via Rio H di Mailing List Budaya-Tionghua
Budaya-Tionghoa.Net | Adakah pengacara yang selalu mengawali konsultasi dengan calon kliennya dengan, “Jika Saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara Anda, karena pasti kita akan kalah. Tapi jika Saudara merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran Saudara, maka saya mau menjadi pembela Saudara”? Itulah Yap Thiam Hien. Pengacara ulung yang pernah menggetarkan hati lawan maupun kawan dengan komitmennya yang tak kenal kompromi pada keadilan. Pada gilirannya komitmen itu terekspresikan dalam pembelaan hak kaum tertindas. Bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia 8 Desember, kami ajak Anda lebih mengenalnya, tak cuma aumannya di sidang pengadilan, tapi sosoknya yang manusiawi.
|
Sore itu, sepulang dari kantor, Yap Thiam Hien istirahat sebentar. Hanya saja, kali ini istirahatnya membuahkan mimpi yang agak di luar kebiasaan. “Tahu enggak, saya mimpi ditunjuk untuk membela Omar Dani (mantan Menteri Panglima Angkatan Udara yang dituduh terlibat gerakan G30S/PKI – Red.),” tuturnya. Tan Gien Khing-Nio, sang istri yang asal Semarang itu, bisa merasakan kegamangan yang dirasakan suaminya.
Mimpi seolah menjadi nyata, ketika saat itu juga terdengar suara kendaraan berhenti di depan rumah mereka di bilangan Grogol, Jakarta Barat. Khing melongok keluar. Sebuah jip militer besar, bertuliskan “Mahmilub”!
Di masa awal Orde Baru itu, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) sangat besar peran dan kekuasaannya dalam mengusut kasus-kasus G30S. Tak ada yang tidak dag-dig-dug melihat kendaraan Mahmilub berhenti di rumahnya. Khing membuka pintu sementara di dalam benak menghunjam kegetiran bercampur kekhawatiran. Trauma penangkapan suaminya oleh Pasukan Kalong di awal 1966 belum hilang dari ingatan.
“Lo, ada apa to, Pak?” tanyanya tak tahan lagi sambil mempersilakan tiga orang petugas duduk.
Salah seorang perwira menjawab, “Jangan takut … Tak ada apa-apa kok. Hanya ada kabar sedikit.”
“Ndak diangkat, Pak?”
“Tidak,” perwira itu menjawab dengan hormat sekali.
Toh itu belum mengusir kegelisahannya. Untunglah, kekhawatirannya tak terjadi. Perwira tadi menyampaikan kabarnya,
“Kami kemari membawa perintah Mahmilub yang menunjuk Pak Yap untuk membela Soebandrio.” Soebandrio adalah mantan wakil perdana menteri pertama merangkap menlu yang dituduh salah satu tokoh utama G30S/PKI. Di masa itu, tak ada hari tanpa caci maki, “Soebandrio Durna! Harus mati! Bunuh!”, dst.
Khing dapat melihat suaminya sedikit nervous, tapi perasaan itu tampak dapat ditekannya. Yap hanya menjawab, “Kalau begitu yang diperintahkan oleh Pemerintah, saya tidak ada jalan lain kecuali menerimanya.”
Yap menyadari betul konsekuensi tugas itu. Istrinya tak kurang khawatir, sampai ia melarang suaminya keluar setiap kali ada tamu mengetuk pintu. Ia khawatir suaminya ditembak orang yang tak senang hati ia membela Soebandrio. Khing pun dapat merasakan, suaminya mulai dijauhi kolega.