Via Mailing-List Budaya Tionghua [Posted by Chan CT]
Budaya-Tionghoa.Net | Salah satu hal yang masih menjadi bahan perdebatan setelah tiga belas tahun masa Reformasi adalah soal penggunaan istilah “Cina”, “China” dan “Tionghoa”. Penggunaan ketiga istilah tersebut di masyarakat masih menimbulkan kebingungan, karena tidak adanya standar yang baku. Atas dasar latar belakang tersebut di atas maka kami mencoba menyusun suatu paparan yang sistematis, mengenai latar belakang historis dan masalah pemakaian ketiga istilah tersebut dewasa ini.
|
Istilah “Cina”, “China” dan “Tionghoa”
Dari manakah asal kata “cina” dan dari bahasa apa? Seorang Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. A.M. Cecillia Hermina Sutami, menjelaskan bahwa kata “Cina” (Inggris : China; Belanda : China/Chinees; Jerman : Chinesische dan Perancis : Chinois) berasal dari bahasa Sansekerta “chīna”, yang berarti “Daerah yang sangat jauh”. Kata tersebut sudah berada di dalam buku Mahabharata sekitar 1400 tahun sebelum Masehi.[1] Kemudian kata “chīna” menyebar dari Asia ke Eropa dengan mengalami penyesuaian fonologis. Penjelajah ternama, Marco Polo menyebutnya “chin” dan kemudian disebut oleh Barbosa (1516) dan Gracia de Orta (1563) dengan “china”. [2] Kemudian Istilah “Cina” atau yang mirip dengan itu dibawa/diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Barat yang mulai datang ke Nusantara sejak awal Abad ke 16. Dengan latar belakang demikian, secara tegas Prof. Wang Gungwu, seorang pakar sejarah “Chinese Overseas”, dalam sebuah konferensi beberapa tahun silam yang kami hadiri, menggarisbawahi, bahwa orang-orang Tionghoa sendiri tidak mengenal, apalagi menggunakan istilah “Cina/China”.
Mula-mula masyarakat di Nusantara menggunakan istilah “Cina” tanpa konotasi buruk. Akan tetapi dengan makin “berhasilnya” penerapan politik “Divide et Impera” oleh kolonialisme Belanda, hubungan Tionghoa-penduduk setempat yang dulunya selalu baik, berangsur-angsur memburuk. Dalam sentimen yang emosional, istilah “Cina” sering diucapkan dengan “aksen” yang penuh rasa kebencian. Sebagai akibatnya, sekelompok kaum terdidik merasakan perlunya istilah lain untuk menyebut diri mereka. Di Batavia tahun 1900 didirikanlah organisasi modern Tionghoa yang pertama di Indonesia. Mereka memakai nama “Tiong Hoa Hwee Koan” (Perhimpunan Kaum Tionghoa). Inilah pertama kalinya istilah “Tionghoa” yang berasal dari bahasa Hokkian, secara resmi digunakan. Unsur terbesar dalam komunitas Tionghoa berbahasa Melayu berasal dari keturunan perantau Hokkian. Hal ini menjelaskan mengapa istilah Hokkian tersebut yang dipilih.[3] Pelahan-lahan istilah tersebut semakin populer di kalangan orang Tionghoa (yang berlatar belakang dialek yang beragam) dan masyarakat Hindia Belanda pada umumnya.
Di sekitar dekade 1920-an, koran Melayu Tionghoa terbesar, Sin Po mempelopori penggunaan istilah “INDONESIA” sebagai ganti istilah “INLANDER” yang merendahkan masyarakat Nederlands Indië (Hindia Belanda). Kemudian ada semacam “gentleman agreement” antara para pemuka “Kaum Pergerakan” dengan Sin Po yang mewakili masyarakat Tionghoa, untuk tidak lagi menggunakan istilah “Cina” yang berkonotasi menghina, penuh dengan rasa kebencian itu, dan diganti dengan sebutan “Tionghoa”.[4] Di pihak lain, pemerintah kolonial Belanda di tahun 1928 mengakui pemakaian istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” bagi hal-hal yang bersifat resmi.[5] Itulah sebabnya dokumen-dokumen historis seperti misalnya Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), dua badan yang beranggotakan para founding fathers,[6] serta Undang-undang Dasar 1945, semua menggunakan istilah “Tionghoa” dan bukan “Cina”
Pada masa sengit-sengitnya PERANG DINGIN, khususnya setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965, Seminar ke II AD di Bandung pada tanggal 25 s/d 31 Agustus 1966 mengusulkan penggantian sebutan “Republik Rakjat Tiongkok” dan warga-negaranya, menjadi “Republik Rakjat Tjina” dan “warga negara Tjina”, dengan alasan
“Untuk mengembalikan sebutan umum kepada pemakaian jang telah lazim terdapat dimana-mana, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, dan dalam berbagai bahasa, sebagai sebutan bagi Negara dan Warga-Negara jang bersangkutan, tetapi terutama untuk menghilangkan rasa inferior pada bangsa kita sendiri, sebaliknja menghilangkan rasa superior pada golongan jang bersangkutan di dalam Negara kita” [7]
Hal ini kemudian dituangkan kedalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967.[8] Menurut sumber intern yang mengetahui, sebenarnya maksud edaran ini hanya ditujukan/dialamatkan ke Negara RRT dan orang-orang Tionghoa Asing. Sedang untuk WNI keturunan Tionghoa, sebutan “Keturunan Tionghoa” itu tetap dipertahankan, tidak diubah. Namun karena tingginya emosi/sentimen anti RRT setelah G30S, penggunaan istilah “Cina” meluber dan membanjiri semua orang-orang, termasuk WNI keturunan Tionghoa. Menurut Coppel dan Suryadinata, semenjak minggu pertama September 1966 hampir semua surat kabar beralih dari penggunaan istilah “Tionghoa” ke “Cina”. [9] Penyebutan ini muncul hingga di masa Reformasi, bahkan sampai kini pun masih menjadi topik yang belum selesai diperdebatkan.
Yang menarik, selain dua istilah yang sudah ada, dewasa ini muncul istilah baru “China”, yang dilafalkan ke dalam bahasa Indonesia “Caina”. Walaupun istilah ini masih belum diterima secara penuh, namun sebagian kalangan mengadopsinya, baik dalam tulisan maupun ucapan, karena dianggap sebagai jalan tengah yang “netral” dan tidak menghina. Sedangkan pihak yang tidak setuju, menganggap istilah ini tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.
Tidak Perlu Dipertentangkan
Dengan memperhatikan semua hal-hal tersebut diatas, dan dengan menyadari, bahwa kini banyak orang yang tanpa bermaksud buruk dalam memakai istilah “Cina”, maka penggunaan istilah tersebut tidaklah perlu untuk kita pertentangkan. Akan tetapi masalahnya ada pada surat edaran Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967, yang nyata-nyata mempunyai dampak dan pengaruh “menghasut” untuk membenci sebuah negara asing ataupun masyarakatnya, ataupun yang mengenai siapa saja yang terkait. Maka dengan telah berakhirnya “Perang Dingin” serta makin menjadi jelasnya “duduk perkara” di sekitar soal itu, kami berpendapat betapa indahnya kalau Pemerintah menyadari, bahwa sudah waktunya untuk secara resmi mencabut/membatalkan surat edaran itu.
Bagaimana selanjutnya kebijakan masyarakat dalam penggunaan istilah-istilah itu, tidaklah perlu kita pertentangkan. Menarik untuk direnungkan pemikiran Laksamana Madya Sumitro, seorang purnawirawan TNI AL yang ikut bergabung dengan PARTI (Partai ReformasiTionghoa Indonesia) :
“Bukankah merupakan perintah Allah SWT pula bahwa janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi mereka lebih baik, dan jangan pula kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk…… (Al Quran surat Al-Hujuurat-11). Sepanjang pengetahuan saya tidak ada satu pun perkumpulan atau organisasi kelompok etnis Tionghoa di Indonesia ini menggunakan sebutan Cina, semua menggunakan sebutan Tionghoa. Ini menunjukkan bahwa saudara saya sebangsa dari etnis Tionghoa lebih memilih dan menyukai sebutan Tionghoa. Alangkah naifnya diri saya kalau merasakan dan mengetahui hal ini, masih juga saya menggunakan sebutan Cina. Saya tidak ingin menjadi naïf dalam hal apa pun, biarlah orang lain.”[10]
Tulisan ini diakhiri dengan pesan, terserah kepada pengertian dan itikad baik masing-masing pihak, dengan memperhatikan semua hal-hal tersebut di atas.
Eddie Lembong
(Ketua Pendiri Yayasan Nabil)
Jakarta, Februari 2011
*** Versi awal tulisan ini pernah diterbitkan di Nabil News, Edisi Perdana, Juni 2010, h. 27.
[1] A.M. Cecillia Hermina Sutami “Linguistik Sinika: Perkembangan Teoretis dan Penerapannya dalam Pengajaran Bahasa Mandarin di Indonesia”, pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Universitas Indonesia tanggal 15 Oktober 2008, h. 2 (catatan kaki). Lihat juga “Perihal Bahasa Mandarin”, dalam Hermina Sutami, Kamus Dasar Mandarin-Indonesia dengan Pengantar mengenai Bahasa Mandarin (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. liv-lv
[2] Hermina Sutami, “Perihal Bahasa Mandarin”, h. lv.
[3] Charles A. Coppel dan Leo Suryadinata, “The Use of the Terms ‘Tjina’ and ‘Tionghoa’ in Indonesia: An Historical Survey”, dalam Charles A. Coppel, Studying Ethnic Chinese in Indonesia (Singapore: Singapore Society of Asian Studies, 2002), h. 370-371; terjemahan Indonesianya, “Istilah ‘Cina’ dan ‘Tionghoa’ di Indonesia: Sebuah Tinjauan Historis”, dalam kumpulan karangan Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2002), h. 102.
[4] Lihat Ang Yan Goan, Memoar Ang Yan Goan: Tokoh Pers Tionghoa yang Peduli Pembangunan Bangsa Indonesia, disunting oleh Joesoef Isak. Terjemahan Tan Bing Hok (Jakarta: Yayasan Nabil-Hasta Mitra, 2009), h. 49
[5] Lea E. Williams, Overseas Chinese Nationalism (Glencoe, Ill: Free Press, 1960), h. 61 seperti dikutip oleh Coppel dan Suryadinata, “The Use of the Terms ‘Tjina’ and ‘Tionghoa’”, h. 372; idem, “Istilah ‘Cina’ dan ‘Tionghoa’ di Indonesia”, h. 104.
[6] Bukti penggunaan istilah “Tionghoa” yang dipergunakan oleh para “Bapak Bangsa” ketika membicarakan berbagai hal tentang Negara yang akan didirikan, dapat ditemukan dalam dokumen otentik yang disunting oleh Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Edisi ke-4 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998)
[7] Laporan Penutupan Seminar AD Ke-II / 1966 Kepada MEN/PANGAD, oleh Letdjen M. Panggabean, dalam Amanat /Pidato Pra-saran dalam Seminar AD ke-II / 1966 (Djakarta, 1967) hal. 280, seperti yang dikutip oleh Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia, h. 107; lihat juga Coppel dan Suryadinata, “The Use of the Terms ‘Tjina’ and ‘Tionghoa’ in Indonesia”, h. 375.
[8] Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967, dalam Badan Koordinasi Masalah Cina-BAKIN (ed), Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia Buku 2 (Jakarta: Badan Koordinasi Masalah Cina-BAKIN, 1980), h. 19.
[9] Coppel dan Suryadinata, “The Use of the Terms ‘Tjina’ and ‘Tionghoa’ in Indonesia”, h. 375; idem, “Istilah ‘Cina’ dan ‘Tionghoa’ di Indonesia”, h. 107.
[10] (Laksamana Madya) Sumitro, Kesatria Bangsa : Perjalanan Hati dan Karir Seorang Prajurit Laut (Jakarta: Forum Masyarakat Tionghoa, 2002), h. 135 (cetak tebal dari pengarang tulisan ini).
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.