Budaya-Tionghoa.Net| Ungkapan di atas digunakan untuk memuja kota Suzhou dan Hang Zhou (Soh Ciu dan Hang Ciu), yang dikatakan seindah surga. Ungkapan ini digunakan di Peng Tjong Hiap Eng, ketika itu In Tiong menaiki kuda memasuki kota Soh Ciu, melihat keindahan kota, teringat padang pasir, ia menghela napas dan berkata dalam hati; “benarlah perkataan shang you tien tang, xia you su hang”.
|
Entah siapa yang pertama memulai memuja Soh ciu dan Hang ciu dengan ungkapan itu, tetapi sekarang hampir semua penduduk tidak hanya kedua kota itu, juga seluruh kang-lam (jiang-nan) tahu dan bangga dengan ungkapan ini.
Marcopolo juga memuji keindahan Soh ciu, pada jaman itu ada tiga kota yang dipuji keindahannya, Yangzhou, Suzhou dan Hangzhou, Yangciu, Sohciu dan Hangciu. Dibanding dengan eropa pada waktu itu, memang Sohciu lebih menang. Jembatan lengkung dan setengah bulat menghiasi kanal kanal dalam kota. Perahu perahu hilir mudik melintasi kanal. Ditimpa sinar purnama, refleksi jembatan di kanal bagaikan memeluk bulan purnama seakan sepasang kekasih. Musik yang ditabuh gadis yang berpinggang kecil, mengiringi minum arak dan perahu berayun dibawah sinar purnama bulan ke delapan di tengah kerlip lampion menghiasi kanal kanal kota Sohciu sepanjang malam. Di bulan ke delapan (imlek), angin kutub utara mulai meniup ke selatan membawa hawa sejuk yang mengusir kabut asap musim panas. Di siang hari langit kembali terlihat biru, di malam hari bulan purnama terlihat demikian terang dan jelas, dari jendela seakan tergantung di pohon. Pada pehgwe capgo banyak anak muda bergadang semalaman menikmati bulan purnama.
Sohciu dapat mendukung gaya hidup yang sedemikian hedonis, karena waktu itu banyak keluarga kaya tinggal di Soh ciu. Banyak keluarga menjadi kaya karena perdagangan, karena Kang-lam adalah lumbung pangan. Hasil buminya bahkan dikirim melalui grand canal hingga ke beijing. Hasil suteranya bahkan sampai ke Eropa. Sampai hari ini jari lentik nona nona sohciu tetap menghasilkan sulaman benang sutera yang sangat mengagumkan. Dengan menggunakan jarum yang sangat lembut untuk benang sutera yang sama lembutnya, sulaman sutera yang dihasilkan sungguh mengagumkan. Ikan koki atau ikan koi yang bagaikan hidup dan seakan sedang berenang dan kucing yang benar benar kelihatan siap meloncat.
Walaupun demikian uang yang di dapat dari rejeki perdagangan tidak hanya dihabiskan untuk menggadang bulan, hampir semua keluarga yang kaya, termasuk jor-joran untuk membangun taman yang paling baik. Taman taman pribadi dibuat di atas tanah yang luas, bahkan banyak yang lebih dari 3 hektar. Perencana taman pada waktu itu akan membagi tanah ini menjadi beberapa plot. Setiap plot diberi tema tertentu dengan menggunakan elemen tanaman, bunga, pohon, dan gunung2an batu, bangunan, koridor, tembok partisi. Teras, jendela dan pintu berbagai bentuk digunakan untuk menangkap pemandangan tertentu. Konsep im-yang, ngo-heng digunakan untuk menjaga keseimbangan. Jenis bunga, warna bunga dan kapan mekarnya, warna daun, bentuk daun menjadi elemen yang menentukan. Elemen tambahan, seperti kaligraphy, toei lian, lukisan juga digunakan untuk menambah dan terkadang memberi karakter dan aksen. Furniture, bentuk ruangan bangunan juga menentukan. Taman taman di kota soh-ciu inilah yang memberi inspirasi taman taman di kota Kyoto Jepang.
Lantas bagaimana si pemilik menikmatinya? Tidak aneh muncul nama nama pavilion atau teras untuk menikmati mekarnya mulan (magnolia), pavilion untuk menikmati bunga bwe, teras minum teh untuk mendengar gemersik daun bambu di akhir musim
panas, dst. Sepertinya setiap tempat dan sudut taman ada waktu yang tepat untuk menikmatinya. Di satu tempat yang pas dan tepat bisa jadi si pemilik sendiri atau menjamu teman atau keluarga akan menikmati mulan mekar di penghujung musim
dingin, sebelum musim tiba musim semi, dan minum teh di tempat lain di musim angin utara tiba untuk mendengarkan gemersik daun bambu setengah kering, dst. Arsitek dengan patron keluarga kaya atau pembesar kaya raya yang pensiun berlomba lomba mempersembahkan yang terbaik. Ide yang baru di perbarui lagi dst.
Sehingga muncul ungkapan “kalau di Soh ciu ada taman di dalam taman, sedang di Hang ciu ada telaga dalam telaga” Syukur taman yang di maksud tidak ikut dihancurkan pemberontakan Tai-ping, sehingga masih bisa dinikmati sekarang. Salah satu taman di sohciu menggunakan konsep ini. Dari satu teras pemandangan yang disajikan di seberang kolam adalah gunung2an, pohon, tanaman yang dikombinasikan membentuk satu pemandangan yang bagus. Ternyata di sembunyikan di balik gunung2an pohon ada taman lagi dalam bentuk yang lain.
Butuh satu buku sendiri untuk membahas konsep, elemen, philosophy yang digunakan menjadi dasar satu taman dan terlebih jika melakukan perbandingan satu taman dengan taman yang lain.
Di atas perahu dari Suzhou ke Hangzhou, ketika duduk di ruang makan di bagian atas perahu, melihat keluar jendela, tampak mentari musim panas mulai masuk peraduan. Setelah beberapa kali melintas jembatan lengkung, pemandangan kanal segera berubah ditelan oleh gelap. Perahu berjalan lambat dan sering berbelok. Segera setelah gelap tidak terasa lagi belokan belokan itu. Sungguh aneh, antara Hangzhou dan Suzhou sebenarnya tidak dihubungkan oleh sungai alam. Tetapi berkat kanal kanal yang dibuat sedikit demi sedikit sejak seribu dua ribu tahun lalu, dua kota ini jadi terhubungkan. Tentu saja kanal ini dimungkinkan karena memang terletak di muara sungai Tiang-kang, dan air tersedia melimpah sepanjang tahun. Sejak dulu kanal kanal ini digunakan untuk mengangkut barang dagangan, dari Suzhou ke Hangzhou atau sebaliknya. Segala macam barang dagangan diangkut, sutera, teh, barang pecah belah dari porselen dllsb, termasuk hasil bumi. Melihat manfaat kanal, bahkan akhirnya dibuat kanal yang menghubungkan Kang-lam dengan Bei-jing.
Begitu malam merayap, dengan cepat pikiran melayang. Suzhou, kota yang kaya, sutera, hasil bumi, termasuk teh dari seberang thay-ouw, juga teh dari Hangzhou, satu waktu pernah merajai perdagangan. Perahu bergerak perlahan, hampir tak terasa, sambil menunggu habisnya minuman, di luar alam terlihat gelap. Suzhou beberapa kali dihancurkan peperangan untuk kemudian bangkit lagi. Yang terakhir dihancurkan pada waktu pemberontakan Tai-ping. Berada di antara Suzhou Hangzhou segera teringat Solo Jogya, daerah yang sama suburnya. Air sama melimpah. Yang satu dibawah naungan gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Sungguh ironisn juga mengalami nasib yang sama, beberapa kali dihancurkan peperangan. Tanah pertumpahan darah.
Agaknya kekayaan menimbulkan nafsu kekuasaan. Nafsu kekuasaan berujung dengan perebutan. Dan diselesaikan dengan kekuatan senjata. Apakah peperangan kemarin yang terakhir? Apakah dengan datangnya demokrasi peperangan sudah habis? Mungkin akan banyak yang menjawab tidak. Mungkin sebagian lagi menjawab, ya selama demokrasinya masih semu ya pasti masih ada peperangan. Kalau tidak semu lagi ya tidak ada lagi. Bukankah ini hanya sejarah usaha manusia saja?
Sejarah akhirnya adalah catatan yang menunjukkan usaha usaha umat manusia untuk mengatur diri mereka sendiri dalam hidup bersama di bumi ini. Sama halnya seperti kanal kanal ini menunjukkan usaha manusia untuk memanfaatkan alam tidak dengan merusaknya. Bukankah taman taman di suzhou juga menunjukkan usaha usaha manusia untuk hidup harmonis dengan alam? Dengan menghadirkan kembali alam yang hijau di pekarangan rumah.
Begitu gembiranya Kang Lam di awal Perjodohan busur kemala, ketika menghirup udara Kang Lam pada bulan ke tiga. Di saat itu rumput rumput tinggi, bunga bunga mekar permai dan burung ngoceh tak ada hentinya. Di belakangnya ada mengintil serombongan bocah, sambil tertawa hah hihi. Sembari tertawa Kang Lam lantas membagi bagi kembang gula kepada kawan kawan bocah itu, yang lantas menerimanya dengan gembira.
Kang Lam sedang berada di perbukitan di sebelah barat Sohciu, di bukit yang di kenal dengan nama Bukit Macan. Di Bukit Macan ini ada batu selebar lebih dari meja makan terbelah oleh pedang. Batu yang sama sekarang terus menerus dikunjungi oleh turis untuk melihat dan membayangkan tajamnya pedang yang mampu membelah batu.
Liang Ie Shen berhasil mengabadikan keindahan Kanglam, keindahan Sohciu melalui tokoh tokoh rekaannya. Melalui kerinduan Thio Tan Hong akan tanah leluhurnya, kerinduan Tan Teng Kie, ayah Tan Thian Oe, yang ditugaskan jauh dari kampung halaman. Tan Teng Kie bahkan menamakan kacung memain anaknya dengan nama Kang Lam. Tanpa sadar banyak yang terhanyut ikut rindu akan tanah kelahiran, tanpa sadar banyak yang kemudian ingin tahu tentang Kang-lam dan Soh-ciu. Di luar dugaan akhirnya memicu kesadaran yang lain. Kesadaran manusia di jaman ini agaknya muncul untuk menjamin keindahan soh ciu bisa dinikmati seribu tahun lagi.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 26043
Photo Credit :
1. http://flickr.com/photos/48600108001@N01
2. 杭州市下城区人民政府