Via : Mailing List Budaya Tionghoa No 2415
Budaya-Tionghoa.Net| Perhatian publik sastra saat ini tampaknya tertuju pada bangkitnya genre sastra Tionghoa, tepatnya Melayu-Tionghoa, kembali ke kancah sastra Indonesia modern. Gejala kebangkitan ini merupakan sesuatu yang layak disambut luas. Seyogianya memang demikian, karena kita sudah lama kehilangan “saudara kembar” (twin sister) dalam genre sastra kita, yang umumnya didominasi sastra Melayu saja. Ini penting dimengerti, sebab selama ini perkembangan sastra modern kita seolah-olah berjalan terlepas dari konteks sejarah, yang dulu melahirkannya. Yaitu, saat-saat di mana sastra kita masih bergulat dengan tema-tema pemerdekaan dan penjajahan, yang tentu melibatkan genre sastra Tionghoa juga. Atau, kalau mau dilacak lebih awal lagi, yang sering terlupakan adalah peran masyarakat Tionghoa dalam proses akulturasi budaya antara bangsa pribumi dengan kaum pendatang.
|
Kalau begitu, kebangkitan sastra Tionghoa memang positif, untuk mengingatkan kita akan latar belakang kesejarahan tentang proses lahirnya sastra modern di awal abad 19. Namun, harus diakui, terlalu sedikit dan amat jarang ditemukan kajian yang secara komprehensif membandingkan bagaimana kedua genre sastra itu berhubungan secara timbal-balik. Karena itu, agaknya ada kesan kedua-duanya sama sekali tak berhubungan atau-minimal-tidak memiliki akar sejarah yang sama. Maka, kiranya jelas keperluan untuk membicarakan suatu perbandingan yang mengupayakan sejumlah catatan kritis, utamanya terhadap sastra Tionghoa.
Merenungkan kembali sastra Tionghoa akan sangat signifikan dalam konteks mencari berbagai hal yang selama ini tak tersingkap yang, bagi saya, merupakan “ideologi tersimpan” yang memiliki ranah penafsirannya yang unik. Kita bisa mengatakannya sebuah alamat yang samar-samar bermain di balik “politik identitas”: bagaimana mereka mendefinisikan “orang lain” di luar komunitas mereka; serta prasangka-prasangka apa yang tampak dari permainan ini.
Setting Sastra Tionghoa
Komunitas-komunitas sosial yang hidup pada masa kalabendu politik Orde Lama akan merasakan betul dampak revolusi dan konflik-konflik yang memuncak saat itu. Dua ideologi besar yang terkenal dan paling populer, komunisme dan Islam, tampaknya lebih dari sekadar membawa perubahan dalam lingkup politik belaka. Ideologi-ideologi itu, tak kalah pentingnya, juga merubah sejumlah sendi kebudayaan. Salah satu gejala yang tak boleh diabaikan adalah polarisasi kepentingan dan kecenderungan untuk menyudutkan kelompok-kelompok di luar kedua mainstream tersebut.
Stigmatisasi yang paling mencolok, misalnya, dilakukan terhadap minoritas Tionghoa. Kekalutan politik waktu itu mempertajam kesan buruk Tionghoa, yang dianggap merepresentasikan “imperialisme baru” yang ingin menanamkan pengaruh dalam ekonomi pribumi. Sebabnya, harus diakui, masyarakat Tionghoa hidup dan berkembang karena akses ekonomi yang tidak dimiliki kaum pribumi. Mau tak mau hal ini memancing kecemburuan di antara masyarakat pribumi yang merasa dirugikan dengan kehadiran mereka.
Kesan “imperialisme” ala Tionghoa tumbuh karena karakteristik masyarakat Indonesia yang kurang menerima masuknya unsur-unsur budaya asing dalam kehidupan sosial mereka. Keadaan ini diperuncing dengan tindakan elitis komunitas Tionghoa, terutama dalam setiap tindakan yang menguntungkan ekonominya sendiri. Masyarakat Tionghoa memang akhirnya menguasai aset-aset ekonomi yang berhubungan dengan kebutuhan orang banyak. Krisis ekonomi di zaman Orde Lama menghantam seluruh bangunan perekonomian nasional dan mengakibatkan turunnya pendapatan masyarakat umum secara drastis. Tak ada yang menyangkal, situasi yang makin memburuk, ditambah kekisruhan politik yang terjadi di mana-mana, mendorong timbulnya frustasi dan kecemasan masyarakat. Sejak pecahnya G30S yang berdarah, mereka seolah makin percaya bahwa kehancuran masa depan akan segera tiba. Namun, apa yang tersisa dari semua itu, adalah kepenguasaan sejumlah aset publik oleh masyarakat Tionghoa. Di sini, krisis mutidimensional yang mengguncang waktu itu, tampaknya tidak terlalu mempengaruhi aktivitas ekonomi minoritas Tionghoa sendiri.
Mengapa ini terjadi, agaknya lebih disebabkan kedekatan elite Tionghoa dengan pemerintah pusat, serta keuletan bekerja yang telah berakar sejak lama. Untuk yang terakhir ini, tak ada yang meragukan, kalau mereka memang menikmati kerja sebagai kegiatan rutin yang tak boleh ditinggalkan. Struktur ekonomi Tionghoa, selain umumnya didukung kecekatan yang luar biasa dalam menyikapi perubahan, juga disokong oleh sistem patronage yang erat dengan sumber-sumber penghasilan ekonomi yang dinilai menguntungkan. Karenanya, wajar bila dalam struktur dan piramida sosial masyarakat Indonesia, minoritas Tionghoa menempati posisi dan status kelas menengah (middle class) yang patut diperhitungkan.
Mobilisasi sosial dan ekonomi semacam itu mempercepat terjadinya proses penyerapan budaya dengan kaum pribumi. Problem ini tentu dilematis bagi mereka. Di satu sisi, akulturasi budaya meniscayakan bercampur-baurnya kekhasan identitas yang mereka pertahankan dengan penduduk lokal, dan hal ini jelas akan mengendurkan “elitisme” ekonomi, yang selama ini lekat dan identik dengan masyarakat Tionghoa sendiri. Tapi, di sisi lain, memang tak mudah menghindari-diri dari tuntutan transformasi budaya, khususnya setelah lambat-laun konflik antar-golongan mulai berhasil diredam dengan berdirinya rezim Orde Baru.
Uraian di atas akan lebih berarti, kalau sastra Tionghoa dipahami dalam konteks sosiologis masyarakat Tionghoa. Ada dua karakteristik yang menjadi ciri khas sastra Tionghoa. Yang pertama menyangkut obyek tematik yang diangkat sastrawan Tionghoa dalam jangka waktu yang lama, dan yang kedua lebih berurusan dengan struktur sintaksis karya-karya sastra, yang meliputi corak dan alur cerita dan gaya perwatakan tokoh-tokohnya.
Dalam kaitannya dengan latar belakang yang meliputinya, bisa dipastikan kalau sastra Tionghoa lebih suka menonjol-nonjolkan sifat dan karakter komunitas masyarakat Tionghoa sendiri. Ini bisa dilihat dari style yang ditampilkan karya-karya prosais, yang menceritakan bagaimana ikatan hubungan keluarga Tionghoa dilestarikan, serta melalui apa mereka berinteraksi dengan individu-individu yang berlainan etnis. Ekonomi keluarga inti juga seringkali diilustrasikan panjang lebar, terutama bila terjadi kebangkrutan dan kegagalan dalam aktivitas perdagangan mereka.
Suatu prosa panjang berjudul “Dengen Duwa Cent Jadi Kaya”, ditulis oleh sastrawan terkemuka Tionghoa, Thio Tjin Boen, terbit pada 1920_(1). Novelet ini menggambarkan dengan baik sejumlah kenyataan ekonomi yang dihadapi masyarakat Tionghoa. Yang menarik, apa yang ditunjukkan dalam karya ini tampaknya lebih ditujukan agar kelompok pribumi memahami kebiasaan-kebiasaan masyarakat Tionghoa secara wajar. Sebab, kalau tidak begitu, akan muncul kesalahpahaman dan prasangka-prasangka buruk yang merugikan mereka. Dalam dua jilid novelet ini, watak tokoh-tokoh cerita dideskripsikan secara gamblang. Apa yang dimaksudkan dari semua ini adalah, sekali lagi, menghindari kesan eksklusif dan tertutup dari pergaulan mereka dengan “dunia luar”. Kita akan lihat nanti, bagaimana “ketakutan” ini begitu kuat menghampiri narasi-narasi sastra Tionghoa, yang tak pernah luput dari pengaruh dan pergesekan faktor-faktor sejarah, sosial, dan budaya.