Budaya-Tionghoa.Net | China dalam sejarahnya memang banyak sekali padanan yang menyertainya dikarenakan sejarah China sendiri yang panjang mencapai 5000 tahun. Istilah “Zhong Guo” atau “Negara Tengah” sendiri sebenarnya baru populer setelah terbentuknya republik setelah revolusi 1911. [1][2]Tentunya istilah Zhong Guo tidak serta merta muncul begitu saja, namun berasal dari istilah Zhong Yuan (Hokkian : Tiong Goan) yang artinya dataran tengah. Dataran tengah ini merujuk kepada daerah di antara Sungai Kuning di utara dan Sungai Panjang (Yang-tse) di selatan yang merupakan mobilitas orang2 yang berbudaya Han. Dulu, orang Han masih menganggap mereka sederajat lebih tinggi daripada bangsa barbar yang belum “cukup” berbudaya. Jangan heran, sikap egosentris seperti ini memang lazim pada negara besar di zaman dulu.[3]
|
Asal Kata “China”
Menanggapi opini Xuan Tong-xiong yang menyatakan bahwa kata China berasal dari bahasa Sansekerta, memang banyak pendapat seperti itu bersumber dari sejarahwan Barat yang mengambil sumbernya dari India. Namun saya ingin menyatakan analisis saya atas pendapat di atas. Kontak pertama India dan Tiongkok adalah melalui Jalan Sutra. Terbentuknya jalan sutra dapat kita bagi menjadi 2 bagian, bagian barat dan timur. Bagian barat adalah yang menghubungkan India Utara dengan Timur Tengah. Ini terbentuk pada abad 3 SM. Pada saat itu, Yunani sedang berkuasa di Timur Tengah dan Laut Tengah. Ini yang menyebabkan ada pengaruh kebudayaan India (dalam hal ini Buddhisme) dalam kesenian Yunani seperti arca dan patung Yunani yang bentuknya mirip dengan perwujudan arca Buddha di India. Bagian timur Jalan Sutra menghubungkan India Utara dengan Tiongkok. Ini tercatat sejarah pada zaman Dinasti Han. Bersamaan dengan ini, agama Buddha pertama kali tersebar ke Tiongkok. [4]
Dari sumber2 sejarah India, memang ada kontak dengan daerah yang disebut “Cina” pada waktu sebelum berdirinya Dinasti Qin (abad 3 SM). Namun dituliskan bahwa yang disebut “Cina” bukanlah Tiongkok orang Han yang adanya di Tionggoan, namun hanyalah dengan suku minoritas di Tibet dan Yunnan. Ini dapat dimengerti karena memang kontak Tiongkok dengan India terhalang oleh “natural barrier” yang berupa Pegunungan Himalaya. Ini juga menyebabkan mengapa kontak antara India dan Tiongkok terhitung lambat dibanding dengan kontak India dengan Timur Tengah dan Eropa walau jarak mereka lebih jauh. Jadi, memang ada istilah “Cina” di dalam literatur India kuno, namun bukanlah merujuk kepada Tionggoan (orang Han) yang kita kenal. Bila kemudian penggunaan istilah “Cina” ini kemudian meluas itu dikarenakan orang India menganggap orang Han adalah juga orang Timur (relatif dibandingkan India) sama dengan suku minoritas di Yunnan dan Tibet sedangkan yang disebut orang Barat di sini tentu adalah orang Persia dan Yunani.
Menilik keadaan di atas, maka memang dapat diterima bahwa asal mula kata “China” adalah berasal dari India dan bukan dari kata Qin. Ini dikarenakan pada zaman Qin, belum ada kontak antara Tionggoan dengan India maupun Eropa melalui Timteng. Di zaman Han, orang Tionggoan sendiri juga tidak menggunakan kata Qin untuk menyebut negara mereka, namun menggunakan kata Han, seperti yang tercatat dalam literatur Jepang. Orang Tionggoan pada zaman itu juga mulai menyebut diri mereka orang Han dan bukan Qin.
Kata “China” Sebagai Penghinaan
Kata China sebagai dirasakan sebagai penghinaan dapat ditarik sejarahnya ke tahun 1915. Waktu itu, Presiden Yuan Shi-kai yang menerima kursi kepresidenan dari Sun Yat-sen demi mewujudkan impiannya mendirikan Kekaisaran Zhonghua meminta bantuan kepada Kekaisaran Jepang. Kekaisaran Jepang kemudian memaklumatkan 21 pasal yang harus diterima oleh Presiden Yuan Shi-kai untuk mendapatkan dukungan Jepang. Di antara 21 pasal ini adalah berisi pasal2 di mana kedaulatan China nantinya harus berada di bawah Jepang. Jepang berani memaklumatkan ini karena memang pada saat itu, Jepang merasa berada di atas angin setelah menang pada peperangan Jia Wu tahun 1895 yang berakibat jatuhnya Taiwan ke tangan Jepang.
Pasal2 ini walaupun diterima oleh Presiden Yuan Shi-kai namun tidak pernah ia laksanakan karena tekanan dari kemarahan rakyat. Pada tahun 1919, pecah Gerakan 4 Mei yang merupakan refeksi nasionalisme dari mahasiswa dan kaum muda Tiongkok atas kesewenangan Jerman dan Jepang. Jepang pada waktu itu telah terang2an menduduki Shandong yang diambil dari Jerman, namun Tiongkok tidak dapat berbuat apa2. Di saat ini jugalah, kata “Shina” yang digunakan orang Jepang untuk menyebut Tiongkok dirasakan sebagai bentuk penghinaan. Mengapa dirasakan sebagai bentuk penghinaan?
Memang, kata Shina (mandarin : Zhi Na : dibaca Ce Na) untuk menyebut Tiongkok sebenarnya diambil Jepang sendiri dari literatur Tiongkok yang pernah mencatat kata “Zhi Na” untuk sebutan bagi Tiongkok. Ini juga tercatat dalam beberapa literatur Buddhisme yang diterjemahkan dari bahasa Pali maupun Sanskrit. Yang menjadi permasalahan adalah orang Jepang nampaknya sengaja menggunakan karakter kanji untuk kata Shina ini. Karakter kanji merupakan pictograph, di mana setiap karakternya punya makna tersendiri. Zhi Na ini dalam bahasa Mandarin artinya mungkin tidak ganjil, namun bagi yang mengerti bahasa Jepang, karakter Zhi artinya “ujung, pinggir”, karakter Na artinya “daerah”. Zhi Na dalam karakter kanjinya Jepang dapat diartikan sebagai “daerah pinggiran atau ujung”.
Sebenarnya kata Shina sudah digunakan orang Jepang untuk menyebut Tiongkok sejak zaman Meiji. Akhir Dinasti Qing, sewaktu Sun Yat-sen menggalang revolusi meruntuhkan Qing, mereka dengan senang hati menyebut diri mereka sebagai orang Shina. Ini dikarenakan Dinasti Qing adalah kekuatan luar Tiongkok (Manchu) yang dianggap bukan orang Han. Shina pada waktu itu digunakan merujuk kepada orang Han yang sedang melawan kekuasaan Manchu. Dinasti Manchu sendiri disebut Jepang sebagai Da Qing (Qing Raya). Jadi pada waktu ini, paling tidak sampai pada tahun 1919, kata Shina tidak mengandung nilai sentimental berupa penghinaan.
Setelah tahun 1932, pemerintah Jepang berjanji tidak menggunakan kata “Shina” lagi dalam dokumen resminya. [5] Namun kata “Shina” masih terus digunakan secara luas di media massa dan kalangan publik. Kata “Shina” benar2 hilang dari publik Jepang setelah Jepang kalah perang pada tahun 1945. Setelah ini, penggunaan kata “Chugoku” (mandarin : Zhongguo) dan “Chuka” (mandarin : Zhonghua) yang dikemukakan oleh Aris-xiong baru dipopulerkan di Jepang. Sebelumnya, publik dan kekaisaran Jepang rada anti menggunakan kata Zhongguo dan Zhonghua karena di zaman dulu, Jepang merupakan negara di bawah dinasti yang berkuasa di Tionggoan. Negara seperti Jepang, Vietnam, Korea, Tibet dalam masa tertentu membayar upeti kepada dinasti yang berkuasa.
Penutup : Kata Cina di Indonesia
Cina bukan hanya mengundang polemik antara Jepang dan Tiongkok. Di Indonesia yang kondisi politiknya khusus juga ada masalah ini. Sebenarnya, menurut saya sendiri, kata apapun bila diucapkan dengan niat menghina maka kata itu mengandung nilai sentimentil penghinaan. Tidak usah mencari kata2 yang memang mengandung makna tertentu yang menghina. Sama saja seperti kata Cina yang sengaja dimaklumatkan untuk menggantikan kata Tionghoa pada tahun 1966 di Indonesia. Masalahnya adalah niat daripadanya. Mengapa harus sengaja diganti? Mengapa harus ditekankan penggunaan kata tadi? Padahal sebelumnya tidak ada masalah dengan kata Cina, Tiongkok maupun Tionghoa. Orang Cina di Malaysia dan Singapura juga menyebut diri mereka sebagai orang Cina. Saya bila bertemu dengan TKW Indonesia sering ditanya “anda orang Cina yah?”. Bagi saya mereka tidak berniat yang bukan2 dalam pertanyaan tersebut, maka juga tidak perlu ada prasangka yang bukan2 lalu menerangkan panjang lebar untuk mengoreksi kosa kata Cina menjadi Tionghoa dalam kamus mereka. Biasanya saya hanya menjawab pendek, “Yah, saya orang Cina, juga orang Indo.”
Mudah2an tulisan ini dapat menjawab pertanyaan Aris-xiong dan rekan2 lainnya tentang sejarah mengapa kata China bisa mengandung penghinaan.
Rinto Jiang
CATATAN ADMIN :
[1] Term Zhongguo ,Dalam salah satu essaynya [Yuan Dao] , Han Yu [768-824] menulis :
When Confucius composed the Spring and Autumn [Annals], if the leaders of the land adopted alien [yi] modes of behavior he treated them as aliens, but once they had advanced into the countries of the center [Zhongguo] he treated them as he did the inhabitants of the center . As the classic [jing] have it. Even if the alien peoples [yidi] have an acknowledged prince , they are inferior to the many XIA who may not.” [Louwe , Shaughnessy , Cambridge Ancient China ,]
[2] Berdasarkan penemuan-penemuan arkeologi terakhir ternyata Tiongkok sudah 8000 tahun peradabannya. Penemuan terakhir yang masih dikaji dan diriset adalah masalah aksara. Jika selesai pengkajian dan riset , maka aksara tertua di dunia adalah aksara Tiongkok purba dan aksara Jia Gu Wen tidak lagi menjadi aksara tertua di Tiongkok.
[3] Pertumbuhan Tiongkok dari konsep “huaxia” , “zhongyuan” , “central plain” , berasal dari wilayah tengah kemudian menyebar ke empat penjuru mata angin. Kenapa kemudian stabil ? Ada perbedaaan bagaimana cara Tiongkok memandang “yang lain” , atau paling ekstrim , sebagai musuh dengan membuatnya menjadi “Tiongkok” . Berbeda dengan peradaban tua lainnya seperti Mesir , dan Mesopotamia. Seperti misalkan :
Thus, contrary to the Chinese response, the Egyptians never seem to have developed a real need or passion to Egyptianize the foreigners, to teach them the true way, so to speak.[Mu Chou Po ,”Enemis of Civilization, Attitudes toward Foreigners in Ancient Mesopotamia , Egypt and China”]
[4] lihat http://web.budaya-tionghoa.net/home/616-sino-india-nama-china-artinya-sutera
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.