Budaya-Tionghoa.Net | Lama sekali saya menimang-nimang apakah tanggapan ini [Appendix 1 ] dijawab atau tidak? Saya kuatir jangan-jangan kalau dijawab bisa berkembang menjadi debat kusir yang ga’ karuan. Karena saya merasakan bahwa anda belum menangkap apa yang ingin saya sampaikan, tanggapan anda itu hanya semacam pembelaan terhadap Matakin yang sifatnya reaktif defensif. Saya setuju sekali dengan anda bahwa Matakin telah berbuat sesuatu dalam melawan politik represif diskriminatif pemerintah Orba terhadap golongan Tionghoa di Indonesia. Dan hasilnya memang positif!
|
Namun, masalahnya adalah mengapa harus dengan mengkerdilkan Konfusianisme menjadi sekedar agama? Anda sendiri mengatakan bahwa ‘di tengah degradasi moral bangsa, yang dibutuhkan bukan pendidikan agama, tetapi budi pekerti.’ Tepat sekali! Saya mengangkat dua tangan tanda setuju! Dan justru karena itulah yang seharusnya diperjuangkan, ditampilkan dan difungsikan adalah Konfusianisme sebagai ajaran moral dan budi pekerti, bukan sebaliknya sebagai agama!
Bahwa ada keharusan mengisi kolam agama di KTP dengan salah satu pilihan yang telah ditentukan, itu adalah satu lagi fakta kelakuan diskriminatif yang harus dilawan, bukan dituruti. Mengapa kita malah justru tunduk padanya dan mengisi kolam itu dengan sesuatu yang semestinya lebih dari sekedar agama??
Apakah Konfusianisme sebagai perekat bagi komunitas Tionghoa (Zhonghua) masih relevan, padahal orang Tionghoa sendiri ada yang ‘alergi’ dengan ajaran Kongfusianisme (Kongzi) itu?
Jawaban saya adalah positif “YA”! Komunitas Tionghoa yang saya maksud adalah komunitas Tionghoa mondial, tidak terbatas hanya pada yang di Indonesia. Ada satu karakteristik yang sangat khas dalam sejarah perkembangan kebudayaan bangsa Tionghoa, terutama yang masih di negeri leluhur maupun yang tersebar di seluruh pelosok dunia, yakni tradisi yang selalu berpegang teguh pada ajaran moral dan budi pekerti yang berasal dari ajaran Konfusianisme.
Berbeda dengan bangsa-bangsa Smith/Samawi (menurut anda bangsa Timur Tengah) yang kata anda selalu perang gara-gara perbedaan agama, bangsa Tionghoa tidak pernah perang antar sesama yang penyebab utamanya adalah perbedaan agama, karena agama memang tidak pernah menjadi identitas diri yang perlu dibangga-banggakan dan dibela bagi orang Tionghoa.
Satu-satunya identitas orang Tionghoa adalah Konfusianisme yang merupakan warisan dan milik bersama seluruh komunitas Tionghoa, di mana pun ia berada!
Tetapi apakah Konfusianisme (ajaran Kongzi) hanya milik eksklusif orang Tionghoa? Menurut anda, Konfusianisme bukan melulu milik orang Zhonghoa semata, tapi merupakan perwujudan filosofi dan budaya Timur. Tepat sekali !!
Saya pinjam istilah anda ‘FILOSOFIS’, Betul, secara FILOSOFIS Konfusianisme (begitu juga ajaran-ajaran moral lainnya) memiliki nilai universal yang bisa diterima oleh semua bangsa (bukan hanya di Timur!), namun, dalam perspektif ANTROPOLOGI BUDAYA, Konfusianisme jelas berasal dari dan berakar pada kebudayaan Tionghoa.
Dan itulah maksud saya bahwa Konfusianisme merupakan identitas dan sekaligus alat perekat bagi komunitas Tionghoa. Secara SOSIOLOGIS dalam kehidupan bermasyarakat dan berkeluarga, masyarakat Tionghoa mewariskan nilai-nilai Konfusianisme kepada anak-cucu mereka dalam pola tingkah laku sehari-hari, terlepas dari agama apa yang mereka anut (walau mungkin mereka tidak menyadari bahwa itu berasal dari ajaran Kongzi), sehingga disadari atau tidak disadari oleh yang bersangkutan, sejak kecil ajaran Konfusianisme sudah mendarah-daging dan merupakan bagian dari identitas setiap insan Tionghoa di mana pun ia berada.
Indonesia memang agak lain, setelah mengalami penindasan budaya selama era Orde Baru, masyarakat Tionghoa di Indonesia dibuat minder dan rendah diri terhadap budaya Tionghoa, sehingga tak sedikit saudara-saudara kita yang menyangkal budaya dan identitas sendiri, dan merasa lebih nyaman atau lebih PD pindah agama dan sekaligus juga ‘pindah budaya’. Akibat dari ini, masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi terkotak-kotak dalam kategori A, B dan C (sebagaimana dikatakan bung Steven) dan ajaran moral Konfusianisme pun tidak lagi menjadi identitas diri yang perlu diwariskan kepada anak-cucu.
Bagaimana menyikapi kenyataan ini?
Berusaha memperbaiki dan merefungsikan kembali ajaran Konfusianisme, atau justru memperparah dengan menambah pengkotak-kotakan itu? Pilihan terbuka bagi kita sekarang ini, kalau saya akan berusaha dengan segala kemampuan saya yang sangat terbatas ini untuk memperbaiki keadaan dengan merefungsikan kembali Konfusianisme sebagai alat perekat dan identitas diri bersama masyarakat Tionghoa. Bagaimana dengan Anda?
Salam,
Erik
Appendix 1
“Koh Erik, ditengah degradasi moral bangsa, generasi muda saat ini, apa yang diperjuangkan oleh pihak Matakin merupakan suatu hal yang patut didukung. Setelah selama puluhan tahun mendapat tekanan dan perlakuan tidak adil dari penguasa Orba, sekarang umat KongZi dapat lebih leluasa mendapat ketenangan dalam melaksanakan ibadah, upacara pernikahan, dll. Anggap saja seperti yang anda katakan bahwa Konfusianisme dapat digunakan sebagai perekat komunitas ZhongHua, apakah masih relevan pada saat ini, dimana orang ZhongHua sendiri ada yang “alergi” dengan ajaran KongZi, dimana generasi muda saat ini telah luntur penghormatannya terhadap Leluhur dan Orang Tua sendiri, ditengah kacau balaunya moral generasi muda. Ajaran KongZi bersifat Universal, bisa sebagai Filsafat, Pendidikan Budi Pekerti maupun Agama. Dan hal ini merupakan keunggulan tersendiri dibanding Agama lain yang kebanyakan terlalu dogmatis (terutama agama yang berasal dari Timur Tengah makanya disana dari zaman bahula sampai sekarang perang melulu), saya telah banyak mendengar dari para ahli bahwa yang dibutuhkan oleh bangsa ini bukan pendidikan Agama tapi Pendidikan Budi Pekerti. Tapi beginilah bangsa ini baru puas kalau mencantumkan Agama:……… kalau nggak nanti di cap PKI atau atheis, padahal orang beragama belum tentu sebaik orang atheis. Saya justru melihat bahwa ajaran KongZi bukan milik orang ZhongHua semata, tapi merupakan perwujudan dari filosofi dan budaya timur. Zaman sekarang beda dengan zaman dahulu, zaman sekarang segala diktak-kotakkan kamu agama A, dia agama B, saya agama C, klau dahulu mana ada KTP atau peraturan tetek bengek lainnya. [Stevan Nio]