Budaya-Tionghoa.Net| Faktor ketiga “TEKAD DAN KEBERANIAN”. Seseorang yang ragu-ragu untuk mengoreksi kesalahannya adalah orang yang benar-benar tidak ingin mengubah, dan puas dengan keadaan yang sedang berlangsung.
|
Karena keinginan mengubah tersebut tidak kuat, membuat kita takut untuk mengoreksi kesalahan kita. Untuk mengubah kesalahan, kita harus berusaha keras untuk segera mengubahnya. Kita tidak boleh ragu-ragu atau tunggu dulu, ditunda sampai besok atau hari berikutnya untuk mengubah kesalahan kita tersebut.
Kesalahan kecil adalah ibarat sebuah duri menusuk daging kita dan harus segera dicabut. Kesalahan besar adalah ibarat jari kita yang digigit ular berbisa yang harus segera dipotong tanpa ragu-ragu untuk menghindari racun tersebut menjalar ke bagian lain dan mematikan.
Bila kita mengikuti ketiga cara tersebut di atas untuk mengoreksi diri, sudah pasti kepribadian kita akan berubah. Seumpama matahari melumerkan salju di musim semi. Kesalahan kita akan hilang melalui tiga cara tersebut.
Tiga tahapan dalam mengubah kesalahan.
1. Mengubah kesalahan berdasarkan masalahnya.
Misalnya, bila saya membunuh makhluk hidup kemarin, mulai hari ini saya berjanji tidak akan membunuh lagi. Bila saya marah besar, mulai hari ini saya berjanji tidak akan marah lagi. Inilah cara bagaimana seseorang mengubah kesalahan berdasarkan masalahnya dengan berjanji tidak mengulangi lagi kesalahan yang telah dibuat.
Bagaimanapun akan lebih sulit ratusan kali lipat bila kita memaksa diri tidak berbuat sesuatu daripada kita hanya berhenti berbuat sesuatu secara normal. Bila kita tidak mencabut akar kesalahan kita, tetapi hanya menahannya, kesalahan akan muncul lagi bahkan kita kadang-kadang telah berhenti melakukannya. Karena itu, metode mengubah berdasarkan masalahnya tidak dapat membantu kita melepaskan diri dari perbuatan salah secara permanen.
2. Mengubah berdasarkan peraturannya
Metode ini adalah yang lebih efektif. Kita dapat mengoreksi kesalahan diri dari pengertian terhadap kebenarannya mengapa kita tidak boleh melakukan perbuatan tersebut, misalnya dalam hal membunuh, kita dapat berpikir bahwa
…..
Mencintai semua makhluk hidup adalah hukum kebenaran alam. Semua makhluk berjiwa ingin hidup dan takut mati. Bagaimana kita boleh membunuhnya untuk menyambung nyawa kita? Kadang kala, hewan dimasak hidup-hidup, seperti ikan atau kepiting, belum dipotong sudah dimasukkan ke dalam periuk. Kesakitannya akan menusuk sampai ke tulang, bagaimana kita dapat sedemikian kejam terhadap hewan?
Bila kita makan, kita menggunakan bahan makanan yang mahal dan enak-enak untuk kesehatan kita, makanan memenuhi seluruh meja. Tetapi setelah dimakan bahkan makanan yang paling enakpun belum tentu dapat diserap oleh badan dan akan dibuang oleh badan juga.
Berpikir lagi bahwa hewan mempunyai daging, darah dan perasaan seperti kita. Kita dapat melatih diri dengan membiarkan hewan tetap hidup di sekitar kita, bagaimana kita terus menerus mencelakakan mereka dan membuatnya membenci kita? Bila kita memikirkannya, secara wajar kita akan merasa kasihan dan tidak tega membunuh dan memasaknya sehingga menghilangkan kebiasaan untuk membunuh.
Hal yang sama juga seperti orang yang mudah marah, bahwa semua orang mempunyai kekurangan dan kelebihan, tidak ada yang sempurna, bila ada yang menggangu, itu adalah urusannya, tidak ada urusan dengan saya, tidak ada gunanya saya marah dan merasa tersinggung. Saya juga dapat berpikir……
Orang yang mengira dirinya selalu benar, maunya orang lain yang selalu berbuat begini begitu, tetapi mengapa tidak meminta diri sendiri juga berbuat yang sama? Orang ini adalah orang bodoh. Seseorang yang beretika dan yang selalu melatih diri, pasti selalu rendah hati, koreksi diri dan memperlakukan segala sesuatu dengan sabar. Maka orang yang selalu mengkritik dan mengeluh terhadap orang lain adalah bukan seorang manusia sejati.
Oleh karena itu, bila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita, itu adalah karena kita belum cukup melatih etika dan moral, belum mengumpulkan kebajikan untuk dapat menyentuh hati orang, kita harus selalu introspeksi diri apakah kita sendiri yang telah memperlakukan orang lain dengan tidak baik.
Bila kita rajin mempraktekkan cara ini untuk melatih etika maka fitnahan orang lain kepada kita adalah merupakan suatu lapangan latihan kita untuk mengoreksi sifat pemarah, sehingga mencapai tujuan baik.
Hengki Suryadi
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.