Budaya-Tionghoa.Net| Dalam rangka memulihkan kekuasaan, penjajah Belanda menjalankan perang urat-syarat yang bertujuan meniadakan sympathie dunia terhadap RI, yang dinyatakan RI sebagai bikinan militer Jepang. Untuk mengatasi ini, sistem kabinet yang semula Presidentieel dirubah menjadi sistim kabinet parlementer, membatalkan rencana PNI sebagai partai tunggal dengan tetap membiarkan partai2 politik yang ada hidup secara bebas. Usaha penjajah Belanda dengan men-cap RI bikinan Jepang bisa digagalkan, tapi penjajah Belanda tidak putus-asa. Kemudian digunakanlah kedudukan minority ethnik suku Tionghoa sebagai ‘dongkrak’ yang menimbulkan persoalan merugikan RI.
|
Apa sebab penjajah Belanda memilih golongan ethnik Tionghoa sebagai dongkrak’dalam perang urat-syarat?
1. Karena penjajah Belanda hendak menarik keuntungan politik internasional, bila berhasil menarik Tiongkok berada difihaknya.
2. Karena diantara golongan minority ethnik, peranakan Tionghoa termasuk yang terbesar jumlahnya dan tersebar diseluruh ploksok Indonesia.
3. Tentu merupakan alasan praktis terpenting bagi penjajah Belanda yang berusaha mencegah bantuan/sokongan golongan Tionghoa dalam perjuangan mempertegak-kokohkan RI. Yang jelas sejak Proklamasi Kemerdekaan RI, penjajah Belanda yang dibantu Angkatan Laut Inggris mengadakan blokade perairan Indonesia. Ternyata, perahu2 dan tongkang2 Tionghoa dari Sumatra dan Singapore menjadi penjebol blokade itu. Merekalah yang membawa barang2 hasil kebun dan hasil bumi yang tertumpuk di-gudang2 ke Singapore dan ditukarkan dengan barang2 kebutuhan RI dalam perjuangan, termasuk senjata dan obat2an yang memang sangat diperlukan. Pedagang2 peranakan Tionghoa dipulau Jawa juga melakukan perdagangan2 melewati garis demarkasi yang dapat menguntungkan perjuangan Rakyat Indonesia ketika itu.
Disamping itu, kalau kita perhatikan semasa pendudukan Jepang, pengusaha2 kecil peranakan Tionghoa juga telah mengadakan usaha2 guna memenuhi kebutuhan Rakyat setempat. Dari kertas-merang; sikat-gigi; pasta; mesin-tulis; semir-sepatu, sampai pada ‘kurma’ yang dibikin dari buah blimbing yang disaleh. Usaha2 kecil itu umumnya labour-intensive, yaitu banyak juga menggunakan tenaga kerja secara menguntungkan ekonomi di-desa2 dan kota2 kecil. Juga, peredaran barang2 didaerah RI umumnya dilakukan oleh pengusaha2 peranakan Tionghoa yang memang berpengalaman dalam distribusi barang2 kebutuhan Rakyat, disamping juga berpengalaman dalam menghimpun (koleksi) barang2 hasil pertanian Rakyat di-desa2. Kegiatan2 tersebut tentu sangat membantu perkembangan ekonomi dalam usaha memperkokoh Republik Indonesia yang baru Merdeka. Dan keadaan yang baik ini, perkembangan yang baik ini tentu dirasakan sangat merugikan penjajah Belanda dalam usaha memulihkan kekuasaan menjajah di Indonesia.
Jadi, tidak aneh kalau penjajah Belanda menjalankan perang urat-syarat yang keji. Dan kenyataan, fihak RI dan pejuang2 RI yang kurang pengalaman bisa termakan oleh perang urat-syarat penjajah Belanda itu. ( Peristiwa Tanggerang, peristiwa pertama yang sangat mengejutkan. Tanggerang merupakan daerah khas di pulau Jawa dimana telah terjadi proses pembauran dalam arti luas sekali. Mereka yang dikatakan peranakan Tionghoa, praktis sudah tidak terlihat lagi ciri2 ethnik Tionghoa-nya. Sebagian terbesar dari golongan ethnik Tionghoa itu hidup dari pekerjaan menggarap tanah, juga tingkat hidup yang tidak berbeda dengan Rakyat terbanyak ditempat itu. Perbedaan yang ada kalau diteliti adalah, Rakyat terbanyak setempat umumnya beragama Islam, sedang golongan ethnik Tionghoa umumnya menganut agama Sam Kauw. Agama Sam Kauw merupakan percampuran antara Confucianism, Budhism dan Tao-ism, yang bisa dilihat dengan adanya secarik kertas kuning dengan huruf2 Tionghoa didepan pintu rumah mereka. Kertas-kuning yang didapat dari rumah berhala Bun Tek Bio di Tanggerang itu, dimaksud untuk menolak setan pembawa penyakit dan sial. Explosi rasialis pertama meletus setelah Proklamasi Kemerdekaan RI di Tanggerang itu, justru mengandung unsur perbedaan agama ini, memaksa ‘sunat massal’ guna meng-Islam-kan golongan ethnik Tionghoa. Dengan alasan untuk ‘melindungi’golongan ethnik Tionghoa di Tanggerang, yang oleh penjajah Belanda dinyatakan masih merupakan warga-negara dari negeri sekutu-Tiongkok, tentara Belanda menyerbu dan menduduki Tanggerang dengan kekuatan militer yang lebih unggul. Peristiwa Tanggerang ini oleh penjajah Belanda digunakan untuk memperhebat perang urat-syarat dalam rangka memecah Persatuan Nasional antara Rakyat terbanyak dengan golongan minority ethnik Tionghoa. Misalnya yang terjadi di Front Jawa Timur, didaerah antara Surabaya dan Sidoardjo, beberapa orang pemuda ditahan oleh tentara penajajah Belanda. Interogasi yang dilakukan dibawah penyiksaan physik yang berat, ada pemuda peranakan Tionghoa berasal Tanggerang yang mengaku.
Penyiksaan physik baru dihentikan setelah perwira Belanda masuk dalam ruang pemeriksaan dan melepas dua orang pemuda itu. Pemuda yang dilepas ini segera lari masuk daerah RI dan menceritakan pengalamannya. Cerita2 itu di-besar2kan dan menjurus jadi ‘hasutan’ atau ‘hetze’ anti-Tionghoa yang cukup hebat! Sebagai akibatnya, pengungsi2 Tionghoa dari Surabaya yang masuk kedaerah kekuasaan RI, harus menerima pemeriksaan ketat. Kalau kedapatan mereka membawa uang-tunai atau barang2 perhiasan yang bergemerlapan dan membuat silau mata si-pemeriksa, dibuatlah tuduhan mereka adalah ‘mata2’ penjajah Belanda dan barang2 bawaan yang bergemerlapan itu…….. harus di-sita! Dan dengan tidak adanya bukti2 yang pasti mereka sebagai mata2 penjajah Belanda, tapi yang jelas, barang2 yang disita itu tidak tau kemana perginya. Kecurigaan2 berlebihan terhadap golongan ethnik Tionghoa sekalipun harus diakui kenyataan ada orang Tionghoa yang menjadi mata2 Belanda, tentu tidak ada perlunya dan tidak seharusnya terjadi.
Menghebatnya rasa kecurigaan itu berakibat adanya tindakan2 di-daerah2 pertempuran untuk mengungsikan secara massal penduduk Tionghoa dari rumah2 didaerah yang tidak bisa dipertahankan lagi oleh RI. Mereka tentu menjadi serba-sulit. Tidak turut mengungsi bisa dicurigai sebagai mata2 penjajah Belanda, tapi kalau ikut mengungsi juga tidak ada tempat penampungan yang baik. Penungsian dilakukan dengan harus meninggalkan sebagian besar harta-benda mereka yang tidak bisa dibawa sendiri, jadi mereka dipaksa ikut mengungsi dengan meninggalkan sebagian besar harta-bendanya. Setelah mereka mengungsi, bukan politik ‘bumi-hangus’ yang dijalankan, tapi ‘bumi-angkut’ yang jalan. Harta-benda2 yang terpaksa ditinggal oleh mereka yang mengungsi, diangkut pergi oleh mereka2 yang tinggal karena tidak diwajibkan mengungsi. ( Cara lain yang digunakan penjajah Belanda dalam rangka perang urat-syarafnya itu, adalah mengatur penyerbuan2 terhadap toko2 kecil milik Tionghoa dengan membawa serta pemuda2 Indonesia yang ditawan. Mereka sengaja merampok toko2 kecil milik Tionghoa itu dan lalu meninggalkan tergeletak mayat beberapa pemuda Indonesia untuk menimbulkan kesan, bahwa tentara Belanda melindungi toko2 milik Tionghoa yang mau dirampok oleh pemuda2 Indonesia. Timbul pengungsian2 ‘sukarela’ dari pengusaha2 kecil Tionghoa kedaerah pendudukan Belanda, dan tentu sangat mempengaruhi usaha peredaran barang dan perdagangan didaerah Republik, sangat merugikan kedudukan ekonomi RI. ( Di-daerah2 pendudukan Belanda, Belanda berhasil membujuk masyarakat Tionghoa untuk membentuk Pao An Tui, sebagai organisasi yang membantu menjaga keamanan dan mencegah perampokan2 toko2 milik Tionghoa di-daerah2 perbatasan. Exces2 yang terjadi dengan dibentuknya Pao An Tui ini, tentunya memperhebat kecurigaan terhadap orang2
Tionghoa yang hidup didaerah kekuasaan RI. Begitu hebatnya rasa curiga terhadap orang2 Tionghoa bisa diceritakan peristiwa yang terjadi di Nganjuk ketika agresi militer Belanda ke-2. Menjelang penyerbuan masuk tentara Belanda di Nganjuk, semua pria ethnik Tionghoa diatas 12 tahun dikumpulkan dalam satu gudang untuk di….bakar! Mereka yang berusaha lari keluar dari gudang yang sudah menyala itu, diberondong dengan senapan mesin. Kejam!
Satu tindakan kejahatan diluar batas prikemanusiaan. Tapi, tetap belum pernah menimbulkan penuntutan untuk diajukan kedepan pengadilan bagi orang2 yang harus bertanggung jawab akan ‘crime against humanity’semacam itu, yang menyebabkan kota Nganjuk dikenal sebagai kota janda Tionghoa.
Menteri Pertahanan dan Ketua Dewan Pertahanan Nasional mr. Amir Syarifudin, bersama Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah mengeluarkan instruksi yang keras untuk mencegah terjadinya peristiwa2 yang merugikan harta dan jiwa orang2 Tionghoa didaerah RI. Tetapi, instruksi keras dengan ancaman ditembak mati ditempat bagi yang melanggar, ternyata tidak cukup effektif untuk mencegah terjadinya exces-exces yang menyedihkan dan merugikan prestige Republik Indonesia sebagai negara Hukum yang demokrasi berdasarkan Panca Sila, dimana terdapat sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Peristiwa2 tersebut tentunya membuktikan bahwa imbangan kekuatan politik dalam negeri yang cukup baik, menguntungkan bagi pelaksanaan janji-Negara untuk memupuk rasa se-Nasib yang dapat menjadikan setiap peranakan sebagai patriot dan warga-negara Indodnesia sejati, ternyata bisa dibikin tidak effektif oleh faktor ekstern. Adanya usaha penjajah Belanda untuk memulihkan kekuasaan menjajah dengan melaksanakan perang urat-syarat yang memecah Persatuan Nasional dengan menggunakan golongan minority ethnik Tionghoa sebagai ‘dongkrak’-nya. Peristiwa2 yang terjadi sebagaimana dikemukakan diatas, tentu saja meninggalkan bekas dan pengaruh. Pengaruh2
negatif yang tidak dapat lenyap dalam waktu singkat.
Catatan Admin : Tulisan ini terdiri dari 10 bagian
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 2976