Budaya-Tionghoa.Net| Stanley Grenz menyatakan bahwa “Postmodernisme menegaskan bahwa apapun yang kita terima sebagai kebenaran dan bahkan kecenderungan kita untuk memimpikan kebenaran , bergantung pada komunitas tempat kita berkomunikasi.” Tiada kebenaran mutlak , kebenaran justru relatif terhadap komunitas dimana kita berpartisipasi. Richard Rorty sepakat dengan hal ini dan ia berpendapat bahwa kebenaran adalah kesepakatan antar subjek [intersubjective agreement] , seseorang harus memilih keyakinan yang meneguhkan “solidaritas”.
|
Ironi liberal dari Rorty tersosialisasi menjadi satu kepercayaan akan masyarakat yang adil dan menyarankan kedudukan lebih tinggi dari hak asasi manusia atas rejim penindasan, bukan karena filsafat moral [etika] atau keyakinan religi apapun.
Rorty memuji Derrida karena pemisahannya dari gagasan sakralitas , bahwa untuk melepaskan diri dari metafisika kehadiran [metaphysics of presence], mengatakan bahwa diatas kemanusiaan , dan kebal terhadap perubahan sejarah dan budaya , terdapat sesuatu [yang terkadang disebut tuhan] yang disebut hukum moral , struktur pokok seluruh pemikiran manusia yang harus dihormati , untuk berpindah ke suatu dunia yang lebih humanis dalam pengertian yang jauh lebih dalam daripada dunia Renaisans para Platonis atau dunia pencerahan kaum sekuler.
Bergerak melampaui penolakan terhadap tuhan sebagai sumber nyata kebenaran dan makna , Foucault , justru mencemooh mereka yang masih berharap berpikir tentang manusia, hakikat manusia , yang masih berharap dirinya menjadi titik awal dalam upaya meraih kebenaran , bagi segala bentuk renungan yang KACAU dan SINTING ini , kita bisa menjawab dengan tawa filosofis. Kebenaran bagi Foucault terkait dengan kekuasaan yang hanya terbentuk melalui bentuk2 pembatasan. Nalar tidak lagi mesti lebih disukai ketimbang Tanpa Nalar.
Nietzche khawatir kita tidak akan pernah bisa menyingkirkan tuhan selama kita masih percaya tata bahasa. Dan Derrida menyepakatinya : “Tak ada apapun selain teks”. Ini adalah serangan terhadap logos yang bertujuan meng-nir-ilahi-kan manusia dan menyudahi pemikiran teologis serta membiarkan dunia berubah menjadi chaos.
Gagasan Umberto Eco : “Jawaban post-modern atas modernitas antara lain dengan mengakui masa lalu–yang karena tidak bisa dimusnahkan dan kalaupun dimusnahkan akan membawa dunia pada kesunyian–justru musti disinggahi kembali. Namun dengan IRONI , tidak polos begitu saja. Seperti juga ditegaskan oleh Paul Ricouer :”Tak berarti masa lalu itu tidak nyata . Sepanjang masa lalu tidak lagi eksis, wacana sejarah dapat berupaya memahaminya, hanya saja , tidak secara langsung.”
Filsafat yang sejak di abad 20 semakin didasarkan pada teori bahasa, orang seperti Umberto Eco sungguh kreatif dan membebaskan seperti dalam karya Il Nome de La Rosa , The Name of The Rose, tuhanlah yang tertawa paling akhir. Nyaris mustahil bagi Baskerville dan Adso keluar dari jebakan maut. Baskerville dalam kisah itu menjadi “moyang” Sherlock Holmes dan yang lainnya mencatat peristiwa.
Tertawa pun bukan mencemooh. Umberto Eco menyukai humor sebagai pikiran yang sehat. Dalam buku teks yang paling teknis tentang semiotika sampai dengan novelnya , pembaca bisa tersenyum tanpa mengorbankan martabat topik demi humor . Superman , Piala Dunia , Expo dsbnya.
Eco menulis bahwa manusia harus menerima hipotesa bahwa tuhan itu tiada [deus non est] , bahwa kemunculan manusia dimuka bumi ini hanya kekeliruan yang sial seperti Dostoevsky dalam karyanya “Brother Karamazov” . Ivan Karamazob berkata “Tahukah engkau nak , pernah ada seorang pendosa tua di abad 18 menyerukan “S’il n’existait pas dieu , il faudrait l’inveter”. [Voltaire ?]
Sementara Derrida bersikeras bahwa melalui dekonstruksi ia dapat membaca teks dengan kritis , Eco seperti “Sherlock Holmes” lebih memilih mendeduksi teks khususnya ketika berkaitan dengan seni , etika, hakikat bahasa dan tanda-tanda.Eco menyampaikan peringatan :Jika kekuasaan sebagaimana yang didefinisikan Foucault , dan jika karakter kekuasaan ditemui dalam bahasa tertentu , dan dikatakan seperti kata Barthes bahwa bahasa itu adalah FASIS, ini lebih dari sekedar lelucon , ini undangan setiap orang untuk menghadiri kebingungan.
Disarikan dari “The Key – The Name of The Rose-nya” – Umberto Eco
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa
Photo Credit : de.wikipedia.org Tobias Rütten, Metoc