Budaya-Tionghoa.Net | Masyarakat Achang 阿昌族 diidentifikasi oleh pihak lain sebagai Daisa, Hansa , Maingtha [Burma], Mongsha, Ngachang, Mengsa , Mengsa-shan dan Xunchuan. Masyarakat Achang merupaksan salah satu minoritas paling sedikit populasinya yang diakui oleh pemerintah. Sensus tahun 1990 menyebutkan masyarakat ini berjumlah 28 ribu jiwa.
|
Masyarakat Achang dapat ditemukan di Yunnan, terutama di daerah Longchuan 陇川县 , Lianghe 梁河县 dan Luxi. Kawasan ini dirancang sebagai prefektur otonomi Dehong Dai-Jingpo 德宏傣族景颇族自治州. Beberapa dari mereka juga terdapat di perbatasan utara Myanmar. Dari sisi bahasa , masyarakat Achang dekat dengan masyarakat Jingpo 景颇族. Para ethnolog mempertimbangkan masyarakat Achang sebagai subgrup dari masyarakat Kachin.
Orang Achang menyukai hidup di lembah dan dataran kecil yang diapit pegunungan. Mereka memilih tempat untuk desa pemukiman mereka di kaki gunung.
Asal usul Achang berasal dari masyarakat kuno Diqiang, dekat dengan “Xuan Chuan Man” dimasa Nanzhao dan Kerajaan Dai. Dokumen sejarah Tiongkok mencatat masyarakat Achang pada masa Dinasti Tang [618-907], dan mereka waktu itu disebut sebagai masyarakat Xunchuan. Mereka berasal dari kawasan utara Myanmar [Burma] dan kemudian menetap di Yunnan. Pada abad 13 , masyarakat Achang akhirnya menghuni kawasan yang mereka huni sampai sekarang ,prefektur otonomi Dehong Dai-Jingpo. Penguasa Mongol memanggil mereka Achang [terkadang Echang] dan sebutan ini menjadi tetap. Kondisi geografis Yunnan yang serba terisolir, terutama di sebelah barat, membuat kawasan ini tidak pernah memiliki satu budaya. Keragaman etnis hidup saling berdekatan dan saling berinteraksi.
Masakan masyarakat Achang adalah nasi , daging babi, ayam , ikan dan berbagai jenis sayuran dan juga buah-buahan. Mereka juga masakan yang berasa asam dan pedas dan tambahan sejenis acar kering. Mereka juga membuat membuat arak berbahan padi untuk konsumsi dirumah dan menyambut tamu. Minuman teh menjadi minuman yang umum. Mie Beras Guo Shou salah satu makanan yang lezat di Husa. Terbuat dari beras lokal yang lembut dan ditambahi oleh babi guling dengan bumbu vinegar , garlic dan jahe, kacang tanah dan kacang polong. Cara memakannya pun unik . Pertama mencuci tangan dan gunakan sumpit untuk mendapatkan sejumlah mie beras , kemudian menaruh bumbu kedalam mie beras kemudian memakannya.
Masyarakat Achang suka bernyanyi kapanpun. Mereka memiliki lagu daerah yang beragam untuk berbagai event. Tipe lagu tradisinal mereka “Wo Luo”, dinamakan demikian karena selalu ada “woluo” disetiap bait lagu. “Deng Wo Luo” adalah sejenis tarian yang mengkombinasikan nyanyian dan tarian dan dilakukan disetiap festival. Ada pemimpin tarian yang disebut “Shangan” dengan sistem langkah dan gestur yang khas , seperti “dua phoenix menghadap timur”, “dua naga berjalan”, “matahari memegang payung”,”bulan memakai topi”, “naga emas memutar lentera”. Setiap langkah tarian meniru gestur hewan.
Bahasa Achang masuk dalam cabang Tibeto-Burman dari keluarga bahasa Sino-Tibetan dan bahasa ini tetap menjadi bahasa utama masyarakat walaupun beberapa dari mereka menguasai juga bahasa Dai , Chinese , Jingpo , Wa dan De’ang. Dialek Achang terbagi dalam dialek Fusa yang dipengaruhi bahasa Dai , Burmese dan Jingpo dan dialek Lianghe yang dipengaruhi bahasa Chinese , Jingpo dan Lisu.
Masyarakat Achang secara umum bergerak dalam bidang pertanian padi basah. Tetapi mereka juga memproduksi gula di Lianghe dan Luxi , dan tembakau di kawasan Fusa. Selain pertanian mereka juga terkenal dengan keahlian pandai besinya dan menghasilkan perkakas besi berkualitas tinggi.
Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat Achang. Dampak utama adalah migrasi Han ke kawasan mereka. Tanah pertanian yang semula ditangan tuan tanah yang berasal dari masyarakat Dai kehilangan kepemilikan tanah. Perubahan berikutnya terjadi pasca Deng berkuasa , di tahun 1982 mengubah kebijakan dan membagi tanah komunal kepada para petani . Kebijakan ini meningkatkan produktivitas masyarakat Achang.
Struktur sosial Achang adalah patrilineal. Setiap individu harus menikah dengan pihak luar grup patrilineal mereka. Pernikahan di atur oleh orang-tua.
Religi Achang terbagi dalam dua komunitas. Masyarakat Achang di Fusa dan Lasa menganut kepercayaan Buddhist Theravada dari tetangga mereka , masyarakat Dai. Sementara di kawasan lain , Lianhe , Luxi , mereka masih menganut kepercayaan tradisional mereka , semacam animisme , walaupun mereka juga mempraktekkan pemujaan leluhur mereka.Dalam komunitas yang bermayoritas Buddhist tidak ada bhiksu diantara mereka.
Setiap lunar di pertengahan Juli hingga pertengahan Oktober diselenggarakan festival yang disebut “Jin Wa” dan “Chu Wa”
Menelusuri Etnis Lain : http://web.budaya-tionghoa.net/budaya-tionghoa/dialek-tionghoa-chinese-dialects
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua
- Foto Ilustrasi : Daderot , Achang woman brocade dress. Clothing exhibited in the Yunnan Nationalities Museum, Kunming, Yunnan, China, 2011 , public domain