun tokoh2 dalam San Guo Yan Yi adalah tokoh sejarah realistik yang kemudian diceritakan kembali oleh Luo dengan alur cerita yang menyambung dari penghujung Dinasti Han sampai awal Dinasti Jin.
Mengenai legenda atau mitologi, ini lumrah saja pada setiap kebudayaan di dunia. Legenda rakyat tentu tidak dapat dijadikan acuan sejarah. Legenda dan mitologi ini lebih merupakan perwujudan kepercayaan yang ada dalam kebudayaan suatu bangsa. Namun ini juga menjadi akar dari budaya itu sendiri yang seharusnya dibedakan dan terlepas dari kepercayaan masyarakat pada masanya. Di sinilah terjadi kesalahpahaman banyak pihak. Sebenarnya, budaya dan tradisi dapat dijalankan bersama2 dengan agama tanpa berbenturan karena agama jelas harus dibedakan dari budaya. Menurut saya bila kita menganut suatu agama, kita tidak harus mengikuti budaya bangsa dari mana agama tersebut berasal. Di sinilah setiap penganut agama itu menjalani sebuah ujian rasionalitas, namun kata2 saya tidak berarti bahwa semua orang selain itu adalah tidak rasional, karena pengertian budaya dan tradisi tetap berbeda menurut pemikiran masing2 karena doktrin dan pendidikan dari sejak kecil.
Jadi, jawaban saya jelas dan bila di antara teman-teman ada yang masih kurang jelas, punya sanggahan, cara pikir lain atau mau mengoreksi tulisan saya, mohon langsung ditujukan ke milis. Dan terakhir, budaya Tionghoa yang ingin kita gali di sini tentu adalah budaya yang menyangkut segala aspek kehidupan masyarakat seperti politik, tradisi, sastra, sosial, ekonomi, pendidikan, agama dan kepercayaan. Ini dapat kita dapatkan bila menyangkutkan kebudayaan dengan fakta2 sejarah yang lebih teruji dan terbukti faktualitas dan realitasnya.
Dimana saya bisa membaca Erl Shi Wu She tersebut?
Soalnya selama ini yang bisa saya peroleh hanya novel-novel
karya sastra seperti San Guo Yan Yi, dll.[unquoted]
Sekarang ini, saya kurang tahu apakah 25 Buku Sejarah (Erl She Wu She) telah diterjemahkan ke dalam bahasa lain (Inggris) atau belum. Perlu diketahui, 25 Buku Sejarah ini ditulis dengan karakter dan bahasa klasik (Ya Wen atau Wen Yan Wen) karena sebelum Peristiwa 4 Mei, seluruh tulisan sastra maupun sejarah adalah ditulis dalam bahasa klasik yang sulit dimengerti oleh masyarakat umum. Saya pernah mencoba membaca beberapa bagian dari buku ke-4 “San Guo Zhi” yang merupakan catatan sejarah yang ditulis oleh sejarahwan Chen Shou pada zaman Dinasti Jin, 4 karakter saja bisa menjadi puluhan karakter bila ditulis dalam bahasa umum sekarang (Bai Hua Wen). Lagipula, penggunaan karakter untuk suatu pengertian berbeda dari masa ke masa.
Untuk buku2 mengenai sejarah Tiongkok, saya kira banyak terdapat dalam bahasa Inggris, baik yang diterjemahkan dari buku bahasa Mandarin ataupun catatan sejarah Tiongkok dalam pandangan seorang penulis luar Tiongkok. Namun, dalam membeli sebuah buku tetap harus melihat referensi dan kredibilitas daripada penulisnya, jangan sampai membeli buku yang menyajikan informasi subjektif yang mengaburkan opini dan fakta dan mempunyai motif2 tertentu dalam penulisannya.
Di sinilah, saya menyadari bahwa informasi mengenai sejarah Tiongkok ini sangatlah minim di Indonesia khususnya dalam bentuk bahasa Indonesia. Mudah2an di masa depan, akan lebih banyak buku2 dan informasi dalam bentuk lain seperti televisi ataupun media cetak lainnya yang menyajikan informasi mengenai budaya Tionghoa dan sejarah Tiongkok dalam kaitannya dengan ke-Tionghoa-an di Indonesia. Primordial? Saya kira tidak, karena budaya Tionghoa dan sejarah Tiongkok adalah hak siapa saja yang berniat mengenalnya lebih dalam, jadi bukan monopoli orang2 yang mengaku dirinya sebagai Tionghoa Indonesia.
Rinto Jiang