Photo Ilustrasi : Gie versi Nichola Saputra
Budaya-Tionghoa.Net | BAGI John Maxwell, Indonesianis dari Australian National University, sejarah tidak hanya dapat dikaji dari perspektif orang-orang besar, tetapi juga orang-orang marjinal.Karena itulah, saat mengkaji perpolitikan Indonesia pada masa 1960-an, dia menggunakan perspektif Soe Hok Gie, seorang mahasiswa demonstran dari Universitas Indonesia masa itu. ”Soe Hok Gie adalah lensa kecil untuk melihat kondisi Indonesia tahun 1960-an,” ujarnya [1]
Salah besar untuk melihat Hok Gie dari perspektif “orang marjinal” atau “lensa kecil”. Dalam kenyataannya Hok Gie adalah “orang di-sentral pusaran” dan “lensa besar” dalam perjuangan melawan tirani Orla pada jamannya. Saya sangat mendapat kehormatan mendapat kesempatan bahu-membahu dengan tokoh sebesar dia ketika itu.Kebesarannya terutama nampak di akhir aktivitas demonstrasi fisik Angkatan ’66.[2]
Ketika itu para pimpinan demonstran mahasiswa mulai menjadi kemapanan sendirinya, dan membentuk organisasi-organisasi politik untuk melanggengkan nikmatnya kekuasaan kecil yang mereka mulai rasakan, supaya menjadi kekuasaan yang lebih besar. Di saat itu Hok Gie justru mengkampanyekan agar para demonstran mahasiswa seyogianya segera balik ke kampus, belajar seperti biasa lagi.
Yang selalu diceritakannya kemana-mana adalah amsal dari film Shane, film western top jaman itu, di mana seorang cowboy yang datang ke suatu kota yang dikuasai bandit, segera meninggalkan kota itu setelah banditnya dia tumpas, supaya dia tidak menjadi kemapanan baru di kota itu, yang berujung pada dia menjadi bandit yang baru.
Pedoman moral Hok Gie ini terus bergaung selama puluhan tahun, dan menjadi pegangan para aktivis mahasiswa di tahun 1998 ketika mereka berhasil menumbangkan Soeharto. Tidak ada seorang pun yang mengkapitalisasikan peranannya sebagai demonstran mahasiswa untuk mendaki tangga kekuasaan. Dibanding Hok Djien (Arif Budiman), saudaranya yang tinggi besar itu, Hok Gie mungkin memang orang yang kecil, namun dalam ketokohannya dia orang yang jauh lebih besar! [3]
Mengharukan juga, kalau ingat, kami kedua saudara itu, hidup dalam satu era kemahsiswaan: pertengahan 60an, dimana kami alami kemelut pasca Gestapu. Sampai kini, kami sekeluarga masih berhubungan dengan adik wanitanya yang kecil, yang masih tinggal di Jakarta, Jeanne Su (teman kelas isteri saya di SMA Sancta Ursula). Waktu saya pacaran dengan isteri, Jeanne selalu menemani, yahh.. senja akhir 1966.[3]
Menurut member lain , Soe Hok Gie dalam hidupnya telah berbuat sesuatu yang ada besar maknanya. Tetapi memang sayang sekali, bahwa beliau tidak dikaruniai umur panjang. Sekalipun demikian dalam umur yang singkat, beliau sudah berbuat lebih banyak daripada seseorang pada umumnya. [4]
Tulisan diatas merupakan rangkuman dari diskusi antara Akhmad Bukhari Saleh & RM Danardono Hadi di mailing list
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghoa
CATATAN KAKI
[1] Suara Merdeka
[2] Akhmad Bukhari Saleh , Arsip Mailing-List Budaya Tionghoa No 12869
[3] RM Danardono Hadinoto , Arsip Mailing-List Budaya Tionghoa No 12869
[3] Arsip Mailing-List Budaya Tionghoa No 12631