Budaya-Tionghoa.Net | Laporan Final Hasil Kerja Hao Lei – Seorang Guru Relawan Pengajar Bahasa Mandarin (Hanyu) Asal Tiongkok Selama Bertugas Di Indonesia
Tahun 2007 – 2008.
Nama saya Hao Lei berasal dari Shijiazhuang RRT, semenjak tahun 2007 saya datang ke Indonesia dari Tiongkok sebagai guru relawan pengajar bahasa Mandarin, sampai saat ini saya masih tercatat sebagai mahasiswa di bidang penelitian pendidikan di IKIP Provinsi Hebei angkatan tahun 2006. Sebagai seorang yang mendapatkan kehormatan sebagai guru relawan Tiongkok untuk mengajar bahasa Tionghoa di level Internasional, sepanjang satu tahun ini sangat banyak suka-duka dan kenang-kenangan yang saya peroleh selama bertugas mengajar.
|
Biodata Hao Lei :
Asal : 中国四川省珙县 Kabupaten Gong (“Kung”) Provinsi Sichuan – RRT.
Sekolah : IKIP Provinsi Hebei – RRT
Riwayat Pendidikan : Jurusan Peneliti
Pekerjaan : Pengamat Pendidikan
Hobi : menulis artikel, menyanyi, menari, naik gunung, wisata, filateli.
Kondisi Lokasi Tempat Mengajar.
Saya ditempatkan untuk mengajar di SMA Negeri 1 Turen, Desa Sedayu Kabupaten Malang– Jawa Timur – Indonesia. Saya bertugas mengajar murid-murid dari kelas 1 sampai 3 SMA sejumlah 10 kelas dengan total lebih dari 350 orang murid untuk belajar bahasa Mandarin. Setiap minggu saya mengajar sebanyak 18 kali mata pelajaran, selain itu
masih memberikan pelajaran tambahan di sore hari untuk murid-murid SMA kelas 3 program Bahasa.
Perbedaan yang saya alami dibandingkan dengan rekan-rekan guru relawan Tiongkok lainnya, saya tidak ditempatkan di kota besar atau di lokasi dimana banyak bermukim masyarakat Tionghoa setempat. Seluruh kecamatan ini sangat sedikit warga Tionghoa yang bermukim, tetangga saya, rekan-rekan, maupun murid-murid semuanya adalah penduduk setempat bersuku Jawa. Kalau dipandang dari kacamata orang Tiongkok lokasi disini tergolong miskin dan agak terbelakang. Disini tidak dijumpai perlengkapan / peralatan modern, kurangnya perlengkapan sanitasi yang memadai, juga tidak terdapat sarana hiburan layaknya masa kini, yang ada hanyalah kehidupan sederhana,
tenang dan tenteram.
Meskipun tergolong sebagai SMA Negeri, sebenarnya lokasi sekolah ini cukup jauh beberapa kilometer dari lokasi pemukiman. Belum lagi kalau dibandingkan dengan sekolah di kota atau sekolah swasta yang didirikan masyarakat Tionghoa, sarana dan prasarana di sekolah saya mengajar bisa dikatakan “sederhana”. Seluruh guru pengajar berkumpul di satu ruangan yang berfungsi sebagai kantor untuk bertugas. Di dalam ruang kelas cuma ada peralatan paling mendasar yaitu papan tulis. Begitu musim hujan tiba langit-langit bocor, ruang kelas seketika dipenuhi air seperti “sungai”. Sepanjang musim hujan yang berlangsung 6 bulan lamanya, saya sering mengalami kondisi yang sulit untuk mengajar. Karena sarana yang serba kurang itulah, banyak materi pelajaran maupun compact disc yang saya bawa dari Tiongkok tak bisa dipergunakan sesuai manfaatnya. Ditambah lagi semua murid yang saya ajar adalah penduduk lokal setempat yang belajar bahasa Mandarin mulai dari nol. Dengan kondisi sarana dan prasarana yang semacam itu,
upaya untuk mengatasi kesulitan dan menghadapi tantangan adalah suatu hal yang sangat luar biasa.
Sebenarnya, semua ini cuma pandangan obyektif semata, dengan kata lain masih bisa diatasi. Masalah yang paling mengganggu yaitu: pendahulu saya (guru relawan terdahulu) agak kurang luwes berhadapan dengan pihak sekolah, rekan-rekan guru ataupun tetangga, sehingga saat saya pertama kali datang, mereka menumpahkan semua uneg-unegnya kepada saya. Oleh sebab itu pada permulaan saya mulai bertugas, timbul perasaan sehari laksana setahun lamanya.
Menghadapi kondisi yang serba pasif seperti itu tentu saya juga tak bisa ikut-ikutan bersikap pasif atau menunggu, saya harus berinisiatif untuk melakukan upaya-upaya yang bermanfaat. Selain sungguh-sungguh memberikan pelajaran, giat dalam bertugas sehingga memperoleh pengakuan dan pujian dari rekan- rekan guru; juga bersikap hangat kepada semua orang, berkomunikasi dengan ramah tamah, sehingga saya mendapatkan kesan baik dan kepercayaan dari orang-orang di sekitar saya. Sepanjang ada
waktu luang, saya selalu mengunjungi rumah murid-murid saya, juga sering mengunjungi para tetangga maupun rekan-rekan guru; bila ada warga setempat yang melaksanakan hajatan, pernikahan atau sedang berduka maka saya selalu sekuat tenaga untuk membantu; bilamana ada yang sedang sakit, saya selalu memberikan perhatian dan memberikan obat-obatan dari Tiongkok yang saya bawa; di waktu senggang saya juga membimbing para tetangga untuk belajar memasak masakan Tionghoa, sebaliknya saya juga belajar membuat aneka makanan Indonesia. Dengan mempererat hubungan, sering berkomunikasi, menghormati adat istiadat setempat, tidak sungkan bertanya, dengan cepat saya bisa membalikkan suasana yang kurang kondusif tadi, pada akhirnya saya bisa diterima menjadi bagian dari mereka. Saat menjalin kehidupan persahabatan yang menyenangkan ini, bahasa Indonesia yang saya pelajari juga mengalami kemajuan pesat, dengan kata lain sekali mendayung maka dua pulau terlampaui.