Photo : Toasebio , by Ardian Cangianto
Budaya-Tionghoa.Net | Gereja Santa Maria de Fatima terletak di jalan Kemengan III 47, Jakarta Barat. Sejak berdiri pada tahun 1850, misa yang diadakan pada setiap Minggu sore Pater Paulus Chih selalu menggunakan bahasa Mandarin. Menurut Pastor Yosef Bagnara SX, Kepala Gereja Katolik tersebut, ini merupakan satu upaya agar masyarakat keturunan Tionghoa tetap mengenal bahasa nenek moyangnya.
|
Selama sebelas tahun bertugas di gereja yang lebih dikenal dengan nama Gereja Taosebio ini, ia sempat mengalami hambatan saat orde baru berkuasa. Namun para pastor tetap saja menjalankan pelayanan umat dalam bahasa Mandarin. “Kami beranggapan ini adalah ujian dari Tuhan,” katanya. Dicontohkan olehnya, salah satu hambatan adalah saat para jemaat yang biasa disebut Rombongan Santa de Fatima memperingati Imlek. “Secara tiba-tiba kami dilarang melakukan kebaktian dalam bahasa Mandarin. Namun setelah kami jelaskan kepada aparat keamanan barulah mereka memahami,” ujarnya mengenang. Menurut pastor asal Italia ini, pelarangan itu membuat orang Tionghoa kehilangan identitas aslinya.
Hingga semakin berkurang para jemaat yang mengikuti misa dalam bahasa mandarin. “Sangat jarang orang Tionghoa yang dapat berbahasa Mandarin,” katanya. Setelah orde reformasi berdiri, jumlah umat yang mengikuti misa bahasa mandarin semakin bertambah. “Tercatat lebih dari 150 orang per minggu,” tuturnya. Hal ini karena, para orang tua mulai mengajak sanak famili sekalian bernostalgia terhadap pendahulu mereka.
Sejarah Singkat Gereja TOASEBIO
Menurut Pastor Yosef Bagnara SX, sampai saat ini, pihaknya tidak memiliki catatan sejarah yang lengkap mengenai asal mula berdirinya gereja Katolik yang telah berumur lebih dari 45 tahun tersebut. Namun menurut beberapa kisah yang diperolehnya, keberadaan gereja ini merupakan hasil sumbangan dari seorang kapitan China yang bermarga Tjioe. “Kami tidak memiliki nama lengkap orang tersebut,” akunya.Berdirinya gereja ini,terkait dengan terbentuknya RRT. “Sehingga tiga orang misionaris asal Austria pergi ke Indonesia,” katanya.
Setibanya mereka di Indonesia tahun 1950, mereka mendapat sumbangan berupa sebidang tanah untuk dijadikan gereja.
Gereja Taosebio, saat itu hanya menempati bagian depan rumah Tjioe, sampai akhirnya tahun 1953 tanah seluas satu hektar tersebut dibeli oleh Pater Wilhelmus Krause van Eeden. “Saat itu Jalan Kemenangan di depan gereja ini, masih bernama Jalan Taosebio,” ujarnya. Pembelian tanah tersebut, selain untuk memperluas bangunan gereja juga untuk sekolah dan asrama bagi orang-orang Hoakiauw (China perantauan). Pada misa pertama tahun 1954 yang menggunakan bahasa Indonesia, jumlah jemaah hanya sekitar 15-20 orang. Tapi pada minggu berikutnya terus bertambah, terlebih setelah diadakannya misa khusus menggunakan bahasa mandarin. Untuk melaksanakan misa tersebut, pihak gereja mendatangkan Pater Joannes Tcheng Chao Min SJ yang saat itu sedang bertugas di Spanyol. Dalam menjalankan tugasnya Cheng Cao Ming, juga merangkap sebagai pembimbing bagi anak-anak Haokiauw yang saat itu sekolah di Yin Hwa Kao Shang (sekarang SMU II, Jakarta -red.).
Kegiatan misa Mandarin lebih semarak lagi setelah pada tahun 1955 Cheng Cao memberikan pelayanan Liturgi pada hari Minggu dan hari besar lainnya. Pelayanan Liturgi ini dilakukan oleh 50 siswa asrama yang tergabung dalam RICCI Youth Centre. Namun kegiatan ini tidak berlangsung lama, setelah kepindahan Pater Cheng ke Taiwan tahun 1961 kegiatan ini
menjadi sepi karena asrama tidak lagi menerima siswa.Bahkan menurut”buku kenangan 40 tahun Paroki Santa Maria de Fatima” jumlahnya menyusut hingga 6 orang pada tahun 1962.
Untuk mengatasi hal tersebut, Pater Laitenbauer membuat perkumpulan Santa Maria de Fatima tepatnya disaat hari raya Paska 22 April 1966.Tujuannya adalah membantu paroki dalam melaksanakan tugas pewartaan dan segala sesuatu yang bersifat cinta kasih baik kepada Tuhan maupun sesama umat, tanpa memandang asal paroki maupun keturunan. Sejak berdirinya perkumpulan ini, suasana misa dalam bahasa mandarin kembali semarak Bahkan Pater Leitenbauer membuka sekolah minggu bagi anak-anak, dengan meminjam tempat di sekolah Ricci. Tapi, kegiatan inipun hanya berlangsung sampai tahun 1978 karena sejak tahun 1959 tidak ada lagi anakTionghoa yang mengerti bahasa mandarin. “Karena pemerintah saat itu mulai melarang penggunaan bahasa mandarin”, katanya. Namun kegiatan misa dalam bahasa mandarin terus berjalan, walaupun banyak hambatan baik dari pemerintah maupun para pater. “Saat itu, kami kesulitan mencari Pateryang dapat berbahasa mandarin,” akunya. Melihat kondisi ini, pihak Gereja berusaha mendatangkan Pater Yoseph Chai Chian Yi yang berasal dari Jeiyang, RRT tahun 1955. “Agar Misa dalam bahasa Mandarin kembali semarak,” tuturnya. Dan harapan para pater itu menjadi nyta, terbukti dengan kembalinya umat yang berbahasa Mandarin ke Gereja tsb, walaupun dalam jumlah yang belum sebanyak tahun-tahun sebelumnya.
Via Rinto Jiang , ARSIP MAILING-LIST BUDAYA TIONGHUA , BULAN JANUARI 2004
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua