Via Mailing List Budaya Tionghoa 3120
Dari pertengahan Maret hingga pertengahan April lalu saya merasa menjadi orang yang sangat beruntung bersama 21 orang lainnya dari 22 negara, karena mendapat kesempatan mengikuti “National Development Courses” di Fu Hsing Kang College, Taipei, Republic Of China (ROC), Taiwan. Kuliah-kuliah pada program ini diberikan oleh para professor dari universitas-universitas terkemuka di Taiwan dan beberapa oleh pejabat senior pemerintah. Selain mengikuti kuliah kelas sebanyak 16 topik dan tiap topik diberikan selama empat jam, peserta juga dibawa berkunjung ke hampir semua pelosok negeri Taiwan.
|
Rasanya saya sangat berhutang jika tidak membagikan apa yang saya dapat dari kursus tersebut saat ini, mengingat suasana perebutan kekuasaan Presiden-Wakil Presiden yang sedang berlangsung saat ini makin terperosok pada kepentingan politik sempit daripada keseriusan menawarkan kebijakan pembangunan nasional yang menjanjikan. Agar saya tidak terlalu berhutang, saya kemukakan dulu beberapa materi di bawah ini atas pertimbangan, maslahnya sangat strategis bagi perubahan nasib rakyat. Semoga berguna.
(Andrinof A. Chaniago)
KESUKSESAN PEMBANGUNAN YANG TIDAK DATANG DENGAN SENDIRINYA
Dalam banyak hal, antara negara Taiwan dan Indonesia memang tidak bisa dibandingkan. Di dalam dunia politik internasional, Taiwan yang secara de facto berfungsi sebagai negara karena antara lain bisa memilih pemerintahan sendiri dan memiliki mata uang yang diterima di dalam transaksi global, masih terkucil dalam percaturan politik global karena kuatnya pengaruh RRC. Sementara Indonesia tentu saja tidak memiliki masalah pengakuan kedaulatan oleh negara-negara lain. Lalu, dari segi luas wilayah dan jumlah penduduk, Taiwan boleh dikatakan terlalu kecil dibandingkan dengan Indonesia. Penduduknya hanya lebih sedikit dari sepersepuluh penduduk Indonesia. Sementara luas wilayahnya tidak sampai separuh luas Pulau Jawa.
Namun ukurannya yang jauh lebih kecil tadi tidak boleh kita kecilkan sebagai tempat belajar. Kalau akhir-akhir ini kita mulai melirik ke Malaysia untuk bidang pendidikan, Taiwan pantas dilirik bukan saja karena kemajuan pendidikannya tetapi untuk banyak yang relevan sebagai pelajaran bagi Indonesia saat ini. Kalau kita makin sering melirik ke Malaysia, toh jumlah penduduk Taiwan yang 24 juta jiwa tadi sama dengan penduduk Malaysia. Apalagi jika dibandingkan dengan persoalan internal dan eksternal yang harus dihadapi, Taiwan memiliki tantangan lebih berat selama
negara ini berjuang menuju negara seperti sekarang.
Dengan jumlah penduduk sekitar 24 juta jiwa yang tinggal di atas pulau dengan luas 36.000 km2, tekanan permintaan terhadap berbagai masalah pelayanan publik di Taiwan sangatlah sebanding dengan yang terjadi di Pulau Jawa. Pulau Jawa yang memiliki luas sekitar 132.000 km2 dengan penduduk 118 juta jiwa (tahun 2000), berarti memiliki kepadatan penduduk yang hampir sama dengan Taiwan yang menamakan dirinya Republik of China (R.O.C).
Tahun 2003 lalu, pendapatan perkapita Taiwan sudah mencapai US$ 13,000. Tahun ini angka itu diperkirakan naik menjadi US$ 13.400. Hasil ini jelas merupakan kemajuan pesat. Tahun 1960, pendapatan perkapita mereka hanya US$ 80. Anak-anak sekolah pergi ke sekolah tanpa sepatu. Suatu kondisi yang tidak berbeda dengan di Indonesia.
Untuk menyebut beberapa saja, Taiwan saat ini bisa membanggakan diri sebagai: Penguasa nomor satu pasar sepeda motor di dunia; Lebih dari 60% dari penduduknya pengguna internet; Pada bulan Juni tahun 2003 lalu, perusahaan komputer Taiwan, Quanta, tercatat sebagai penghasil komputer notebook tebesar di dunia; Taiwan kini memiliki tidak kurang dari 70 universitas negeri dan 90 universitas swasta yang 20% dananya didukung dana pemerintah. Tidak banyak juga yang tahu, jika di salah satu universitas di Taiwan terdapat program MBA yang sederajat dengan program MBA top di AS.
Di bidang ekonomi, jelas terlalu banyak yang harus diakui sebagai keunggulan negara ini. Tetapi jika kita pilih saja yang paling relevan dan paling urgent sebagai pelajaran bagi Indonesia dari kinerja ekonomi Taiwan selama ini, salah satu model yang patut dijadikan acuan adalah soal kecilnya gap antara sektor pertanian dan sektor industri dan jasa. Walaupun sebagian besar rumah petani di Taiwan memiliki lahan kurang dari 1 hektar (46,9% dari total petani tergolong pemilik lahan kurang dari 0,5 hektar, dan 28 % tergolong pemilik lahan kurang dari 1 hektar), petani Taiwan tidak merasa berada pada posisi social yang rendah dalam struktur sosial-ekonomi Taiwan. Mereka tidak perlu merasa terpaksa menjadi petani.
Sebabnya, antara lain, adalah, karena mereka sangat berkesempatan mengoptimalkan penggunaan jam kerja untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi dengan tidak bergantung seratus persen pada kegiatan usaha tani tersebut. Seperti petani di negeri manapun, mereka masih punya waktu luang yang cukup banyak di luar kegiatan bertani. Bedanya, sistem ekonomi Taiwan memberi lapangan kerja nonpertanian yang cukup luas karena dari segi lokasi usaha pertanian, industri, jasa dan sebagainya tumbuh berdampingan di berbagai wilayah. Di dalam kota Taipei sekalipun, kecuali di kawasan inti pusat bisnis, kita akan melihat orang Taiwan menggunakan lahan sekecil apapun untuk menanam
tanaman produktif.
Mengapa keserasian social-ekonomi ini bisa terwujud? Pertama, sejak tahun 1950-an para pemimpin pendahulu mereka sudah merancang dan terus menyempurnakan adminsitrasi pertanahan yang efesien untuk menampung semua fungsi. Kedua, kebijakan pendidikan terhadap
anak-anak petani mendapat perhatian lewat visi yang komprehensif. Anak-anak keluarga petani mendapat perhatian khusus untuk mendapatkan pendidikan agar tidak terjadi ketimpangan social di kemudian hari.. Hasil dari kebijakan ini tidak terbantahkan manfaatnya untuk berbagai aspek pembangunan. Jumlah masyarakat kelas menengah membesar dan kelas bawah terus menciut. Banyak pengusaha nasional dan tokoh politik nasional Taiwan berlatar belakang keluarga miskin. Chen Sui-bian, Presiden Taiwan yang baru-baru ini terpilih kembali untuk masa jabatan kedua berasal dari keluarga petani yang sangat miskin. Dr. Wang pemilik perusahaan komputer terbesar di Taiwan sebelum perusahaannya
kolaps akibat krisis manajemen, juga berasal dari keluarga miskin. Bahkan, sejumlah CEO perusahaan-perusahaan IT terkemuka di AS berasal dari putera Taiwan dengan latar belakang keluarga miskin tadi.
Pentingnya Peran Pemerintah dalam Pembangunan Perumahan
Harap diingat dulu, di jaman Orde Baru pembangunan perumahan di Indonesia lebih merupakan urusan bisnis daripada urusan publik yang mestinya diurus dengan serius oleh pemerintah. (Tolong dibaca, kalau berkenan, salah satu Bab tentang bisnis perumahan dari buku saya yang berjudul Gagalnya Pembangunan terbitan LP3ES, 2001). Lalu, sejak era reformasi di Indonesia Kementerian Perumahan justeru dihapus dan hanya menjadi urusan sebuah Direktorat Jenderal di bawah Departemen Pekerjaan Umum. Jelas terlihat, di mata para pemimpin Indonesia setelah repormasi urusan perumahan lebih merupakan urusan pembangunan fisik. Jadi ada perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi, dari urusan bisnis ke urusan fisik.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah Taiwan di bidang pembangunan perumahan sehingga disadari atau tidak, memberi kontribusi penting dalam menghasilkan pembangunan sosial yang sangat berkualitas dan memberi efek yang luas bagi kesejahteraan penduduknya, adalah suatu kebijakan dengan pembagian peran antara negara dan swasta secara tepat.
Dengan mengambil peran sebagai pemegang kendali pembangunan perumahan, Departemen Perumahan Umum tidak saja mampu menjawab kebutuhan warga akan rumah, tetapi juga membuat rakyat Taiwan bisa hidup dengan tenang dan memiliki waktu yang lapang untuk mengisi berbagai kegiatan. Sebabnya adalah, dengan peran perencanaan dan pengendalian bangunan fisik perumahan yang efektif di tangan pemerintah, bukan di tangan para pengusaha property, rakyat Taiwan terhindar dari masalah kemacetan lalu lintas dan tidak tersingkir jauh dari
lokasi-lokasi kerja dan fasilitas-fasilitas umum. Jika di Jakarta orang-orang yang tinggal di pinggiran harus mengeluarkan sekitar Rp 100 ribu untuk membayar ongkos taksi bisa ingin naik kendaraan umum yang nyaman, di Taiwan dengan kenyamanan yang setara dengan kenyamanan
naik taksi di Jakarta, orang cukup mengeluarkan uang sekitar Rp 50 ribu saja dengan menaiki kereta MRT atau bis kota. Pengguna kendaraan umum ini tidak perlu mepepas jas atau dasi atau bleser yang sudah diseterika dengan licin.
Harap dibandingkan juga, harga satuan unit barang dan jasa di Taiwan rata-rata sama dengan tiga kali lipat dari harga di Jakarta. Misalnya, bila argo taksi per km atau per menit perjalanan di Jakarta adalah Rp 3000, di Taiwan harganya mungkin sekitar Rp 9000. Tetapi di Taiwan, jika tidak ada keperluan yang sangat khusus, orang berdasi atau berjas pun tidak perlu naik taksi. Lagi pula, ketika ada keperluan naik taksi di
kota-kota Taiwan pun, jarak tempuh atau lama waktu yang diperlukan untuk ke tujuan seperti tujuan orang naik taksi di Jakarta tidaklah sama dengan jarak atau waktu yang diperlukan kalau kita naik taksi di Jakarta. Dengan kata lain, meskipun harga satuan jasa transportasi tiga kali lipat dari harga di Jakarta, kebutuhan rata-rata biaya transportasi di Taiwan justeru lebih murah. Nilai biaya transportasi di Taiwan itu tentu akan lebih murah lagi jika kita juga membandingkan pengeluaran untuk biaya transportasi tersebut dengan daya beli antara penduduk Taiwan dan Jakarta.
Dari sisi inilah kita bisa melihat bahwa secara tidak langsung Departemen Perumahan Umum telah melakukan pencegahan dini terhadap munculnya masalah-masalah pelayanan publik, ketegangan-ketegangan sosial, beban hidup warga kota, dan penyekit-penyakit sosial seperti
kriminalitas, kaum miskin kota, dan sebagainya.
Kalau kita bandingkan, mengapa biaya kebutuhan transportasi rakyat Taiwan yang jauh lebih kaya itu menjadi jauh lebih murah dibanding dengan biaya transportasi penduduk Indonesia yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya? Jawabannya, pertama, selain pemerintah Taiwan menyediakan transportasi umum yang nyaman dan manusiawi, adalah juga dikarenakan peran pemerintah dalam merencanakan dan mengendalikan pembangunan perumahan. Peranan tersebut mencakup pula akuisisi dan perencanaan lahan, perancangan dan pembangunan perumahan, penjualan dan dan sewa perumahan, fasiltias pembiayaan pembelian rumah bagi penduduk, penyediaan informasi perumahan, dan perawatan bangunan.
Kedua, dukungan riset dan infrastruktur dari pemerintah sejak awal tahun 1980-an juga berhasil membuat harga semen murah, berkualitas tergolong terbaik di dunia dan beredar di pasar yang sempurna. Harga dan kualitas bahan bangunan utama ini jelas memberi kesempatan luas dan merata bagi penduduk Taiwan untuk tinggal di apartemen yang layak.
Pelajaran pembanding apa yang dapat kita ambil dari kebijakan perumahan di Taiwan ini? Bentuk pembagian peran antara pemerintah dan swasta dalam pembangunan perumahan di Taiwan ini jelas kontras dengan pembagian peran yang terjadi di Indonesia. Peran pihak swasta dalam pembangunan perumahan memang dibatasi hanya pada kegiatan konstruksi. Para pebisnis property di Taiwan tidak dibiarkan menjadi kaya mendadak – dan juga ambruk mendadak – karena menjadi spekulan tanah dan lokasi seperti yang terjadi di Indonesia. Dengan kebijakan seperti ini, ekonomi Taiwan sekaligus terhindar dari bubble economy seperti yang dialami Indonesia hingga terjadinya krisis hebat tahun 1998.
Banyak lagi keunggulan tersembunyi negeri ini yang tidak banyak diketahui masyarakat dunia. Tetapi, yang penting bagi kita adalah, bagaimana cara Taiwan mencapai semuanya itu? Jawabannya adalah, strategi makro yang dipakai oleh para pemimpinnya di masa lalu, dan konsistensi mereka menjalankan scenario-skenario itu, adalah kunci sukses yang pantas dinikmati oleh rakyat Taiwan saat ini.
May 2004
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 3120