Budaya-Tionghoa.Net| “Tatkala cerita ini terjadi, kota Batavia atawa Betawi suda berdiri duaratus tigapulu taon lebi. Di itu tempo keadaan di ini negri blon begitu santausa dan rame seperti sekarang. Di tempat-tempat yang sekarang ini ada rame seperti pasar, dimana orang boleh berniaga dengen merasa tiada kwatir satu apa lantaran keamanannya, di itu tempo, di waktu siang hari sedeng matahari masi bisa bikin orang punya otak menjadi kring dengen hawanya yang berapi, saben-saben telah kejadian perkara bunu dengen merampas barang, kerna di sana masi sepi dan jarang ada yang liwat, hingga perkara kejahatan begitu ada dianggep sebagi perkara yang lumra saja. Ruma-ruma di kampung Cina di itu masa blon ada banyak yang bagus; lentera-lentera buat bikin terang jalanan pun ada gurem sekali dan jalanan-jalanan kabanyakan tiada diurus dengen betul, sedeng perniagaan ada sepi, hingga orang-orang tua yang sekarang ini masi idup dan ada tinggal di itu tempat tiada sekali dapet duga, di sana bisa menjadi begitu rame seperti sekarang.”
|
Kutipan di atas diambil dari novel Cerita Sie Po Giok, atawa Peruntungannya Satu Anak Piatu (1912), oleh Tio Ie Soei, seorang wartawan dan editor kawakan di zamannya. Seperti diungkap oleh Myra Sidharta dalam pengantar buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 1 (KPG – Kepustakaan Populer Gramedia, 2000) cerita-cerita macam ini baru dapat dinikmati dan dipahami bila dibaca dalam konteks zamannya.
Jenis kesastraan yang mencakup pelbagai bentuk ini sudah ada sejak tahun 1870 dan selama 90 tahun setidaknya telah melibatkan 806 penulis yang menghasilkan 3.005 karya. Meski beberapa pengamat dan kritikus ada yang menyebutnya Kesastraan Indo-Tionghoa, transisi antara kesastraan Indonesia lama dan baru, atau pendahulu kesastraan
Indonesia modern, sampai detik ini, kesastraan Indonesia modern masih tetap dianggap baru muncul pada masa Balai Pustaka, tahun 1918.
Tentu buku-buku Melayu Tionghoa ini telah menjadi koleksi langka di masa sekarang. Sebagian masih dapat ditemukan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV) di Rijksuniversiteit Leiden, koleksi keluarga Ch. Damais di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, Jakarta, di University of Wisconsin, Madison, AS, Cornell University, AS, Perpustakaan Yogyakarta, misalnya. Namun jangan kecewa bila karena tua dan langkanya, Anda hanya akan dipersilakan membaca fotokopiannya, seperti yang dialami para peminat kesastraan ini di Bentara Budaya Jakarta.(*/LW)
Intisari, Bulan Juli 2000; Boks Terawang. http://www.indomedia.com/intisari/2000/juli/terawang7.htm [di akses Juli 2004]
Budaya-Tionghoa.Net | Arsip Mailing-List Budaya Tionghoa No 4119 Juli 2004