SUMBANGAN FINANSIAL
Twang Peck-Yang secara tegas menyatakan, dukungan yang pertama-tama diharapkan pemerintah Republik Indonesia dari golongan Tionghoa adalah bantuan keuangan. Kondisi finansial republik muda ini sangatlah buruk, berhubung dengan tingginya angka defisit akibat pendudukan Jepang.[11] Tidak mengherankan, jikalau harapan Pemerintah Republik untuk memperbaiki kondisi perekonomian, pertama-tama tertuju kepada para pengusaha Tionghoa. Di pihak lain, kelahiran Republik Indonesia dilihat oleh pedagang Tionghoa sebagai suatu kesempatan. Negara yang masih amat muda ini memerlukan berbagai pasokan barang untuk mempertahankan kedaulatannya, khususnya persenjataan, medis dan logistik.[12]
Oleh karena Twang Peck-yang sudah menulis panjang lebar soal “kontribusi” Tionghoa dalam revolusi Indonesia, maka penulis akan memberikan ilustrasi dari tingkat lokal dan masih belum banyak diketahui, yakni Yogyakarta.[13] Selaku ibukota RI sejak Januari 1946, di Yogyakarta banyak ditemukan usaha-usaha mobilisasi dana dan tenaga dari golongan Tionghoa demi Pemerintah Republik. Setelah terjadinya aksi militer Belanda I, Chung Hua Tsung Hui (CHTH)[14] Yogyakarta berusaha mengumpulkan dana untuk republik. Jumlah sumbangan awal yang terkumpul sebanyak Rp. 250.000.[15] Selain itu mereka juga mengumpulkan bahan pakaian untuk angkatan bersenjata Republik.[16] Maka tidak heran jika berbagai sumber menyebut CHTH Yogyakarta bersikap “pro republik”.[17] Orang-orang Tionghoa juga banyak menyumbang dalam “Fonds Nasional” yang diketuai oleh, Mr. Soemanang. Partisipasi orang-orang Tionghoa tidak kalah besarnya dalam membantu penyediaan konsumsi. Sejak November 1945 dapur umum Palang Merah Indonesia (PMI) harus menyediakan makanan untuk ± 1.500 orang setiap harinya. Orang-orang Tionghoa ternyata tidak ketinggalan ikut menyediakan makanan.[18]