PACARAN LEWAT SURAT
Sebulan lebih ia bekerja. Pagi berangkat, makan siang pulang, lalu pergi bekerja lagi dan baru kembali sekitar pukul 21.00. Namun di mata istrinya, perilaku Yap tetap tenang, seperti tak ada beban berat. Dalam kenangan Adnan Buyung Nasution seperti diungkapkan Matra, edisi Maret 1999, saat itu Yap tampil amat mengesankan, karena mutu ilmu hukumnya yang tinggi dan kegigihannya mempertahankan hak-hak terdakwa. Orang tak menyangka kalau untuk kerja yang penuh dedikasi itu tak ada honor sepeser pun diterimanya dari pemerintah.
Persoalan materi sejak awal tidak menjadi daya tarik utama bekas guru ini. Lahir dari keluarga Yap Sin Eng di Banda Aceh, 25 Mei 1913, pria yang panggilan akrabnya John ini sulung dari tiga bersaudara, Thiam Hien, Thiam Bong, dan Thiam Lian. Kakeknya, seperti diungkapkan dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985 – 1986 dulu “Kapten” (salah satu level pemimpin) untuk masyarakat Tionghoa di zamannya. Sehingga ia bisa mengecap pendidikan dasar yang elite.
Setamat Hollandsch Chineese Kweekschool, kondisi keuangan keluarga sudah tak mendukung lagi. Sempat juga ia mengajar sambil mencari order telepon, sampai kemudian ia tertarik masuk sekolah hukum yang baru saja dibuka di Jakarta.
Kira-kira pada masa itu pemuda Yap berkenalan dengan pemudi Khing yang juga tamatan Kweekschool. Suatu hari di tahun 1945, sepupu Khing menikah dengan Thiam Lian. Khing masih ingat benar,
“John dan Bong itu sangat populer, kakak saya bilang. Lalu teman-teman juga menyambung, ‘Nanti gua kenalin sama mereka.'” Tapi waktu saya diperkenalkan dengan mereka, kesan saya kok niets aan, enggak ah.”
Hanya saja dengan heran gadis ini menyadari, sejak itu dalam pesta-pesta keluarga, kenapa Yap selalu ada? Perang berakhir, kondisi serba tidak menentu, termasuk studi hukum Yap. Kebetulan ada kapal yang siap ke Belanda untuk mengangkut orang-orang Belanda pulang gratis, asal siap menjadi asisten anak buah kapal (ABK) bagian kebersihan. Menjadi tukang pel di kapal, bukan masyaalaah, Yap nekat ikut. Di Belanda, dengan bantuan beasiswa dari gereja di sana, ia lanjutkan studi hukum yang sempat terkatung-katung itu.
Pucuk demi pucuk surat berperangko Kerajaan Belanda terus berdatangan ke meja Khing; lambat tapi pasti luruh juga hatinya. Dari kisah yang “mulanya biasa saja”, tibalah sepucuk surat berbunyi, “Saya ingin melamarmu secara resmi.” Kepada ayahanda Khing di Semarang Yap melayangkan surat lamaran. Singkat cerita, tahun 1947 surat perkawinan ditandatangani dan saat bertunangan, Khing “bersanding” dengan ayah mertuanya sebagai wali calon suaminya.
Lulus sebagai meester in de rechten, Yap masih harus menghadiri pelbagai konferensi pemuda gereja di Oslo, Swis, dan Inggris. Baru dua tahun kemudian ia pulang, langsung bekerja sebagai pemimpin organisasi kepemudaan di gereja. Tahun berikutnya karir hukumnya diawali dengan bekerja di kantor pengacara John Karwin, Mokhtar Kusumaatmaja dan Komar. Sudah tentu, pernikahan mereka perlu diresmikan di tengah handai taulan, cukup sederhana, di sebuah restoran di Jl. Sabang, Jakarta. Seratusan tamu disuguhi teh dan kue saja.