MERASAKAN BUI SAMPAI DUA KALI
Kehidupan mereka masih berlanjut sederhana. Makan cukup rantangan. Tidak pernah bepergian kecuali ke gereja. Khing tetap bekerja sebagai tenaga administrasi di Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan. Untuk memperbaiki taraf penghidupan, Yap kemudian menerima ajakan bergabung dengan perusahaan Tan Po Goan (mantan menteri dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946 dan anggota parlemen).
Sebagai rekanan termuda, penghasilan Yap dari firma hukum itu tentu masih cukup kecil sehingga masalah keuangan terus menghantui. Sementara itu Khing berhenti bekerja begitu mereka memperoleh momongan, Hong Gie, lahir tahun 1952, disusul Hong Ay, lima tahun kemudian. Baru sekitar 20 tahunan lagi, keadaan keuangan mereka membaik, saat Yap menyadari betul pentingnya nafkah hidup untuk menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri.
Dalam tataran profesi, reputasinya sebagai pengacara yang tak banyak basa-basi semakin terbentuk. Ketika masih bergabung dengan kantor pengacara Tan Po Goan, di tahun 1950-an, dalam posisi membela beberapa orang Pasar Senen yang kena gusur seorang kaya pemilik gedung, Yap menyerang pribadi advokat lawannya dengan mengatakan, “Bagaimana bisa Anda membantu seorang kaya menentang orang miskin?” Serangan pribadi macam itu tentu melanggar etika antarkolega di sidang pengadilan.
Oleh Majalah Tempo edisi 16 Januari 2000, ia bahkan dijuluki advokat kepala batu; keras dan teguh membela kebenaran, yang selalu dilihatnya hitam-putih.
Salah satu buah kerepotan akibat sikapnya itu ya sekitar tahun baru 1966, saat subuh rumahnya digedor pasukan berseragam hitam yang mengambil Yap begitu saja. Ia sempat menginap di hotel prodeo selama sekitar lima hari, atas tuduhan terlibat Gestapu karena pernah jadi anggota Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), sebuah ormas yang dicap “kiri”.
Yap memang pernah menduduki jabatan wakil ketua, namun sejak sebelum 1960 tak aktif lagi di Baperki karena tak cocok pandangan dengan ketuanya, Siauw Giok Tjhan, seperti dikisahkan dalam Siauw Giok Tjhan (Hasta Mitra, 1999). Sementara di sisi lain Hong Gie (48) meyakini, penahanan ayahnya itu lebih berkaitan dengan pembelaannya dalam sebuah kasus cek kosong, di mana kliennya diperas oleh seorang jaksa tinggi. Belakangan sang jaksa tinggi mengadukannya ke pengadilan, sehingga pada 1968 Yap divonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Istimewa Jakarta. Hanya saja, meski lewat proses banding bertahun-tahun, akhirnya ia divonis bebas. Menurut Hong Gie, untuk kasus ini ayahnya tidak pernah sampai ditahan.
Belum lagi riwayatnya berkaitan dengan peristiwa Malari, 1974. Dianggap sebagai salah satu “cendekiawan provokator” peristiwa itu, ia masuk bui juga. Akhirnya, tuduhan itu tak terbukti dan 11 bulan kemudian ia dibebaskan.