BARTER DENGAN MINUMAN KERAS
Konsistensi Yap dalam membela tegaknya hukum sulit dicari tandingannya. Demi prinsip keadilan dan hukum yang diyakininya, tidak ada satu orang atau institusi apa pun yang cukup perkasa untuk menciutkan nyalinya.
Bahkan tak jarang, tindak sewenang-wenang oleh aparat di jalanan terhadap orang yang sama sekali tidak ia kenal pun, akan membuat Yap menghentikan kendaraan untuk mencampuri urusan itu.
Kesetiaannya pada keadilan tidak pandang bulu meski menyangkut anak sendiri. Itu dialami Hong Gie, yang kini mengelola bisnis hotel dan properti. Saat itu sebagai remaja + 16 tahun, ia menabrak seorang anak dengan mobil yang dikendarai tanpa SIM.
Dalam perjalanan ke kantor polisi, ayahnya berpesan, supaya dalam sidang pengadilan nanti ia mengaku bersalah dan meminta maaf kepada hakim atas pelanggaran yang dilakukan. Hong Gie ditinggalkan di sana sampai dijemput ibunya dua malam kemudian. Mengakui itu sebagai salah satu peristiwa paling menakutkan di masa remajanya, Hong Gie belakangan tahu, ibunya terkadang menengok anak yang tertabrak itu.
Betapa pun Yap keras memegang prinsip, tak tabu pula baginya mengaku bersalah. Itu terjadi ketika Hong Gie remaja melancarkan aksi protes terhadap bahasa pukulan sang ayah (bisa sapu lidi, bisa batang pohon). Drama yang berlangsung sampai dua minggu itu berakhir saat sang ayah menyadari kekeliruannya. Ia minta maaf dan berjanji tak akan memukul lagi.
Perihal kedisiplinan Yap, sang istri pun tidak kekurangan cerita. “Suatu sore ada undangan resepsi perkawinan,” Khing mengenang. “Kami merencanakan berangkat pukul 18.30. Tapi entah kenapa, sore itu saya terlambat berdandan. Tentu saja saya buru-buru. Begitu selesai, langsung bergegas ke garasi. Apa yang saya jumpai? Garasi kosong. Mobil dan John sudah berangkat, meninggalkan saya. Padahal saya sudah berdandan lengkap!”
Bagi keluarga Yap, berlibur bersama merupakan kesempatan yang amat langka. Sebaliknya, risiko pekerjaan salah satu pendiri Universitas Kristen Indonesia ini tetap ditanggung oleh seluruh keluarga. Misalnya, anjing diracuni, rumah disambiti.
Apalagi saat Yap ditahan karena kasus Malari, ketangguhan Khing, yang disebutnya “Menteri Dalam Negeri” oleh Yap, sungguh diuji. Dengan sisa tabungan Khing membeli mobil untuk dijalankan sebagai taksi jam-jaman. Keadaan yang pas-pasan itu memaksanya juga untuk menukar minuman keras dari bingkisan Natal dan Tahun Baru dengan kebutuhan sehari-hari, di Pasar Cikini.
Tentulah bisa dipahami, ketika ditanya apakah pernah “menyesal” menjadi istri Yap Thiam Hien, tanpa kekurangan selera humor dijawabnya, “Sering …! Karena kadang-kadang ia lupa bahwa keluarga juga memerlukannya. Sekali waktu ia baru keluar dari penjara untuk kasus Malari. Tiba di rumah pukul 23.00, kami belum lagi duduk santai, ia sudah mengatakan akan membela seseorang yang kasusnya cukup berat dengan risiko dan komplikasi cukup besar, sampai-sampai saya mengancam akan pergi dari rumah kalau dia tetap ngotot menangani kasus itu!”
Betapa pun, sampai sekarang Hong Gie masih merasakan bahagianya saat ia ditengok Papa di Belanda. (Setelah menyelesaikan SMU di sana, Hong Gie melanjutkan ke pendidikan fisioterapi.) Naik kendaraan umum, makan bersama, dan saling bercerita tentang banyak hal, sungguh kemewahan yang tak ia rasakan di Tanah Air. Yap juga tak pernah menyia-nyiakan kesempatan menengok Hong Ay, yang belakangan mengambil jurusan bahasa Inggris di Swis. Biasanya saat ia usai mengikuti konferensi di Eropa.