“Luka” Sejarah dan Pencarian Identitas
Masyarakat Tionghoa hampir tak pernah terbebas dari stigma dan upaya stereotyping yang acap menyesakkan dada. Yang paling terasa adalah tidak diakuinya bahasa sehari-hari mereka, yaitu Melayu-Tionghoa, sebagaimana lazimnya bahasa Melayu “formal” lainnya. Sengaja atau tidak, imej yang akhirnya terbangun, bahwa bahasa Tionghoa identik dengan bahasa Melayu rendah (laag Maleisch), Melayu pasar (passermaleisch), Melayu ceracau (brabbelmaleisch), yang kesemuanya merupakan olok-olok terhadap gaya berbahasa murahan. Meskipun nadanya jelas mengejek, sebutan-sebutan ini sungguh menyudutkan pemakai bahasa Melayu, yang kebanyakan Tionghoa, minimal secara psikologis.
Bagi masyarakat Melayu yang terbiasa hidup di tengah-tengah birokrasi kolonial dan kehidupan elite priyayi, penggunaan Melayu-rendah boleh dianggap sebuah “pembangkangan” kultural yang berpotensi untuk menggerogoti otoritas Melayu-tinggi (hoog Maleisch). Karena itu, dalam keadaan yang serba terjepit, mau tak mau karakter bahasa Melayu-rendah yang lebih egaliter dan menjunjung asas persamaan semakin terjebak dan kemudian larut dalam bahasa Melayu-tinggi “resmi”, sebagaimana diinstruksikan Charles Adriaan van Ophuijsen_(2), seorang ahli Bahasa Hindia-Belanda. Akibatnya, masyarakat Tionghoa tanpa disadari mulai mengalami “pengaburan” identitas, dan mereka pun terasing dari bahasa percakapan mereka sendiri. Komunitas Tionghoa tidak mempunyai saluran komunikasi yang efektif “ke luar”, kecuali lewat bahasa Melayu-tinggi yang kurang mereka pahami. Dalam keadaan demikian, mereka makin terisolasi dari pergaulan publik luas, kecuali dalam segelintir hubungan ekonomi saja.
Barangtentu, dalam jiwa masyarakat Tionghoa diam-diam merambah rasa tak percaya diri yang dilematis: antara mempertahankan karakter egalitarianisme dan elitisme sosial. Sikap egalitarian hanya mungkin dicapai, bila mereka berbicara dengan bahasa Melayu yang “liar” itu. Sementara, seperti disadari, kesempatan ini telah hilang seiring gencarnya politisasi bahasa, yang dipelopori para pejabat, residen, dan pemimpin-pemimpin bumiputera yang menyetujui gagasan van Ophuijsen.
Mengapa hal ini saya anggap “luka sejarah”? Karena, bagaimanapun, setelah harapan untuk berbaur dengan masyarakat luas menipis, minoritas Tionghoa tampaknya lebih memilih berdiam-diri dalam keterkungkungan isolasi dan eksklusivisme, sehingga berhamburan sikap-sikap sinis dan apatis terhadap keberadaan mereka. Tuduhan-tuduhan “neo-imperialisme”, seperti dikutip di atas, mencerminkan betapa pada gilirannya komunitas Tionghoa terpojok dan pada saat yang sama, kehilangan “kontak” dengan komunitas masyarakat lainnya. Malahan, seperti dituturkan Dede Oetomo_(3), politik bahasa yang digulirkan penguasa sejak masa kolonial hingga Orde Baru akhirnya memang meruntuhkan “garis kesederajatan” antar-berbagai etnik yang umumnya hidup di tanah Jawa. Politik bahasa kemudian melahirkan politik identitas. Pada era Orba, nasib masyarakat Tionghoa tak kunjung membaik, meski sebagian di antara mereka masuk ke dalam lingkaran kekuasaan rezim dan memperoleh privilese yang tak murah.
Pencarian identitas semacam itu jelas tak akan mudah ditemui pada karya-karya sastra awal Tionghoa yang menghirup kebebasan dan berada dalam iklim keterbukaan. Banyak novel dan prosa yang ditulis para jurnalis dan penulis Tionghoa, pada saat itu, begitu transparan melukiskan pergulatan nasionalisme. Seperti pernah saya tulis, salah satu penyebab mengapa sastra Tionghoa bergairah meletupkan nasionalisme, terlepas dari figur-figur terkenal semacam Kwee Tek Hoay dan Thio Tjin Boen, adalah tumbuhnya generasi muda yang berperan penting dalam menyebarluaskan ide dan impian tentang sebuah nation yang berdaulat. Generasi sastrawan ini memang pada akhirnya gagal untuk terus mempertahankan corak dan langgam sastra Tionghoa yang bertumpu pada bahasa lisan sehari-hari (colloquialism)_(4).
Masa-masa berikutnya menyaksikan fenomena makin merosotnya produktivitas karya-karya sastra yang diterbitkan, karena selain langkanya media massa yang peduli pada perkembangan sastra Tioghoa, juga dipicu oleh bangkitnya sastra Indonesia modern. Ini tentu tak lepas dari siasat jitu Balai Poestaka (Volkslectuur), dengan memasarkan karya-karya Melayu-tinggi yang “layak jual”_(5). Diresmikannya bahasa Indonesia secara politik dan makin mengaburnya pemaknaan bahasa Melayu sebagai lingua franca mempersempit ruang gerak masyarakat Tionghoa untuk mengartikulasikan kepentingannya secara leluasa. Dalam keadaan demikian, perlahan tapi pasti sastra Tionghoa mengalami masa-masa tersulit untuk berkembang karena persinggungannya yang erat dengan terbentuknya sastra Indonesia modern. Dalam upaya sementara mempertahankan eksistensinya, sastrawan Tionghoa banyak mengikuti berbagai ragam pengucapan sastrawan yang lahir sesudah Indonesia merdeka. Di sini, identitas ke-Tionghoa-an menjadi sesuatu yang relatif bisa dipertukarkan atau dipertaruhkan, justru melalui sastra, sebagai sarana untuk menjauhkan-diri dari kesan eksklusivisme dan prasangka kaum pribumi yang mengidentikkan mereka tak ubahnya penjajah.