Budaya-Tionghoa.Net| Salam sejahtera semuanya, Bagi mereka yang mempelajari sejarah Taoism tentu akan tahu bahwa Taoist (dan orang Tionghua pada umumnya) sebenarnya sudah menganut prinsip pluralisme semenjak jaman dahulu. TAO adalah DA DAO yang universal. Dao is universal begitulah semboyan dari Taoist Mission. Sayang sekali bahwa semangat ini terkikis oleh degradasi pemahaman Taoisme yang sesungguhnya. Dan terlebih sayang lagi bahwa justru orang Barat lah yang kini memunculkan wacana tersebut sedangkan kita kembali lagi menjadi pengekor.
|
Untuk mengimbangi ketertinggalan tersebut, marilah kita lengkapi pengetahuan kita tentang pluralisme ini. Harap dibedakan juga antara arti pluralisme dengan sinkretisme (mencampur adukkan beberapa aliran/ agama yang berbeda menjadi satu agama baru). Oleh karena itu saya tampilkan suatu artikel yang saya dapatkan dari website Jaringan Islam Liberal. Mudah-mudahan, Taoist disini bisa mengemukakan sendiri konsep pluralistiknya secara terstruktur dan sistematis.
Wu Liang Shou Fu!
Li Tian
Pluralisme
Pertama, Karl Rahner. Rahner oleh banyak kalangan disebut sebagai teolog terbesar agama Katholik di abad 20. Pemikirannya memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap teologi Vatican Council. Kedua pada rentang waktu 1962-1965, yang telah membawa gereja Katholik Roma untuk merevisi pandangannya terhadap berbagai topik dari mulai doktrin sampai dengan liturgi. Proses modernisasi gereja Katholik Roma atau yang oleh John Paus XXIII disebut sebagai aggiornamento, juga memasukkan unsur penilaian terhadap pandangan gereja yang berkaitan dengan agama lain, selain Katholik.
Pemikiran Rahner mempengaruhi pernyataan Vatican Council diantaranya tentang kehadiran karunia Tuhan di luar gereja setelah sebelumnya Vatican Council keukeuh dengan pendirianya yang terkenal yakni: extra eclessiam nulla salus (di luar gereja, tidak ada keselamatan). Lebih dari itu, pemikiran teologis Rahner berpengaruh lebih jauh melalui artikulasinya secara pasti dalam tafsiran-tafsirannya terhadap doktrin Kristen. Dalam pandangan Rahner, penganut agama lain mungkin menemukan karunia Yesus melalui agama mereka sendiri tanpa harus masuk menjadi penganut Kristen. Inilah yang oleh Rahner kemudian dikenal sebagai orang Kristen Anonim (anonymous Christian). Yesus, dalam pandangan Rahner masihlah menjadi norma di mana kebenaran berada dan jalan di mana keselamatan dapat diperoleh. Akan tetapi, orang tidak harus secara eksplisit masuk menjadi penganut agama Kristen agar mendapatkan kebenaran dan memperoleh keselamatan itu. Oleh karena itu Rahner mengatakan bahwa agama lain adalah sebenarnya bentuk implisit dari agama yang kita anut.
***
Kedua, John Harwood Hick. Hick adalah seorang filosof agama kontemporer yang concern terhadap masalah hubungan antar agama. Dalam pengertian dan pemaknaan Hick, pluralisme agama mesti didefinisikan dengan cara menghindari klaim kebenaran satu agama atas agama lain secara normatif. Berbeda dengan Rahner, Hick tidak setuju dengan penryataan bahwa agama Kristen memiliki kebenaran yang “lebih” dibanding kebenaran agama lain. Oleh karena itu, menurut Hick, kita harus menghindari penggunaan istilah terhadap penganut agama lain sebagai orang Kristen Anonim, Islam Anonim, Hindu Anonim, Buddha Anonim dan sejenisnya. Cara yang lebih arif untuk memahami kebenaran agama lain adalah dengan menerima bahwa kita (semua agama) merepresentasikan banyak jalan menuju ke satu realitas tunggal (Tuhan) yang membawa kebenaran dan keselamatan. Tidak ada satu jalan (agama) pun yang boleh mengklaim lebih benar daripada yang lain karena kita (semua agama) sama dekat dan sama jauhnya dari realitas tunggal tersebut. Realitas tunggal itu adalah realitas yang sama yang kita (semua agama) sedang mencari-nya.
Dalam menjelaskan realitas tunggal yang sama itu, Hick menggunakan dualisme Immanuel Kant tentang the Real in-it-self (an sich) dan the Real as humanly thought-and-experienced. The Real in it self sesungguhnya adalah realitas tunggal yang dituju oleh kita (semua agama). Sementara, karena realitas tunggal itu bersifat maha baik maha besar, maha luas, maha agung, maha tak terbatas dan sebagainya, maka manusia (yang terbatas) mengalami keterbatasan untuk mengenalnya secara penuh. Itulah yang kemudian menurut Hick mewujud pada gambaran the Real as humanly thought-and-experienced (realitas tunggal yang dapat dipikirkan dan dialami secara manusiawi). Keterbatasan dan cultural factors–lah yang kemudian menyebabkan respon orang tentang gambaran realitas tunggal itu menjadi berbeda-beda.
Selanjutnya, mungkin muncul pertanyaan bagaimana menghubungkan kedua the Real tersebut? Atau bagaimana the Real as humanly thought-and-experienced yang mungkin berbeda-beda antara satu agama dengan agama yang lainnya bisa diartikan menuju ke the Real in-it-self yang sama? Menurut Hick, semua agama dengan the Real yang berbeda-beda
itu tetap menuju pada the Real in it self yang sama sejauh mampu melahirkan fungsi soteriologis dari agama. Artinya, agama tersebut mesti memberikan pengaruh yang baik secara moral dan ethics bagi para penganutnya dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu, Hick menyatakan bahwa agama lain adalah jalan yang sama validnya dengan agama kita dalam menuju kepada kebenaran dan keselamatan dari the Real in-it-self.
***
Ketiga, John Cobb Jr. Cobb membangun konsep yang agak berbeda dengan konsep pluralisme agama menurut Hick. Melalui keterlibatannya yang luas dalam dialog Kristen dan Buddha, Cobb Jr sampai pada kesimpulan bahwa seseorang tidak dapat mengklaim bahwa agama Kristen, Buddha, Islam, Hindu dan sebagainya adalah berbicara atau menuju realitas tunggal yang sama seperti yang dinyatakan Hick. Selain itu, Cobb Jr juga menolak jika dikatakan bahwa kebenaran satu agama sama validnya dengan kebenaran yang dimiliki agama lain. Untuk memahami dan menilai secara sungguh-sungguh agama lain, kita harus mendengarkan apa yang mereka katakan dan mengevaluasinya tanpa berasumsi bahwa apa yang
dibicarakan adalah benar-benar tentang hal atau the Real yang sama.
Dalam hal ini, kalau misalnya, beberapa agama bertemu (encounter) satu sama lainnya maka penganut agama-agama tersebut sesungguhnya akan saling diperkaya oleh pengetahuan mereka tentang agama-agama lain. Mereka dapat belajar satu dari yang lain tanpa meninggalkan kenyataan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan di antara mereka.
***
Keempat, Raimundo Panikkar. Seperti juga Cobb, Panikkar menolak semua definisi pluralisme agama yang menyimpulkan bahwa agama-agama men-share common essence (hal-hal esensial yang sama). Sejarah kehidupan keagamaan dan intelektual Pannikar dapat dikatakan sangatlah kompleks. Dia dilahirkan dalam keluarga di mana ayahnya beragama Hindu dan ibunya beragama Katholik Roma. Panikkar sendiri menjadi seorang pastur Katholik yang memperoleh gelar Doktor dalam bidang sains, falsafah dan teologi. Dia menuliskan tentang pertemuannya (encounter) dengan agama lain: “saya meninggalkan ke-Kristen-an saya, menemukan diri saya sebagai penganut Hindu, dan kembali menjadi seorang penganut
Buddha tanpa berhenti menjadi seorang penganut Kristen. Pendekatannya terhadap agama lain merefleksikan kompleksitas tersebut. Panikkar menjelaskan bahwa kita harus bekerja keras untuk memahami masing-masing agama dalam bahasa mereka sendiri-sendiri yang konsepnya berbeda-beda. Kita tidak dapat mengatasi dan menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut dengan mengatakan bahwa semua agama adalah sama atau satu. Tetapi kita juga tidak dapat mengabaikan apa yang dikatakan oleh orang (agama lain). Masing-masing agama merefleksikan, mengoreksi, melengkapi dan men-challenge agama-agama yang lainnya dalam jaringan intrikasi interkoneksi yang dia sebut sebagai dialog antar agama. Karenanya Panikkar menyatakan bahwa masing-masing agama mengekspresikan sebuah bagian penting dari kebenaran. Ekspresi itu bisa berupa refleksi, koreksi, pelengkap dan chalengge antara agama yang satu dengan agama yang lain.
***
Kelima, Wilfred Cantwell Smith. Smith adalah seorang sejarahwan agama yang memiliki pengalaman langsung dengan berbagai macam agama ketika mengajar di India pada tahun 1941-1945. Ketika kembali ke Canada dia diangkat menjadi professor untuk studi perbandingan agama di Universitas Mc Gill dan kemudian berhasil mengorganisir berdirinya Mc Gill Institute of Islamic Studies. Pada tahun 1964 Smith menjadi direktur Harvard University’s Center for the Study of World Religions.
Menurut Smith, pluralisme agama merupakan tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut agama. Syarat utama tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri. Membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak memadai lagi. Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme agama dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual wahyu. Pada tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual wahyu Smith mulai dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus juga mencakup suatu doktrin mengenai agama lain.
Pendirian teologis tersebut oleh Smith dimasukannya ke dalam analisis mengenai cara kita menggunakan istilah agama. Dalam karya klasiknya yang berjudul The Meaning and End of Religion Smith menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala dan menyamakan Tuhan mereka dengan dewa. Sebagai contoh, Smith mengutip pernyataan teolog Kristen bernama Emil Brunner yang menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain senantiasa merupakan suatu berhala. Demikian juga bagi beberapa kaum Muslim, Yesus sebagai kristus adalah suatu berhala. Contoh-contoh mengenai sikap eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan agama yang tidak dapat kita terima. Semua agama mengarah kepada tujuan akhir yakni Tuhan. Smith menulis: Tuhan adalah tujuan akhir agama juga dalam pengertian bahwa begitu Dia tampil secara gambling di hadapan kita , dalam kedalaman dan kasih-Nya , maka seluruh kebenaran lainnya tak heni-hentinya memudar; atau sekurang-kurangnya hiasan agama jatuh ke bumi, tempatnya yang seharusnya, dan konsep agama `berakhir’.
Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama ini diperlukan jikalau kita ingin berlaku adil terhadap dunia tempat kita hidup dan terhadap Tuhan sebagaimana di wahyukan oleh agama yang kita anut. Semua agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya harus dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah
antara yang Illahi dan manusia. Dengan pemahaman ini, Smith mengharapkan adanya toleransi antar umat beragama yang berbeda-beda tersebut.
BY Li LiTian ÀîÀíÌì
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa 59957