SUMBANGSIH DIBIDANG KEMILITERAN
Di bidang kemiliteran[23], beberapa orang Tionghoa ikut berperan aktif memberikan sumbangsihnya, mulai dari bertempur, penyediaan logistik dan persenjataan, maupun menjalankan dapur umum bagi prajurit TNI (lihat selengkapnya di Tabel 1). Di Kediri dan di beberapa tempat lain di Jawa Timur, juga di Losarang (Jawa Barat) mantan anggota Keibōtai (kesatuan semi militer Tionghoa yang dibentuk di masa Jepang) aktif memberikan latihan kemiliteran pada laskar-laskar Indonesia.[24] Di daerah Pemalang, muncul satu hal yang cukup unik dalam revolusi Indonesia, yakni munculnya “Laskar Pemuda Tionghoa” (LPT), yang sesuai dengan namanya, bertujuan mendukung kemerdekaan Indonesia. Tokohnya adalah Tan Djiem Kwan, alumnus Sekolah Tionghoa (THHK) Tegal. Tokoh ini giat memberikan kursus anti kolonialisme pada pemuda Tionghoa, mendorong pengibaran bendera Merah Putih, dll. Laskar ini memainkan peran penting dalam melucuti balatentara Jepang di Pemalang. [25] Di Surakarta tercatat pula “Barisan Pembrontak Tiong Hoa” (lihat foto 2).
Keterlibatan orang Tionghoa dalam Batalyon Macan Putih, satu kesatuan gerilya yang aktif di wilayah-wilayah sekitar lereng Gunung Muria (Tayu, Jepara, Kudus, Welahan), belum banyak diungkapkan.[26] Orang Tionghoa di daerah-daerah tersebut mengumpulkan perhiasan empat/lima kali untuk dibelikan senjata di Singapura. Mereka juga menyediakan makanan bagi para pejuang yang dibungkus daun jati. Tio Ma Ay, seorang pedagang roti, pura-pura berdagang roti keliling kampung, padahal dia mengirimkan roti kepada para pejuang.
Orang Tionghoa totok yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan juga banyak ditemui. Yang sering disebut misalnya Tong Djoe, yang kemudian menjadi seorang pengusaha besar.[27] Disertasi Marleen Dieleman dari Belanda, menunjukkan bahwa di masa revolusi, Liem Sioe Liong menyembunyikan seorang buronan Belanda, selama setahun tanpa mengetahui siapa orang yang disembunyikannya. Ternyata orang tersebut adalah Hasan Din, seorang tokoh Muhammadiyah, ayahanda Fatmawati dan mertua Presiden Soekarno. Liem yang nantinya berganti nama menjadi Soedono Salim, dikenal sebagai salah satu pengusaha Tionghoa terbesar di masa Orde Baru. [28] Han Lim Kwang (Han Lian Kuang, 1911-1962), kelahiran Pulau Hainan, Kwangtung yang sudah lama menetap di Makassar. Puteranya mengenang Han sebagai seorang yang “bentji kepada kaum kolonialis Belanda, karena mereka menindas dan menghisap rakjat Indonesia.”[29] Han membuka warung kopi yang ternyata dijadikan pusat pertemuan rahasia gerilyawan Makassar dari kesatuan “Harimau Republik”, dimana Han juga merupakan salah satu anggotanya. Han wafat di bulan Desember 1962 dan jenasahnya mendapatkan kehormatan militer dari Korps Veteran Makassar. Namun masih banyak lagi mereka yang belum diungkap jasanya.
Di Riau ada Tang Kim Teng, seorang Tionghoa totok yang bergabung dengan Resimen IV, Divisi IX Banteng wilayah Sumatra Tengah pimpinan Hassan Basri (lihat foto 3). Kim Teng bertugas mencari senjata, bahan peledak, uniform tentara, sepatu, obat-obatan dan perbekalan lainnya di Singapura. Masih ada lagi orang-orang Tionghoa dalam Resimen IV tersebut: Lie Ban Seng, Lie Chiang Tek, Kui Hok, Tji Seng, Tan Teng Hun, Lai Liong Ngip, Chu Chai Hun dan Chia Tau Kiat. Tan Teng Hun disebutkan telah mengeluarkan sejumlah besar uang untuk membeli senjata api dari Singapura, seragam tentara dan obat-obatan. Sebagian dari mereka telah dianugerahi bintang jasa RI dan menjadi anggota Legiun Veteran RI (lihat foto 4). [30]
Sumbangan lain berupa doktrin perang gerilya. Pemaparan dr Abu Hanifah saat berjuang di Sukabumi melawan Belanda, menunjukkan bahwa booklet perang gerilya karangan Mao Tse Tung (Mao Zhedong) banyak digunakan sebagai “buku pegangan” (handbook) oleh pasukan republik. Diperkirakan strategi tersebut diterjemahkan oleh seorang Tionghoa totok ke dalam bahasa Indonesia. [31]
Yang menarik, kaum perempuan Tionghoa pun tidak berpangku tangan dan mereka pun ikut secara langsung membela Ibu Pertiwi. Salah satu contoh adalah Ibu Giam Lam Nio alias Ny Liem Thiam Kwie (1901-1953), yang menyediakan makanan di dapur umum saat Revolusi di Jawa Timur. Di kalangan prajurit TNI, beliau dikenal dengan panggilan akrab “Ibu Liem”. Setelah pemakaman beliau dengan upacara militer dilakukan pada tanggal 5 Juli 1953, pers melaporkan:
Upacara pemakamannya yang dipimpin Kapten Soesilo dari Divisi Brawijaya dihadiri antara lain oleh …Walikota Soetimbul, dan Kolonel Bambang Soegeng sebagai Kasad. Bagi tentara revolusi 1945 ia bukan seorang ibu biasa. Ia adalah ibu mereka yang dengan segala kasih sayang menyokong perjuangan kemerdekaan dengan mengatur dapur umum siang malam dalam segala keadaan. Ibu Liem senantiasa siap sedia diminta bantuan menyediakan makanan bagi patriot yang bertempur di garis depan. Setelah penyerahan kedaulatan, Ibu Liem masih tetap membantu dengan mengurus panti Perwira di Malang, Jawa Timur Saat meninggal, petinya ditutup bendera merah putih dan dimakamkan di pekuburan Tionghoa di Sepanjang, Surabaya. [32]
Sumbangsih Tionghoa paling spektakuler dalam bidang militer terwujud dalam sosok Mayor (AL) John Lie, yang menjadi penyelundup senjata bagi Republik Indonesia.[33] Beliau dikenal sebagai tokoh legendaris, yang banyak mendapat penghormatan dan rasa kagum dari para pejuang Indonesia. Sebagai seorang nakhoda, John Lie dipercaya pemerintah Republik untuk menjual komoditas Indonesia untuk ditukar dengan persenjataan, peralatan komunikasi dan obat-obatan yang amat dibutuhkan dalam melawan Belanda. Daerah operasinya cukup luas, meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila dan New Delhi. Saat Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda, John Lie berhasil menembus kepungan itu dan mendapat julukan “Nakhoda Terakhir Republik”.[34] Beliau kemudian pensiun sebagai Laksamana Muda dan berganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sejarawan Asvi Warman Adam, di awal 2004 menominasikan John Lie sebagai pahlawan nasional atas jasa-jasanya kepada Negara Republik Indonesia.[35] Akhirnya John Lie, atas usulan Yayasan Nabil, diakui sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009, sebagai pengakuan Pemerintah RI atas jasa-jasanya yang luar biasa. [36]
Demikianlah sekelumit uraian mengenai peran serta orang-orang Tionghoa, peranakan dan totok, di dalam menegakkan panji-panji kemerdekaan yang telah dikibarkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Tidak diragukan, mereka telah ikut memberikan andil dalam mengusir penjajah dan turut mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama saudara-saudaranya dari berbagai suku bangsa. Apa yang tertulis di sini belumlah lengkap dan semoga tulisan singkat ini akan mendorong berbagai pihak untuk ikut aktif mengumpulkan bahan-bahan historis yang masih belum terungkap. Dalam hal inilah, sejarah bisa berperan sebagai sarana integrasi nasional. [37]
***Penulis adalah sejarawan dan Pemimpin Redaksi Nabil Forum. Buku terbarunya adalah The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War (Leiden: EJ. Brill, 2010), sebagai ko-editor dan kontributor.