Budaya-Tionghoa.Net | Walaupun lahir di Simalungun (SUMUT) tahun 1952, Basuki adalah warga kota Medan, yang mengaku hobi melukis walaupun bukan keturunan pelukis. Basuki adalah alumni SMA Sutomo 1, Medan, ketika Harian Analisa akan terbit pada 1973, dia dipanggil untuk mengisi posisi kartunis. Sejak 1973 – 2006 (33 tahun) Basuki menggambar pak Tuntung tanpa henti, kecuali libur dan hari Minggu.
ARTIKEL TERKAIT :
{module [201]}
|
|
|
Bila ingin cutipun, Basuki harus menggambar beberapa gambar untuk stok, agar
pak TunTung tidak pernah absen menyapa masyarakat. Sampai saat ini Pak Basuki masih tinggal di Medan dan berkarya menggambar komik,Pak Basuki memiliki seorang istri dan 3 anak (1 putri, 2 putra) Selain menekunin komik, Basuki juga berbisnis 2 kafe di Sun Plaza dan Merdeka Walk yang bernama Warung Pak TunTung yang kemudian berganti nama menjadi Warung Pak Bas.
Pada 2006, pak Basuki pindah ke harian Global dan menciptakan tokoh Pak Bas. Pada tahun 2000,
pak TunTung muncul dalam seri perangko “Seri Kartun Indonesia”, sejajar dengan tokoh2 lain seperti : yaitu Panji Koming (Kompas), Mang Ohle (Pikiran Rakyat), I Brewok (Bali Pos), dan Pak Bei (Suara Merdeka).Basuki ingin terus berkarya sampai kapan pun.Dia ingin bisa tetap menyegarkan dan menyentil, membuat warga Medan tersenyum.
Nama seperti Kho Wan Gie, Gouw Kwat Siong, Hu Wie Tian adalah seniman komik yang berketurunan Tionghoa yang namanya telah mengukir sejarah di kancah Nasional (dan mungkin ada lagi tokoh lain yang belum terpublikasi) . Komik tentu masih dipandang dengan sebelah mata terpicing dibandingkan sastra, sehingga komik sering luput dari bahasan komunitas yang bersifat budaya. Komik tentu mungkin tidak pernah akan diulas sebagai sastra (High Art) oleh hasil riset, seperti riset orang Perancis dalam buku tebal-tebal yang marak belakangan ini.
Tetapi inilah salah satu sumbangsih utama, dari Tionghoa untuk sejarah, sebagai pionir komik di Indonesia dan juga sejarah praktisi dunia kartun yang mungkin bagi sebagian besar orang tidak ada gunanya. Tetapi, menurut saya dinamika kehidupan juga terdepiksi dalam sebuah komik strip. Beda dengan sastra yang memerlukan bahasa mendayu-dayu dan berestetika tinggi, komik yang hanya 3 – 4 kotak tersebut, tanpa kata-kata, ternyata komunikasi dapat berpindah dengan tepat dan manis. Bagi saya, secara tidak langsung komik menggambarkan perjalanan budaya.
Marilah membudayakan komik
Salam SUPER.
Budaya-Tionghoa.Net | MAILING LIST BUDAYA TIONGHUA
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.