Photo : Toasebio , by Ardian Cangianto
Budaya-Tionghoa.Net | Kelenteng Toasebio sudah berdiri di tempatnya yang sekarang sejak semula didirikan pada sekitar menjelang pertengahan abad ke-18 oleh komunitas Tionghoa asal Kabupaten Tiothoa/Changtai di Keresidenan Ciangciu/Zhangzhou dan¯dengan sendirinya¯tidak pernah dipindahkan dari tempat lain. Nama resmi kelenteng ini¯sebagaimana tertera pada papan nama di gerbang kelenteng¯adalah Hong-san Bio/Fengshan Miao (`Kelenteng Gunung Burung Hong’). Akan tetapi, karena Cheng-goan Cin-kun / Qingyuan Zhenjun, dewata pelindung masyarakat Kabupaten Tio-thoa/Changtai, juga dikenal sebagai Toa-sai Kong / Dashi Gong (`Paduka Duta Besar’), maka kelenteng ini juga dikenal sebagai kelenteng Toa-sai Bio/Dashi Miao (`Kelenteng Duta Besar’). Nama Toa-sai Bio di lidah penduduk lama-kelamaan berubah lafal menjadi Toa-se Bio dan menjadi nama jalan dimana kelenteng ini berada dan juga nama lingkungan sekitarnya. Nama Toasebio ini sampai sekarang masih dipakai, dari sinilah nama paroki di lingkungan ini, Paroki Toasebio.
|
Pada zaman Orde Baru oleh adanya Peraturan Pemerintah No. 14/1967 banyak kelenteng (Chinese temple) yang berubah status menjadi vihara (Buddhist monastery/temple). Nama kelenteng Toa-sai Bio diganti menjadi Wihara Dharma Jaya Toasebio, karena hanya Buddhisme yang “diakui” sebagai agama oleh negara, sedangkan Konfusianisme dan Taoisme tidak.Timbulnya “dongeng” bahwa gereja Santa Maria de Fatima doeloenja ini kelenteng mudah dipahami. Banyak orang¯karena ketidaktahuannya¯mengira bahwa setiap bangunan bergaya arsitektur Tionghoa, dengan atap bergaya Buntut Walet (Ian-bwe Heng/Yanwei Xing) yang melengkung ke atas dan ujungnya terbelah dua seperti ekor walet, serta hiasan sepasang patung singa terbuat dari batu (cioh- sai/shishi) di depannya, adalah pasti bangunan kelenteng.
Anggapan ini tidak benar. Bangunan seperti itu¯pada masanya, tentu¯adalah hak istimewa mereka yang berpangkat, dalam konteks Hindia Belanda, para majoor, kapitein, dan luitenant der Chineezen (ma-io/mayao, kap-pittan/jiabidan, dan lui-tin-lan/leizhenlan), yakni pemimpin komunitas Tionghoa yang diangkat pemerintah Belanda sejak zaman Kapitein der Chineezen I Souw Beng Kong/Su Minggang (masa jabatan 1619-1636 dan 1639-1644). Warga masyarakat `biasa’¯walau kaya-raya¯hanya boleh memakai gaya atap Pelana (Be-pwe Heng/Mabei Xing) serta tidak boleh memakai sepasang singa batu di depan rumahnya.
Dengan demikian, kediaman seorang pejabat Tionghoa (Chineesch Officier) dapat dikenali dari bentuk rumahnya. Bentuk rumah begini yang masih tersisa antara lain gedung Candra Naya (bekas kediaman Majoor der Chineezen Khouw Kim An/Xu Jin’an) di Gajah Mada, gedung Keluarga Souw/Su di Patekoan/Perniagaan (masih dihuni oleh Luitenant der Chineezen Souw Thian Pie/Su Tianbi), gedung di sebelah pusat pertokoan Chandra di Pancoran (bekas kediaman Majoor der Chineezen Tan Eng Goan/Chen Yongyuan, fotonya bisa dilihat di Merrillees, Scott, 2000, Batavia in Nineteenth Century Photographs, Singapore: Archipelago Press, hlm 84), deelel. Dua gedung lainnya yang doeloe ada di Gajah Mada: di lokasi SMUN II sudah tidak berbekas, dan bekas gedung Kedutaan Besar Tiongkok di Glodok sudah rata dengan tanah (lihat fotonya di Merrillees, hlm. 91, yang oleh si penulis disangka gedung Candra Naya!). Pada bangunan kelenteng, hiasan naga (liong/long) atau ikan naga (liong-hie/longyu) mendominasi atap kelenteng. Selain warna dominan merah, hiasan inilah yang membedakan bangunan tempat tinggal dan kelenteng.
Anggapan keliru tersebut di atas membuat sebagian orang yang tak mengerti merasa `gerah’ mewarisi atau membeli rumah tua yang ujung atapnya bergaya Buntut Walet. Akibatnya, saya amati beberapa gedung beratap seperti itu dengan sengaja “dipatahkan” buntut waletnya, agar tampak seperti gaya Pelana yang lebih umum. Bangunan yang di”mutilasi” seperti itu antara lain bekas kediaman Majoor Tan Eng Goan tadi, toko khusus peralatan menyelam Lautan Mas di Toko Tiga.
Selain itu, sebuah gerbang berarsitektur Tionghoa di mulut sebuah gang kecil bernama Petak Enggie (dari nama Lim Eng Gie sebagai pemilik petak tersebut?) yang berdekatan diubah bentuknya. Setelah reformasi, dalam rangka euforia terhadap segala sesuatu yang Tionghoa, gerbang bertulisan Se-ho / Xihe, nama kabupaten kuno asal she Lim/Lin, ditambahi hiasan liong/long, padahal hiasan liong / long hanya layak dipakai di atap kelenteng, bukan di suatu gang kecil macam Petak Enggie tersebut.
Juga tidak benar kalau dikatakan bahwa Gereja Santa Maria de Fatima bekas kelenteng. Gedung ini tadinya rumah kediaman keluarga Tjioe/Zhou yang salah seorang leluhurnya¯katanya¯berpangkat luitenant der Chineezen. Informasi ini saya dapatkan dari salah seorang anggota keluarga Tjioe sendiri yang pernah tinggal di gedung tersebut,
sebelum dijual. Pada bagian wuwungan bangunan utama tertera inskripsi hok siu khong leng/fu shou kang ning (`rezeki, usia panjang, kesehatan dan ketenteraman’). Sedangkan di kedua bangunan samping daerah asal pemiliknya yang terdahulu, Kabupaten Lam-oan/Nan’an di Keresidenan Coan-ciu/Quanzhou, Hokkian/Fujian.
Setelah Tiongkok jatuh ke tangan kaum Komunis tahun 1949, sekelompok rohaniwan Katolik dari Ordo Jesuit (CMIIW) terpaksa harus meninggalkan Tiongkok. Sebagian dari mereka datang ke Jakarta untuk menyiarkan dakwah Katolik di kalangan Tionghoa. Awal tahun 1950-an bangunan gedung kediaman keluarga Tjioe itu dibeli oleh pihak Gereja dan dijadikan bangunan gereja dengan mempertahankan gaya arsitektur aslinya. Tahun 1953 (atau 1954 CMIIW), gereja Santa Maria de Fatima resmi dibuka. Uniknya, gereja ini mungkin satu-satunya gereja Katolik di Indonesia berarsitektur tradisional Tionghoa dengan warna merah dan mas yang mendominasi eksterior gedung. Bekas kham/kan (rumah-rumahan kecil berukir) tempat meletakkan sin-ci/shenzhu (papan nama leluhur) kini dipakai untuk sarana upacara misa di gereja tersebut, begitu pula beberapa peralatan lain yang masih asli dari rumah tersebut. Kham dan barang-barang kayu berukir lainnya aslinya berwarna coklat tua. Namun di gereja ini benda-benda tersebut diwarnai merah dan mas, warna ciri khas Tionghoa. Di bawah pengelolaan Gereja, bangunan gereja ini tampak sangat terpelihara, utamanya bagian eksteriornya yang tidak diubah. Bagian interiornya sudah berubah, disesuaikan dengan keperluan umat.
Budaya-Tionghoa.Net | ARSIP MAILING-LIST BUDAYA TIONGHUA , BULAN JULI 2004
TAUTAN INTERNAL :
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.