VIA : MAILING-LIST BUDAYA TIONGHUA 58781 , AEROSPACE ITB
Budaya-Tionghoa.Net | Dr. Liem Kengkie (Ken Liem Laheru) wafat pada 2 Mei 2011. Beliau adalah salah satu pendiri Teknik Penerbangan Institut Teknologi Bandung. Pada 1962, kuliah-kuliah bidang penerbangan diberikan di jurusan Mesin-Elektro oleh beberapa dosen ITB yang baru pulang dari Eropa/US, di antara Prof Oetarjo Diran dan Dr Laheru.
|
Laheru pindah ke Amerika Serikat pada 1969. Beliau diterima masuk program Ph.D. di University of Utah. Setelahnya, beliau bekerja di Thiokol Corporation, perusahaan penyedia material pesawat udara dan antariksa. Bidang keahliannya adalah material pesawat. Dr Laheru aktif
menulis jurnal ilmiah internasional. Sebagian diterbitkan sebagai technical document di NASA (misalnya: Thermomechanical coupling in fatigue fracture of viscoelastic materials, NASA Technical Report, 1975). Indonesia kehilangan satu lagi insan terbaiknya di bidang penerbangan. Ikatan Alumni Penerbangan ITB menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga Dr Laheru. Mudah-mudahan kepergian beliau dapat diikhlaskan, dan segala amal baiknya diterima Tuhan.
Berikut catatan pendek dari seorang sahabat beliau, Oetarjo Diran, yang dirilis di milis IAP:
Sekitar lima atau enam dekade yang lampau saya bertemu pertama kali dengan Kengkie di kota Bonn, Jerman Barat. Pak Habibie memperkenalkan Kengkie kepada saya. Liem Kengkie belajar di Technische Hochschule Aachen, Jerman Barat, satu angkatan dengan Pak Habibie. Saya sendiri sedang belajar di Technische Hoogeschool Delft, Belanda, dalam bidang yang sama dengan Pak Habibie dan Pak Kengkie, yaitu flugzeugbau (Jerman) atau vliegtuigbouwkunde (Belanda), yang berarti teknik penerbangan. Kesempatan tadi adalah dalam rangka satu pertemuan persiapan Kongres PPI Eropa.
Tidak lama kemudian, pada 1958, saya pulang kembali ke tanah air. Sesuai dengan ketentuan ikatan dinas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya melaporkan kepulangan saya di Jl. Cilacap No. 4. Saya diberi pilihan bekerja di Departemen Perhubungan Sipil (bersama almarhum Pak Kkarno Barkah) atau Garuda Indonesian Airways (di bawah pimpinan Ir. Soetoto). Saya kemudian pilih Institut Teknologi Bandung yang saat itu terkenal dengan nama Fakultas Teknik Universitet Indonesia.
Setahun sebagai dosen mekanika fluida, perpindahan kalor dan termodinamika, memang agak meresahkan saya, karena saya sudah belajar lima tahun ilmu-ilmu perancangan dan perakitan pesawat udara. Di semester pertama tahun pelajaran 1959-60, di samping tugas resmi memberi kuliah mekanika fluida, perpindahan kalor dan termodinamika, saya mulai memberikan kuliah pilihan dalam bidang aerodinamika dan mekanika dan dinamika terbang. Ini sebenarnya sebagai persiapan kelak mendirikan sub-jurusan teknik penerbangan. Ini masih berupa impian, dan saya lakukan dengan cara diam-diam, karena saya hanya bersama dengan Ir Yuwono (kuliah pilihan struktur ringan), Ir Sugito (kuliah teknik penerbangan/aeronautical engineering /vliegtuigbouwkunde).
Saya menceritakan impian saya mendirikan sub-jurusan teknik penerbangan kepada Pak Habibie, dan menyatakan memerlukan seorang kawan dosen. Beliau kemudian menyebut nama Liem Kengkie.
Liem Kengkie kembali pada awal 1960, dan pada semester pertama tahun pelajaran 1961-1962 secara fait-accompli (tanpa banyak ribut-ribut) kuliah-kuliah pertama dalam kurikulum sub teknik penerbangan mulai diberikan di Jurusan Mesin, Departemen Mesin-Elektro. Dosen yang mengajar penuh antara lain Dipl.-Ing. Liem Kengkie dan Dr.-Ing. Buchmann. Dari auri ada Ir Yuwono, Ir Sukendro Wardoyo, Ir Sugito, Ir R.G.W. Senduk. Dari departemen Perhubungan, ada Ir. Karno Barkah, MSME. Mahasiswa yang “terdaftar” adalah mereka yang dalam dua tahun sebelumnya mengikuti kuliah-kuliah pilihan aerodinamika dan struktur ringan (antara lain Ir Nugroho, Ir Slamet B. Santoso, Prof Sulaeman Kamil, dan lainnya).
Liem Kengkie yang saya kenal adalah seorang pendiam, sabar, tidak banyak omong, namun memiliki ke-khas-an seorang engineer: precise, dengan pengertian mendalam bahwa the engineering detail is very fundamental in the engineering profession. Kuliahnya sangat populer dibandingkan dengan kuliah-kuliah saya. Pendidikan Jermannya sangat terasa: precise, scientific, in-depth dan sangat dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Beberapa tahun kemudian, segera setelah adanya kerusuhan terhadap kelompok masyarakat keturunan (1965), Pak Liem Kengkie datang kepada saya. Dengan agak tersendat beliau menyatakan terpaksa akan hijrah ke USA dengan alasan bahwa masa depan keluarganya memerlukan jaminan keselamatan, kenyamanan dan kesempatan hidup yang layak, yang diperkirakannya mungkin tidak akan diperolehnya di Indonesia. Keputusan pergi ini berat sekali bagi beliau dan keluarga, karena mereka adalah orang Indonesia kelahiran Indonesia. Beliau mengatakan filosofi jus soli (right of the soil) dan jus sanguini (right of the blood). Dia biasanya menjadikan pegangan jus soli: dilahirkan di Indonesia, dus, orang Indonesia. Namun dalam keadaan ini beliau terpaksa berpegangan pada jus sanguini, bahwa beliau adalah keturunan non-pribumi. Dan keterkaitan daerah menjadi penting adanya. Sekedar sebagai menguatkan diri dan pendapat dirinya yang sangat dipengaruhi keadaan saat itu, beliau minta maaf dan merangkul saya:
… verzeihen sie mir, ich musse gehen … (maafkan saya, saya harus pergi)
Beliau juga mengucapakan sepatah dua kata dari karya Goethe yang berbunyi kira-kira demikian
… was is das herz des menschens … dich (Indonesia) zu verlassen … den
ich so liebe … und froh zu sein …
Artinya kira-kira: bagaimana hati seorang manusia … meninggalkan
Indonesia … yang ku cinta … yang senang menjadi (orang Indonesia).
Saya tidak mencoba menghalanginya karena memang agaknya keputusan hijrah ini sudah mutlak dijadikan arah jalan hidup beliau dan keluarga. Beliau keluar dari ruangan, menutup pintu.
THE REST IS HISTORY
Pada 1980an saya bertemu kembali setelah 20 tahun hanya berhubungan melalui surat dan temu muka pada saat-saat yang langka. Beliau masih merasa berterimakasih terhadap masyarakat dan tempat kelahirannya. Namun, dengan keluarga yang besar, dan kemampuan serta pengalamannya yang diperoleh di Thiokol, beliau terpaksa mengambil keputusan logis bahwa kebutuhan Indonesia (dan kepentingan keluarga dengan keluarganya menjelang remaja) mengharuskan pengambilan keputusan tidak kembali. Dengan demikian, kita berpisah kembali, di kamar kerja saya yang saya
huni puluhan tahun lamanya, dan kali ini, ternyata untuk selama-lamanya. Beliau telah pergi. Kemarin malam kami dapat kabar dari USA.
Semoga Tuhan yang Maha Esa memberkahi beliau. Selamat jalan, Kengkie, comrade in arms. May his soul rest in peace.
– Oetarjo Diran (6 Mei 2011)
Posted in Alumni Profile, Founder PN-ITB
Budaya-Tionghoa.Net | MAILING-LIST BUDAYA TIONGHUA 58781
SUMBER : , AEROSPACE ITB , dipostkan oleh Frans Selawinata
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.