Via Mailing-List Budaya Tionghua [Posted by Chan CT]
Budaya-Tionghoa.Net | Pengantar Redaksi , Nabil Forum ke-2 telah menampilkan tulisan Dr Bondan Kanumoyoso, ‘’Tokoh-tokoh Tionghoa dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia”. Tulisan yang membahas peran tokoh-tokoh Tionghoa di dalam lembaga-lembaga nasional seperti BPUPKI dan KNIP tersebut mendapatkan perhatian yang luas dari sidang pembaca. Menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-66, Nabil Forum edisi ini menampilkan tulisan yang masih membicarakan sumbangsih Tionghoa di masa Revolusi Kemerdekaan, namun dari kacamata yang berbeda.
|
Tulisan di bawah ini menyorot aktivitas Tionghoa dari berbagai daerah di Indonesia, di dalam ikut menegakkan Negara Republik Indonesia. Barangkali yang masih belum banyak diketahui adalah peran Tionghoa di dalam aksi-aksi kemiliteran, sehingga banyak diantaranya kemudian diangkat sebagai Veteran, beberapa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di berbagai pelosok Tanah Air. Salah satu dari mereka bahkan kemudian menjadi Pahlawan Nasional. Perlu digarisbawahi pula, bahwa kaum perempuan pun tidak ketinggalan ikut menjaga Proklamasi 17 Agustus 1945. Inilah kisah mereka dan semoga apa yang telah mereka sumbangkan bisa menjadi suri tauladan bagi kita bersama.
***
“Minoritas Perantara” dan Sikap Tionghoa yang Terpecah Periode 1942-1949, yang merupakan masa pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan, diabadikan oleh seorang penulis peranakan Tionghoa sebagai masa “Indonesia dalem Api dan Bara” karena penuh dengan pergolakan, kekerasan dan ketakutan.[1] Pendudukan Jepang berlangsung singkat, hanya tiga setengah tahun (Maret 1942-Agustus 1945), namun akibat yang ditimbulkannya amat besar bagi etnis Tionghoa.[2] Berakhirnya pendudukan Jepang diikuti dengan masa Revolusi, yakni konflik Indonesia melawan Belanda, yang sering juga disebut “Jaman Bersiap”.
Bagaimanakah sikap etnis Tionghoa dalam masa Revolusi Kemerdekaan? Sejarawan Mary Somers-Heidhues memberikan analisisnya sebagai berikut.[3] Pertama, sebagian etnis Tionghoa tidak ingin berpihak dalam konflik Indonesia-Belanda, karena mereka berpendapat bahwa mereka bukanlah Belanda dan juga bukan Indonesia. Sikap “netral” ini muncul sebagai produk divide et impera kolonial Belanda dan politik resinifikasi (pencinaan kembali) penguasa Jepang.[4] Walaupun posisi ini sering menuai kritik, namun di beberapa daerah, ironisnya, justru sikap “netral” inilah yang diminta oleh golongan pejuang Indonesia dari golongan Tionghoa. Satu contoh adalah pidato yang diucapkan di tahun 1946 oleh dr Abu Hanifah, seorang pemimpin perjuangan di Sukabumi
Hadirin yang saya hormati, saya percaya diantara hadirin sekalian banyak yang dilahirkan di Tiongkok dan tetap mempertahankan kewarganegaraan Tiongkok. Kemudian ada grup lain yang disebut kaula Hindia Belanda yang kini secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia. Mereka dilahirkan di Indonesia dan ingin menjadi Warga Negara Indonesia. Kelompok ketiga adalah mereka yang masih belum memutuskan posisi mana yang akan mereka ambil. Tentu saja Anda sekalian memiliki kepentingan-kepentingan yang berlainan.
Akan tetapi Anda semua kini berada di wilayah Republik dan selama Anda bersama dengan kami, keamanan Anda akan dijamin. Tetapi kami mohon agar Anda tidak campur tangan dalam politik Indonesia. Kami menghendaki agar Anda bersikap netral, hanya netral. Kami bahkan tidak meminta Anda untuk menolong kami. Itu akan meminta terlalu banyak. Jadi kepentingan Anda dan kepentingan kami menuntut Anda semua untuk bersikap netral, dan jangan terlibat dalam politik kami. [5]
Kedua, disana-sini terdapat beberapa Tionghoa peranakan maupun totok yang bersimpati dan berjuang di pihak Republik, Tokoh yang paling vokal barangkali adalah Liem Koen Hian (1896-1952).[6] Dirinya sudah menegaskan identitas keindonesiaannya ketika di tahun 1932 mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI), yang tanpa henti menyerukan kepada peranakan Tionghoa untuk memberikan loyalitas politiknya kepada Indonesia. Liem adalah salah satu founding fathers Negara Republik Indonesia, sehubungan dengan partisipasinya dalam BPUPKI. Dalam salah satu sidang BPUPKI menjelang kemerdekaan, secara tegas Liem memohon agar dalam negara Indonesia nanti, secara otomatis golongan Tionghoa diberi kewarganegaraan Indonesia. Namun sayang, cita-citanya tidak terwujud. Seorang wartawan Amerika menambahkan aspek lain, terdapat juga sekelompok etnis Tionghoa yang dekat pada Golongan Sosialis-nya Sutan Syahrir, yang merasa bahwa masa depan etnis Tionghoa berada dalam Indonesia baru, dengan jalan asimilasi. [7] Ketiga, sikap mayoritas etnis Tionghoa adalah mengharapkan perlindungan Republik Tiongkok, yang selepas Perang Dunia II ikut menjadi salah satu anggota “The Big Five”, lima negara pemenang perang. Dengan demikian, mayoritas etnis Tionghoa akhirnya memilih bersikap netral dalam konflik Indonesia-Belanda. Sikap netral ini juga bisa diakibatkan karena posisi historis mereka sebagai “minoritas perantara” (middleman minority), yang diuraikan dalam ilmu sosial sebagai berikut:
Dalam masyarakat-masyarakat multietnis, kadang terdapat kelompok-kelompok etnis tertentu yang menduduki status perantara [middle status] diantara kelompok dominan yang berada di puncak hirarki etnis dan kelompok subordinat yang berada di bawah. Kelompok tersebut disebut “minoritas perantara” [middlemen minorities]…
Minoritas perantara sering berfungsi sebagai mediator antara kelompok dominan dan kelompok etnis subordinat. Mereka biasanya menduduki ceruk perantara [intermediate niche] dalam sistem ekonomi. . .Mereka memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian selaku pedagang, pemilik toko, pembunga uang [Jawa: mindring] dan profesional independen. Dengan demikian minoritas perantara melayani baik kelompok dominan dan subordinat.
Mereka melakukan tugas-tugas ekonomis yang bagi mereka yang berada di puncak (elit) dianggap sebagai hal yang dibenci atau kurang bermartabat . . .Sehubungan dengan posisi ekonomi perantara mereka, kelompok ini sangat rentan [vulnerable] terhadap permusuhan dari luar kelompok etnisnya, baik yang muncul dari kelompok dominan maupun subordinat. Pada masa-masa tegang, mereka adalah. . .kambing hitam yang alami [natural scapegoat]
Baik secara jumlah maupun secara politis, mereka tidak berdaya dan oleh karena itu harus memohon perlindungan kepada kelompok dominan, yang akan memberikannya sejauh peran ekonomis mereka masih dibutuhkan [8]
Dari uraian di atas, nampak jelas, bahwa golongan Tionghoa menempati posisi sebagai “minoritas perantara”. Kedudukan ini bukan hanya dimulai dari masa kolonial, namun sejak berkembangnya zaman kerajaan Islam di Nusantara, orang-orang Tionghoa sudah banyak diberi kedudukan dengan hal-hal yang dekat dengan uang, misalnya selaku syahbandar atau penarik pajak. Kolonial Belanda kemudian mengembangkan hal tersebut dan memperluas bidang cakupan yang dipegang oleh pengusaha Tionghoa seperti pungutan pajak jalan tol dan bisnis candu, dua hal yang sangat dibenci oleh orang pribumi. [9] Posisi sebagai minoritas perantara yang membuat mereka selalu ingin berada di tengah, menghindari kesulitan yang bakal muncul dari posisi mereka, walaupun ternyata pilihan ini bukannya menyelesaikan masalah, bahkan justru makin banyak menimbulkan persoalan. Apabila “lingkaran setan” sebagai middleman minority tidak diputuskan, maka dikhawatirkan dalam tiap zaman kedudukan golongan Tionghoa akan selalu “serba salah”, seperti yang dilukiskan dengan bagus oleh seorang peneliti dari Australia, Charles Coppel
“…Orang Tionghoa itu ibarat makan buah simalakama bila memikirkan kegiatan politik. Jika mereka terlibat dalam kalangan oposisi, mereka dicap subversif. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dicap oportunis. Dan jika mereka menjauhi diri dari politik, mereka juga oportunis sebab mereka itu dikatakan hanya berminat mencari untung belaka”.[10]
Tulisan ini mencoba memberikan deskripsi tentang hal-hal apa yang sudah disumbangkan sebagian etnis Tionghoa untuk Republik Indonesia di masa Revolusi Kemederkaan. Bagian pertama dan kedua berisikan contoh-contoh dari Yogyakarta, karena merupakan topik penelitian yang pernah penulis lakukan sebelumnya. Bagian terakhir berisi fakta-fakta sumbangsih Tionghoa di dalam perjuangan bersenjata di berbagai pelosok Ibu Pertiwi, suatu topik yang belum banyak diulas.