Budaya-Tionghoa.Net | Sama seperti ajaran Buddha Gautama mengenai Empat Kesunyataan Mulia (Four Noble Truth), demikian juga Lau Zi mengakui adanya penderitaan yang membuat manusia hidup gelisah dan senantiasa merasa takut dan khawatir, yang disebabkan oleh adanya sifat ke-aku-an dalam setiap manusia. Manusia, apabila berbuat suatu jasa kemudian mendapatkan pujian akan membuat dirinya menjadi sombong dan dapat menyebabkannya melakukan perbuatan di luar kemampuannya, guna memperoleh pahala yang lebih besar lagi, tanpa menyadari bahwa suatu saat dia akan mendapat celaan atau caci maki yang dapat membuatnya berduka dan menderita. Maka seorang bijaksana yang mengenal Tao dan mengetahui hukum alam, senantiasa mengundurkan diri dan menolak segala penghargaan yang diberikan kepadanya, hingga dia senantiasa diindahkan. Hal ini memberikan suatu bukti, bahwa keserakahan dapat menimbulkan penderitaan.
|
Sebaliknya, apabila kehidupan dapat disesuaikan pada keadaan alam dan sifat Tao, walaupun dia masih bekerja untuk mencari nafkah, tetapi itu hanya sekedar untuk membiayai hidupnya dan mencurahkan segala miliknya untuk kebaikan sesamanya tanpa menonjolkan diri, maka hidupnya akan bahagia di alam manapun. Apapun hal-hal yang berkaitan dengan keduniawian apabila dijadikan kebanggaan, maka akan menimbulkan penderitaan. Kekayaan dan
kemuliaan sebagaimana hal-hal duniawi lainnya, adalah tidak kekal adanya, dan akan berubah sesuai situasi dan kondisi yang ada. Segala sifat perubahan akan menyebabkan penderitaan.
” Kekayaan dan kemuliaan, apabila dijadikan kebanggaan akan mendatangkan penderitaan.” (Tao Tee Cing IX, 5).
Seorang Taois sejati tidak pernah membanggakan pahalanya, dan senantiasa mengetahui kapan dia harus puas akan kehidupan duniawinya. Sikap berpuas
diri dan tidak melekat kepada hal-hal duniawi, tentunya akan menciptakan kondisi kesiapan bagi diri kita untuk menghadapi hal yang terburuk sekalipun.
” Maka seorang bijaksana setelah melakukan pahala bagi dunia lalu mengundurkan diri, inilah justru sesuai dengan jalan Tao.”(Tao Tee Cing IX, 6).
Kemelekatan
Pendapat mengenai bahwa untuk mencapai ketentraman batin haruslah menyingkirkan segala harta benda yang dimiliki, tidaklah benar menurut pendapat Lau Zi, karena yang penting bukan harta bendanya, tetapi adalah dirinya sendiri. Apabila kita sudah terikat dan melekat pada harta benda, walaupun disingkirkan tidaklah ada artinya, tetapi apabila keterikatan atau kemelakatan tersebut yang ada pada diri kita dapat disingkirkan, malah harta benda tersebut dapat dimanfaatkan bagi kepentingan sosial. Sifat Alam adalah tidak pernah melekat pada suatu kepemilikan. Pohon jeruk menghasilkan buah jeruk, tetapi tidak pernah melarang orang lain untuk menikmati buahnya.
Dengan demikian, akan tumbuh pohon-pohon jeruk yang lain. Apabila kita berkata kepada seseorang dengan mengatakan, “Ini mobiku.”, maka pada detik
itu juga kita sudah mengikatkan diri dengan mobil tersebut. Sehingga apabila terjadi goresan ataupun ditabrak yang mana mengakibatkan lecet pada mobil
tersebut, maka kita akan merasakan ketidak-tentraman.
“Bagaikan Alam yang menciptakan segala benda dan isinya, tetapi tidak menganggap sebagai miliknya.” (Tao Tee Cing II, 10).
Sifat berdana memang baik sekali, namun tidak banyak orang yang senang melakukannya. Orang demikian sering merasakan kehilangan atas apa yang telah didanakan, dimana kalaupun harus diikutkan berdana, maka hanya dilakukan kalau hal tersebut akan menjadikannya bangga dan terkenal. Ketidak-melekatan terhadap hal-hal duniawi, merupakan salah tujuan utama pencapaian latihan spiritual dalam Taoisme. Taoisme yang mengajarkan kembali ke asal berarti kembali tidak pernah memiliki apa-apa. Lau Zi mengungkapkannya dengan sifat Tao, yang karena kosong , tidak memiliki apa-apa, maka tidak kehilangan apapun.
” Bekerja tetapi tidak membanggakan kepandaiannya. Berjasa tetapi tidak mengakui pahalanya. Oleh karena tidak mempunyai apa-apa, maka dia tidak
pernah kehilangan apa-apa.” (Tao Tee Cing II, 11).
Sesepuh Ke-Enam Buddhisme Ch’an [Zen] di Tiongkok, Hui Neng (th. 638-713), menguraikan ketidakmelekatan yang dipadukannya dengan konsep kekosongan [sunyata] pada puisi dindingnya yang terkenal, “Pada hakekatnya tiada pohon pencerahan [bodhi]. Tiada juga cermin bersih berkemilauan dan tempat berdirinya. Karena dari awal semuanya kosong adanya. Bagaimana pula bisa ada debu yang melekat.”
Budaya-Tionghoa.Net |Mailing List Budaya Tionghua 4017
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net dan link aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.