Budaya-Tionghoa.Net | Drg. Endang Witarsa alias Lim Sun Yu atau Liem Soen Joe [16 Oktober 1916 – 2 April 2008] lahir di Kebumen – Jawa Tengah. Tidak seperti hilangnya peran Tionghoa di Indonesia pada masa sekarang. Nama “Witarsa” dipetik Liem Soen Joe dari bintang PSSI tahun 1950-an , Aang Witarsa. [1]
Endang Witarsa menempuh pendidikan di STOVIT [Universitas Airlangga] dan lulus ditahun 1942 sebagai seorang dokter gigi .[2] Endang kemudian menjadi staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi di Universitas Indonesia, Universitas Trisakti dan Universitas Dr Mustopo . Endang juga memilih karier lain di dunia sepak bola sebagai pemain di klub Soerabajase Voetbal Bond (SVB); Voetbalbond Batavia en Omstreken (VBO); dan Union Makes Strength (UMS) Bandung .
|
Setelah mengakhir karir pemain , Endang melanjutkan karir sebagai pelatih sepakbola. Figur Endang Witarsa merupakan fenomena tersendiri sebagai pelatih dengan rekor terlama[3] dan tertua.[4] Endang pernah melatih tim PERSIJA, Tim Nasional PSSSI , UMS 80 , Warna Agung. Menangani sejumlah talenta dengan karakter masing-masing memerlukan ketegasan dan disiplin. Ditahun 1972 , Ketua PSSI , Kosasih Purwanegara pernah memanggil empat pemain terasnya untuk diberi peringatan. Risdianto , pencetak gol utama timnas bermasalah dengan seringnya dikeluarkan wasit. Ujang Anwar sebagai poros-halang yang bermasalah dengan karakternya yang terlalu menyerang. Abdul Kadir yang nakal dan Iswadi Idris yang dinilai merosot kualitasnya. Dikesempatan sebelumnya , pelatih timnas saat itu , Endang Witarsa sempat mengajukan permohonan berhenti walaupun akhirnya ditolak PSSI. [5]
Ditahun 1981, PSSI berpaling kembali kepada “pelatih tua” Endang Witarsa [64 tahun] untuk menggantikan Harry Tjong. Endang dipercaya karena reputasinya membawa timnas PSSI meraih gelar juar di Piala Annyversary , Jakarta , 1972 yang menjadi sukses terakhir timnas. Endang sebelumnya menolak tawaran sebagai pelatih dengan alasan memberikan kesempatan yang lebih muda. Tak lama kemudian , sekembalinya dari Merdeka Games , Endang Witarsa mengundurkan diri setelah usulnya agar PSSI menerima usul pelatih fisik Lelyana Tjandrawidjaja ditolak PSSI karena alasan pelatih wanita. Endang kemudian digantikan oleh Bernd Fischer.[6]
Sebelumnya Endang sebagai pelatih tim nasional sama sekali tidak mendapat imbalan dari PSSI dan hanya mendapat uang saku yang sama dengan yang diperoleh pemain sekitar 5 USD perhari.[7] Itulah yang membuat Endang sangat dihormati PSSI. Biaya rumah tangganya ditutup oleh uang pensiunan sebagai dosen Universitas Indonesia dan praktek sebagai dokter dirumah. Endang Witarsa begitu mencintai sepakbola . Jika tim yang diasuhnya kalah dia akan mengurung diri dikamar dan mematikan semua lampu dalam rumahnya di Jalan Wahid Hasyim , Jakarta Pusat.
Endang menghembuskan nafas terakhir di usia 91 tahun di RS Pluit Jakarta. Sampai akhir hayatnya Endang alias Liem Soen Joe tetap menunjukkan gairah dan pengabdian pada sepakbola Indonesia. Tiga minggu sebelum meninggal dunia , Endang masih menunggui latihan UMS 80 di lapangan Petak Singkian , Jakarta Barat.[8] Dari tangan dingin Endang lahirlah sejumlah pemain nasional lintas generasi seperti Ronny Pasla , Widodo Cahyono Putra , Risdianto , Ronny Pattinasarany , Rully Nere , Elly Idris , Herry Kiswanto , Berty Tutuarima , Abdul Kadir , Ujang Anwar , Ronny Pasla dan sejumlah pemain nasional lain nya.
[1] Tempo , “Pelatih Tua Dicoba Lagi” , 13 Juni 1981
[2] www.jakarta.go.id
[3] Aylawati Sarwono , “Rekor – Rekor MURI , p272
[4] ibid
[5] Tempo , “Dari Iswadi Sampai Piala Presiden” , 02 Desember 1972
[6] Tempo ,”Pelatih Impor Lagi Dicoba” , 24 Oktober 1981
[7] Tempo , “Pelatih Tua Dicoba Lagi” , 13 Juni 1981
[8] Kompas , “Kepergian Oom Endang , Duka Sepakbola” , 3 April 2008