Budaya-Tionghoa.Net | Saya tidak bisa mengikuti perdebatan tentang filsafat Tiongkok – filsafat Barat di mailing-list ini baru2 ini karena saya tidak mempunyai access ke internet setiap waktu di Eropa belakangan ini. Tetapi saya telah bisa mengetahui/belajar tentang perkembangan budaya Tiongkok yang mulai kelihatan dan terasa di Eropa sekarang ini, dari perjalanan saya di beberapa negara di Eropa baru2 ini. Selain itu bisa mengetahui tentang nasib orang Indonesia (TKI) yang menarik di perjalanan saya ini.
|
Saya pernah tinggal di Eropa dan meninggalkan Jerman pada tahun 1980. Saya sudah balik ke Eropa beberapa kali sejak tahun 1980. Tetapi kali ini saya perhatikan pengaruh Tiongkok di Eropa yang mulai mencolok. Saya/kami mengunjungi kota-kota di Italia, Kroasia, Yunani dan Spanyol dalam pelayaran dengan kapal MS Nieuw Amsterdam dari Holland America Cruise Line di laut Mediterranean selain itu juga stopover di Frankfurt, Jerman.
Kali ini saya mengujungi Venezia, Italia selama empat hari dimana saya sebelumnya selalu–maximum–cuma tinggal dua hari di Venice, yang tidak cukup untuk mengenal Venice dan tergesa2. Jadi saya bisa mengunjungi/menikmati opera dan museum di Venezia. Seperti biasa Venezia selalu penuh sekali dengan turis. Dulu kita bisa melihat mayoritas turis dari Asia adalah turis dari Jepang tetapi sekarang rasanya lebih banyak/di dominasi turis dari Tiongkok. Di museum di Venezia, kita bisa melihat barang-barang budaya Italia terutama dari abad 16 dimana Venice adalah kota yang boleh dibilang salah satu kota termaju di Eropa pada waktu itu (musik klasik, juga painting dll.). Kita ketahui orang Italia adalah bangsa yang sangat bangga dengan budaya-nya.
Tetapi yang menarik di museum ini, ada beberapa barang antik dari Tiongkok kuno seperti vas dan guci yang di perlihatkan,misalnya, untuk melengkapi/mengindahkan barang2 antik dari Italia. (Catatan dari pengalaman saya di Eropa waktu dulu: barang2 antik dari Tiongkok juga tidak asing untuk bangsawan2 Eropa di jaman dulu, bukan saja di Italia dimana bisa dilihat di tempat2 bangsawan kuno di Eropa). Hawa di Venice pada bulan Augustus sangat panas dan lembab, kira2 30-32 Celsius. Saya tidak tahan dengan hawa panas seperti ini dan harus banyak minum air supaya tidak kena “heat stroke”. Hawa di Indonesia lebih tidak nyaman buat saya melebihi di Italy tetapi kita selalu naik mobil dan masuk ruangan dengan air condition kalau di Indonesia (tidak banyak budaya yang harus dipelajari). Sedangkan di Italia kalau melakukan liburan dengan study tour, kebanyakan berada di luar ruangan/gedung dan lebih banyak jalan sampai 12 jam sehari. Jadi ada keuntungan lain selain belajar budaya lain, juga membuat olah raga jalan kaki. Di Venice seperti kota dimana saja di dunia, tentunya ada Chinese restaurant tetapi kami tidak mau makan makanan Tionghua apalagi di Amerika Utara (yang tidak bermutu) tetapi mau menikmati/belajar makanan Italia tentunya selalu ada wine-nya.
***
Waktu saya menjadi mahasiswa di Jerman, saya menyukai kota-kota di Jerman karena kota-kotanya lebih baru daripada di Italia dan Perancis, sebab kota-kota yang telah dibangun setelah hancur di Perang Dunia ke-II. Tetapi setelah saya bertambah umur dan bertambah pengalaman baru, baru saya lebih tertarik kepada kota-kota, yang mempunyai sejarah kuno. Saya sudah tidak tertarik sama sekali untuk berlibur dengan study tour di Amerika Utara sebab Amerika Utara tidak mempunyai budaya yang menarik dan berharga untuk saya. Semua kota kelihatan sama yaitu dengan gedung2 tinggi seperti tumpukan kotakan/box dan tanpa sejarah.
Kami benar-benar menikmati Venice sebagai kota kuno yang bersejarah walaupun capainya luar biasa sebab setiap hari berjalan 10 sampai 12 jam. Herannya, anak perempuan kami, yang baru berpesiar di Eropa sebulan yang lalu, tidak menyukai Venice sama sekali, katanya: kotanya kotor. Barangkali pandangan orang muda lain dengan orang yang lebih tua. Saya, misalnya, sangat menyajangkan penghilangan tempat2 yang menarik di Jakarta, seperti Glodok lama diganti dengan gedung-gedung baru yang tidak bermutu. Jakarta kotanya sudah seperti kota di New York tanpa identitas kecuali dengan gedung-gedung pencakar langit.
Setelah empat hari di Venice, kami menumpang kapal Nieuw Amsterdam dari Holland America Cruise Line (HACL), kami senang berlayar memakai kapal/cruise ship dari HACL sebab para penumpangnya biasanya bukan anak muda atau orang dewasa muda (mereka sering membuat berisik dan barangkali juga mabuk2-an) tetapi majoritas adalah orang-orang yang sudah berumur 45 atau lebih.
Kapal ini bisa memuat 3000 orang. Dan mempunyai 2 swimming pools, 1 theater, 1 bioskop, 4 tempat untuk bisa mendengarkan live music (Klasik, Jazz dll.), 1 casino, 1 salon dan shop, 4 restoran, 2 dining rooms/halls, library dengan akses internet. Pekerja/crew dari kapal berjumlah kira2 800 orang. 400 orang pekerja “asalnya dari Indonesia (majoritas lelaki)”, 200 dari Filipina, sedikit dari India, sisanya kira2 200 orang kulit putih. Yang menarik adalah crew dari Indonesia (saya tidak melihat orang Tionghoa diantara mereka) hampir semua bekerja di bagian dapur, pembagian makan, pelayanan makanan di dining rooms dan 4 restoran. Crew dari Indonesia juga yang bertugas untuk pembersihan kapal termasuk restroom dan kamar/cabin. Sedangkan orang Filipina bertugas di bar, kasino dan customer service. Dan orang kulit putih mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan tertinggi, misalnya, di bagian entertainment, management. Kapten-nya adalah orang Belanda.
Barangkali orang Filipina mendapat posisi tersebut diatas karena lebih bisa mengusai bahasa Inggris daripada orang Indonesia (atau alasan lain???). Ada juga crew dari orang India (tidak begitu banyak) yang mempunyai posisi lebih tinggi dari orang Filipina. Yang menarik lagi kebanyakan orang Indonesia yang melayani di dining room (ada dua dining room yang bisa memuat
ratusan orang) adalah orang berasal dari Bali. Entah kenapa banyak orang dari Bali yang lebih bisa bekerja/diterima di kapal dari HACL ini (dimana dalam perlayanan kami dengan cruise dari HACL beberapa tahun yang lalu, juga orang2 Bali banyak yang bekerja di dining room, jadi situasi ini bukan kebetulan)???
Saya belum bisa mengambil konklusinya: lebih ramah, lebih suka berpesiar, lebih toleran, misalnya, sebagai individu atau terhadap bersentuhan dengan makanan dari daging babi (sebab agama Hindunya???) . Crew dari Indonesia mayoritas adalah orang yang masih muda. Rupanya mereka senang untuk bisa bekerja dan melihat banyak negara di dunia (sebab bisa ber rotasi untuk ikut cruise ship yang didaerah Amerika Utara, Asia, Australia). Mereka mendapat liburan 2-3 bulan paling sedikit
setahunnya untuk pulang ke Indonesia. Pada salah satu malam ada pertunjukan “Indonesian Night” di theater, antara lain ada Tari kecak Ramayana dari Bali, musik angklung.
Makan malam di 2 dining room ada 2 giliran jam 6 dan 8 sore sebab harus bisa menampung 2000 penumpang. Peraturan di dining room agak ketat: tidak boleh pakai celana pendek, T-shirt atau sandal. Pada malam tertentu harus memakai pakaian formalitas/formal suit yaitu jas dengan dasi, Tuxedo. Yang menarik setiap ada penumpang yang mempunyai tanggal kelahiran/birthday pada hari itu, akan di datangi oleh beberapa pelayan dari Indonesia, yang kemudian menyanyi “Panjang umurmu, panjang umurmu… ..serta mulia (dalam bahasa Indonesia; saya sudah lupa lagu ini).” sambil membawa birthday cake.
***
Saya tidak akan menyinggung banyak kebudayaan Barat di kota atau pulau yang saya kunjungi seperti judul dari tulisan saya. Kapal cruise ini berlayar dari Venice ke Dubrovnik, Kroasia (dulu bagian dari Yugoslavia), terus ke pulau Kerkira (Corfu), kemudian ke pulau Argostoli, ke pulau Santorini di Yunani, ke Catania di Sisilia, ke Napoli , ke pelabuhan Civitavecchia dekat Roma, ke Livorno dekat Fiorentina dan kemudian ke Barcelona , Spanyol
Di kapal cruise ini tidak begitu banyak orang2 dari Asia dan barangkali ada beberapa turis dari Tiongkok. Waktu saya mendaftar untuk kapal cruise ini, saya mendaftar dari Kanada dengan alamat di Kanada. Tidak tahunya kalau waktu makan malam di dining room, saya dengan istri digabungkan dengan 4 orang dari Kanada di satu meja. Setiap hari akan menempati meja makan/dining table dan bersama orang2 yang sama. Dua di antaranya adalah suami istri Tionghua dari Vancouver dimana mereka asalnya dari Hong Kong, yang berimigrasi ke Kanada kira2 dua puluh tahun yang lalu. Mereka sudah pensiunan dan sering berpesiar dengan kapal cruise. Dua lainnya adalah orang kulit putih, yang sudah beberapa kali berpesiar dengan kapal cruise. Malahan mereka baru pulang dari cruise dari Istambul ke Venice dengan kapal ini juga. Kalau saya mendaftar dari Amerika Serikat, kami kemungkinan sekali akan digabungkan dengan orang2 AS dan kami lebih cocok dengan orang-orang dari Kanada atau Australia daripada orang AS kulit putih. Selama ini saya tidak ada masalah dengan orang-orang Amerika Serikat tetapi saya tidak senang dengan pemerintah dan politiknya yang antara lain mau jadi polisi dunia dan merugikan negara lain.
Majoritas penumpang adalah dari Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Saya kira mereka ingin mengetahui kultur dari nenek moyang mereka di Eropa dimana negara2 ini, kota-kotanya, tidak mempunyai peninggalan budaya tinggi. Saya juga yakin bahwa orang Tionghoa dan overseas chinese juga kalau bisa mengunjungi Tiongkok dan bisa mengagumi budaya Tiongkok. Di kapal ini tidak banyak tourist yang dari Eropa sebab barangkali mereka bisa berpesiar dengan mobil kesana sebab jaraknya tidak jauh. Di kapal ini tidak banyak pengaruh dari budaya Tiongkok yaitu cuma ada barang2 pajangan vas, guci dari Tiongkok. Selain itu kalau pagi bisa memilih makan bubur beras dengan tahu, ayam dan sebagainya atau chinese rice puree untuk sarapan pagi seperti diberbagai China Town atau di Asia. Saya kira chinese tourist sekarang ini, masih berpesiar dengan group tour dan biasanya ke kota2 yg. besar, juga untuk bisa shopping (seperti yang saya lihat mereka di kota Florence). Jadi tidak begitu banyak chinese tourist di kapal ini.
Di setiap pelabuhan di tempat/kota2 diatas selalu banyak pilihan offshore excursion untuk para penumpang. Sedangkan kru dari Indonesia yang tidak bekerja (not on duty), biasanya turun dari kapal untuk jalan2 dan shopping di kota pelabuhan. Mereka biasanya membawa shopping bag kalau pulang ke kapal. Saya kira mereka beruntung bisa bekerja dan melihat dunia luar. Saya kira mereka tidak banyak yang sudah menikah sebab majoritas masih muda2, jadi perpisahan dengan Indonesia berbulan2 tidak begitu menjadi masalah. Kami terkadang bercakap-cakap dengan kru Indonesia yang membersihkan kamar/cabin kami dan pembantunya juga orang Indonesia. Dia berasal dari Medan. Rutin mereka adalah membersihkan cabin dua kali sehari tetapi kami minta satu kali saja.
****
Pemandangan dari berbagai kota dan pulai yang kita kunjungi sangat indah dan mempunyai sejarah budaya Barat atau kejadian alam (seperti terjadinya pulau Santorini yang adalah suatu kaldera/caldera). Di pulau Kerkira/Corfu (dengan jumlah penduduk 100000) di Yunani kami mengunjungi Achillion Palace sebagai peninggalan istana musim panas dari ratu Austria (Empress of Austria) dimana juga ada barang antik dari Tiongkok yang diperlihatkan. Yang membuat saya heran di Corfu (penduduknya hanya 100 ribu), juga ada China Town tetapi tidak kami kunjungi sebab barangkali juga kurang menarik di pulau dengan penduduk yang jumlahnya kecil.
Di Corfu kami mengambil satu offshore excursion dan kami pergi bersama-sama ke restoran untuk makan siang. Setelah kami duduk di meja, sepasang suami dan istri Tionghua datang dan mau bergabung/duduk di meja kami. Langsung kami bisa berbincang dengan akrab. Mereka asalnya dari Singapura. Barangkali karena kami adalah satu etnis diantara majyoritas yang bukan ketururan Tionghua . Ini adalah gejala yang normal sebab, secara secara insting dan psikologis (behaviour science), mahluk akan meresa lebih nyaman/secure kalau berada di species/ras yg. sama.
Saya pernah mengamati film documentary tentang migrasi dari binatang2 di Afrika (Serengeti) yang mendukung pengamatan saya tersebut diatas. Dimana seekor anak kuda zebra jatuh ke lumpur dan kulitnya menjadi seluruhnya hitam/coklat, jadi kulitnya tidak menunjukan garis2 hitam dan putih lagi. Anak zebra ini kemudian akan bergabung lagi dengan kelompok zebra-nya tetapi di tolak oleh kelompok dan ibunya. Saya yakin bahwa kelompok zebra ini tidak merasa tentram yang akan di gabungi oleh anak zebra ini dimana anak zebra ini kelihatannya lain apalagi di alam yang sangat ganas untuk bisa hidup (for survival) di Serengeti. Kita tentunya masih mempunyai peninggalan instinct ini dalam rangka evolusi mahluk hidup.
Di waktu makan, kami banyak cerita tentang Indonesia dan Singapura, antara lain kenapa mereka ber-emigrasi ke LN. Dari sudut pandang orang Singapura, mereka bisa lebih enak hidupnya di Australia dan masa depan anak mereka lebih ringan kompetisinya dengan anak2 Australia daripada dengan anak2 Singapura dan lebih banyak kesempatan untuk bisa maju di Australia. Suami istri ini sekarang tinggal di Darwin/ Australia. Mereka dulu berimigrasi ke Darwin tetapi tidak begitu senang. Kemudian pindah ke Sydney, kemudian ke Perth. Akhirnya balik ke Darwin/Northern Territory dan mereka sekarang senang tinggal di Darwin dimana hawanya tidak dingin. Dan Darwin sekarang juga telah menjadi kota kosmopolitan dengan banyak penduduknya dari Asia seperti dari Vietnam, Filipina, Korea, China dll. Mereka tidak meng-apresiasi datangnya banyak antara lain pengungsi dan imingran gelap dari Sri Langka dan Afganistan ke Darwin atau Australia.
Kami paling tertarik dengan pemandangan dari pulau Santorini/Greece. Tentang Santorini bisa dilihat di: http://en.wikipedia.org/wiki/Santorini dan http://www.google.ca/search?q=santorini&hl=en&rls=com.microsoft:en-us&rlz=1I7PRF\ A_en&prmd=ivns&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ei=_k9aToyvMqTD0AHj1_mTCQ&ved=0CF\ wQsAQ&biw=1280&bih=623
Saya sering memberi nasehat kepada anak perempuan saya yang juga suka berpesiar ke luar negri . Harus berhati-hati kalau jalan-jalan di Eropa, terutama di Itala karena banyak tukang copet. Tidak tahunya saya kecopetan dompet saya di Santorini. Saya kehilangan uang, kartu kredit, surat pengemudi mobil/driver license dll. Untungnya, pemandu tour baik dimana saya di pinjami cellphone-nya untuk meng-non-aktifkan kartu kredit saya sebelum bisa di pakai oleh pencopet. Jadi saya hanya kehilangan uang cash, driver license, health cards saja. Di Corfu dan Santorini, saya tidak melihat banyak turis dari Asia atau kelompok turis dari Tiongkok. Saya hanya kebetulan mendengar dua keluarga bercakap2 dalam bahasa Indonesia waktu di Venezia, tentunya mereka adalah turis asal Indonesia.
*****
Baru di kota besar seperti Roma dan Fiorentina, kami baru melihat banyak turis dari Tiongkok. Mereka bergabung sebagai kesatuan/group dengan bus carteran dan bukan sebagai individu2 tersendiri (individual tourist). Dulu kita sering melihat tourist dari Jepang yang agak karakteristik tampilannya yaitu para perempuan sering memakai topi (model royal family di UK) selain berpakaian relatif mentereng. Sedangkan para perempuan dari chinese tourist tidak jarang memakai payung kalau banyak sinar matahari. Saya kira ini agak mengganggu di tempat yang padat orangnya. Saya malahan pernah melihat para perempuan Tiongkok memakai payung di tempat hiking di Grand Canyon. Entah kenapa mesti memakai payung? Untuk melindungi kulitnya supaya tetap putih (khan kulitnyamenjadi coklat cuma sementara) atau alasan lain, khan cukup memakai topi saja untuk melindungi kepala dari panas sinar matahari? Barangkali ada anggota milis yang bisa memberi keterangan, misalnya, di lihat dari segi budaya?
Kami tidak mengikuti offshore tour dari kapal cruise ke Fiorentina sebab kami sudah mengenal kota Fiorentina dari perjalanan kami yang lalu. Jadi kami hanya pergi ke Fiorentina dengan bus di pagi hari dan kembali ke kapal pada sore harinya. Dan kami mengatur tour jalan kaki sendiri dan istri saya sebagai guide-nya sebab dia senang membaca tentang kota-kota yang akan di kunjungi dan senang mempelajari peta. Antara lain kami mengunjungi museum hanya untuk melihat patung “David” lagi yang dipahat oleh seniman terkenal di Barat yaitu Michelangelo (yang juga melukis di beberapa tembok di gereja St. Peter Basilica di Rome). Patung ini (kira2 5 m tingginya) luar biasa tampaknya, proposinya dan detail-nya (sampai bisa dilihat otot2 tangannya). Tentunya memahat patung yang sangat besar lebih sulit daripada yang lebih kecil. Setiap hari penuh dengan turis, barangkali ribuan turis dari seluruh dunia untuk melihat patung ini. Untungnya kami masih bisa mendapat karcis untuk melihat patung David ini dimana kami pergi pagi2 ke tempat penjualan karcis dan baru mendapat tempat untuk melihat pada jam 1:30 sore. Karcisnya 15 Euro per orang, relatif mahal, kalau turis terutama hanya mau melihat patung ini walaupun banyak patung-patung lain dan lukisan2 di museum ini. Mengambil foto atau video tidak boleh tetapi tidak sedikit turis yang mengambil foto dimana karena penuhnya tempat ini susah untuk diawasi oleh penjaga2. Tentunya kita tidak bisa membandingkan dari beberapa segi dengan Terracotta Army yang ada di Xian, yang tentunya telah di ketahui atau di kunjungi oleh majoritas dari member milis ini.
http://entertainment.howstuffworks.com/arts/artwork/michelangelo.htm
Kami juga mengunjungi pabrik kulit dan toko yang terkenal di Italy, namanya “Peruzzi” di Fiorentina, dimana produk-produknya mahal sekali. Kami pernah kesini lima tahun yang lalu, jadi untuk melihat-lihat dan bernostalgia saja. Tidak tahunya tempat ini penuh dengan turis dari Tiongkok yang membeli barang-barang kulit seperti membeli pisang goreng saja. Orang-orang kaya dari Tiongkok selain mau mengenal negara dan budaya Barat kuno, mereka juga senang berbelanja barang2 mahal. Kami sih berpakaian T-shirt, celana pendek dan sepatu sneaker. Sedangkan turis dari Tiongkok pakaian mereka kebanyakan mentereng sepertituris Jepang (terutama yang sudah berumur).sudah berumur).
*****
Hari terakhir kapal cruise sampai di Barcelona/Spanyol, yang terkenal kotanya dengan budaya penduduk/ras Catalan dan budaya Spanyol (seperti pelukis Picasso, arsitek Antoni Gaudi yang terkenal dengan pembangunan gereja La Sagrada Familia yang unik, pelukis Salvador Dali) dan tukang copetnya. Kami cuma ber-jalan2 kira2 3 jam ke La Rambla yang terkenal (tempat untuk berjalan-jalan yang sangat panjang sekali dimana disebelah kanan dan kirinya ada toko-toko, restoran, pertunjukan dan lain lain) dan old city dari Barcelona. Tempat ini selalu penuh dengan orang berjalan-jalan sampai ribuan, terutama turis apalagi hari Sabtu malam. Tidak heran kalau di tempat ini terkenal dan banyak pencopetnya. Kami sudah bersiap-siap untuk menghadapi tukang
copet , apalagi setelah di copet di pulau Santorini. Kami tidak menginap di hotel di Barcelona tetapi terbang ke Kanada besok harinya langsung dari kapal cruise sebab saya telah mengenal Barcelona dengan baik dimana waktu saya masih menjadi mahasiswa di Jerman pernah berlibur disana dan pernah tinggal di Barcelona untuk dua minggu dan mengikuti konferensi sekaligus juga liburan di Barcelona yang barangkali lebih menarik daripada ibukota Spanyol, Madrid.
Kami membuat transit di Frankfurt-Jerman, sebelum terbang ke Toronto-Kanada. Kami sangat kecewa dengan airport di Frankfurt sebab air condition-nya kurang dingin (saya kira untuk menghemat energy) dan tidak ada makanan Jerman asli yang bisa di beli. Toko-toko makanan hanya menjual makanan fast food ala Amerika Serikat. Budaya Amerika Serikat memang
merusak budaya yang bernilai dimana-mana. Yang membuat saya heran di airport di Frankfurt mulai ada pengaruh budaya Tiongkok yaitu ada toko pakaian namanya “Shanghai Tang” seperti yang ada di Beijing, Hong Kong, Singapore. Saya kira
sekarang masih tidak mudah untuk pakaian budaya Tionghua untuk bisa bersaing dengan pakaian model Barat di Eropa , sebab Paris, London adalah pusat dari model pakaian dari budaya Barat. Tetapi ada pepatah dari Lao Tzu yang sangat bagus: “A journey of 1000 miles must begin with a single step”.
Rupanya pengaruh dan kemajuan Tiongkok mulai kelihatan, juga dengan jumlah turis-turisnya di Luar Negri . Tentang TKI, saya kira bekerja di kapal cruise jauh lebih baik daripada menjadi TKI pembantu rumah tangga, terutama sebagai TKI di negara2
Arab. Di kapal cruise, mereka bekerja apapun akan dihargai profesinya dan sebagai individu. Dan mereka kalau berkualifikasi dan mau bersaing, pasti ada kesempatan untuk naik kedudukan sebagai pengawas/supervisor atau di management level di bidangnya. Di samping itu bisa melihat banyak negara dengan gratis.
Waktu saya berumur 20-an, saya sudah ingin belajar di Luar Negri, tidak perduli dengan kemungkinan kesulitan atau resikonya (bicara bahasa Inggris saja belum bisa dengan cukup apalagi bahasa Jerman). Kalau saya pikir kembali sekarang ini, keputusan saya dulu untuk ke LN, terlalu berani/nekad.
Tetapi di situasi yang tidak baik pada waktu itu (antara lain, dengan adanya diskriminasi untuk masuk universitas negeri dan mutu pendidikan yang tidak sebaik di LN; walaupun barangkali pendidikan universitas di Indonesia dulu lebih baik dari sekarang ini), membuat saya berani untuk mengambil resiko , untuk masa depan saya. Situasi waktu itu adalah situasi “krisis yang adalah situasi berbahaya tetapi juga adalah bisa sebagai suatu kesempatan untuk maju. Huruf chinese ŠëŠ÷ tidak jarang di kutip sebagai “Chinese wisdom” yang di interprestasikan sebagai Crisis = Danger + Opportunity oleh orang-orang penting di Amerika Serikat dan kaum akademik walaupun makna dari huruf ini telah menimbulkan perdebatan kebenarannya (Saya bukan ahli dalam huruf chinese tetapi banyak member dari milis ini yang kompeten tentang huruf chinese). Ini menunjukkan pengaruh/pengenalan budaya Tiongkok di kalangan atas di pemeritahan dan akademik.
Quote:” When written in Chinese the word crisis is composed of two characters. One represents danger, and the other represents opportunity.[4]
Kennedy employed this trope routinely in his speeches, and it was then appropriated by Richard M. Nixon and others. The usage has been adopted by business consultants and motivational speakers and has gained great popularity in universities and in the popular press. For example, in 2007, Condoleezza Rice used the meme during Middle East peace talks,[5] and Al Gore did so both in testimony before the U.S. House of Representatives Energy and Commerce Committee,[6] and in his Nobel Peace Prize acceptance speech.[7] http://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_word_for_%22crisis%22
Pada jaman saya dulu, orang harus bayar relatif mahal sekali untuk naik pesawat terbang. Jadi orang yang tidak terburu-buru bisa bepergian dengan kapal barang dan bisa membawa barang banyak tetapi pelayarannya memakan waktu 3 mingguan untuk
sampai ditempat tujuan. Kami, kira-kira 10 penumpang orang muda dari Indonesia (berumur 20-an), menuju ke Eropa dengan kapal barang dari Lloyd Triestino.
Tidak ada penumpang lain di kapal ini kecuali kru dari kapal ini. Kapal ini singgah di Bombay (sekarang: Mumbai), Aden, melalui Suez kanal dan singgah di Kairo dan di Goa sebelum kami mendarat di Venezia untuk pertama kalinya. Ini saja adalah sudah suatu pengalaman yang luar biasa untuk kami yang baru pertama kali ke LN dengan “kapal cruise murahan” dan tidak seperti “kapal cruise mewah dari Nieuw Amsterdam” yang berangkat dari Venezia baru2 ini. Tidak tahunya pengalaman saya sebagai mahasiswa di Eropa adalah juga pengalaman yang paling mengesankan dan sangat berguna dalam hidup saya (saya yakin juga untuk kami semua se kapal barang ini). Betul juga “Chinese wisdom”: Crisis = Danger + Opportunity.
Sekian tulisan saya tentang pengaruh Tiongkok di Eropa dan TKI di kapal cruise Nieuw Amsterdam dari Holland America Cruise Line.
Beng-Hoey Jo
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan link aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.