Arsip Mailing List Budaya Tionghua No 2018
Budaya-Tionghoa.Net |Wawancara Hersri Setiawan (HS) dengan Dr. Go Gien Tjwan *) (Go), tanggal 26 Juli 1998, mengenai beberapa soal khususnya tentang disulutnya kembali masalah anti-Tionghwa di Indonesia, dan Jakarta khususnya, yang meledak sebagai Malapetaka Medio Mei 1998 yang lalu. Wawancara berlangsung di rumah Dr. Go.
|
.***Riwayat singkat Dr. Go Gien Tjwan Lahir di Malang tahun 1920. Pendidikan Fakultas Sastra Jakarta, sebelum perang. Selanjutnya dilanjutkan di Leiden. Kemudian mendapat gelar Doktor Ilmu Sosial Politik dari “Universit=E9 Libre” di Brussel. Tahun 1945 ikut mendirikan Angkatan Muda Tionghwa di Malang. Tahun 1946 anggota Partai Sosialis. Tahun 1947 anggota Dewan Pimpinan Partai. Tahun 1947 (sampai Agresi I) bertugas di Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta. Akhir 1947 dikirim ke Nederland, dengan mandat Kementerian Pemuda. Di Nederland menjadi Sekretaris Perhimpunan Indonesia (PI), dan membuka cabang Kantor Berita “Antara” di Amsterdam. Tahun 1953 diusir (persona non grata) dari Nederland. Tahun 1953-1965 direksi KB “Antara”. Tahun 1954 Sekretaris I Baperki; anggota Konstituante; Lektor Kepala PTIP di Malang. Sesudah bebas dari tahanan (1967) berangkat ke Amsterdam, sebagai “senior lecturer” mengajar Sejarah Asia Modern di Universitas Amsterdam.
Begini Pak Go. Dengan perkembangan situasi politik di dalam negeri, di Indonesia, ada beberapa hal penting yang saya pikir perlu ditanggapi. Misalnya tentang apa yang disebut “reformasi”, yang tampaknya mempunyai dampak luas. Jadi pertanyaan saya pertama ialah sehubungan dengan pernyataan Ciputra belum lama ini, yang menyatakan bahwa Presiden Habibie sedang merencanakan untuk mengeluarkan satu undang undang pelarangan diskriminasi rasial. Tanggapan Pak Go?
Go: Tentu itu baik. Bahwa Presiden Indonesia menyadari adanya sentimen anti-Tionghwa, yang dalam bahasa asing disebut anti- sinicisme – sejalan dengan di dunia Barat anti-semitisme (anti- Yahudi). Dan selanjutnya mau mengeluarkan undang undang tentang itu. Artinya secara eksplisit dirumuskan dalam suatu undang undang. Padahal yang dinamakan SARA sebetulnya sudah merupakan masalah terlarang. Meskipun UUD 45 yang sekarang berlaku, kalau tidak salah Pasal 27, sudah menyatakan larangannya terhadap diskriminasi, karena semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban sama. Tapi tidak ada jeleknya jika undang undang semacam itu dikeluarkan secara eksplisit, sebagai tambahan untuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Perlu saya tekankan, menurut hukum pidana perbuatan mencuri, membunuh, memperkosa sudah ada aturan perundang undangannya. Toh setiap waktu masih terjadi saja perbuatan- perbuatan terlarang itu. Sekarang ada undang-undang atau peraturan, atau entah apa bentuknya nanti saya tidak tahu, yang melarang diskriminasi ras. Dalam undang undang itu tentu juga dijelaskan, apa sanksinya, hukumannya begini dan begitu. Tapi di mana-mana, juga di negeri negeri yang sudah maju serta demokratis seperti di Holland, Amerika … hal hal yang dilarang hukum pidana itu toh terjadi. Jadi, tanggapan saya, adanya undang-undang semacam itu baik saja. Namun adakah harapan baik akan hapusnya rasisme dalam masyarakat kita? Sebab sadarilah. Apa yang disebut rasisme itu tidak terjadi di dalam suatu kekosongan atau vakum. Tapi riel ada di dalam masyarakat. Dalam hal ini fenomena anti-Tionghwa itu. Terjadi di mana? Dalam masyarakat Indonesia yang mempunyai ciri-ciri sendiri, sejarah sendiri, kebudayaan sendiri, pokoknya tidak dalam kekosongan. Tapi dalam masyarakat Indonesia. Maka itu teliti lah, bagaimana hal itu bisa terjadi di dalam masyarakat Indonesia? Dalam masyarakat lain, misalnya anti-semitisme atau anti- Yahudi, di Belanda terjadi juga. Walau di Belanda sini biasanya dalam ruangan tertutup sambil minum bir atau anggur. Tapi yang bagus masyarakatnya dan pemerintahnya tidak setuju bila anti-semitisme atau kebencian terhadap orang asing nampak kongkret dalam masyarakat. Hanya beberapa kelompok kecil yang saling bertengkar dalam partai partai gurem masing masing yang terang-terangan menganjurkan teori rasisme secara terbuka. Tapi ini dilarang oleh hukum Belanda, dan masyarakat demokrat mengikis habis partai rasis. Dalam pemilihan umum tahun ini partai rasis Centrum Democraten terdepak keluar dari parlemen.
Seperti “pogrom”, penyerangan massal terhadap golongan etnis Yahudi. Itu kata Rusia, artinya “penghancuran”, “pemusnahan”. Terjadi berabad abad di Rusia, Eropa-Timur dan Sentral, sewaktu kawasan ini masyarakatnya masih feodal. Dalam krisis ekonomi, Tsar atau penguasa lain mengalihkan kemarahan tani miskin dan buruh kepada golongan minoritas Yahudi, yang pencarian nya berdagang. Ciri khas progrom ialah, bahwa gerakan massal yang rasis dan biadab itu tidak timbul spontan, melainkan selalu secara diam diam oleh penguasa direncanakan, dan dilancarkan dengan cara penyergapan pendadakan. Demo unjuk rasa mahasiswa Jakarta bulan Mei yang didukung rakyat itu, mendadak sontak oleh unsur unsur penguasa dapat dibelokkan menjadi pogrom anti-Tionghwa, sebab adanya krisis ekonomi dan adanya anti-sinicisme yang laten. Malapetaka bulan Mei 1998 bukan tindakan spontan massa. Omong kosong itu! Tapi mengapa itu bisa terjadi? Ini yang mesti dianalisa. Yang satu bilang: itu gampang. Kita ganti nama yang kedengarannya Indonesia, beres soalnya. Buktinya? Tiga puluh dua tahun ini, mana buktinya? Terus menerus sejak Orba berdiri, masih selalu terjadi. Dan lho koq aneh! Orang keturunan Tionghwa, Ciputra, yang dengan sadar sudah menanggalkan identitas kebudayaan nya dengan membuang nama pemberian ayah nya, sekarang minta jaminan hukum agar tidak didiskriminasi!
HS.: Kalau begitu, apa yang efektif untuk menangkal?
Go: Untuk menangkal itu harus mengubah masyarakat. Tadi saya bilang, ini terjadi dalam masyarakat Indonesia. Jadi harus mengubah masyarakat itu. Caranya bagaimana? Struktur mesti diubah demikian rupa, sehingga tak mungkin timbul rasisme, atau sedikitnya dipersulit. Apa penyebab utama itu? Dalil saya, pertama, gejala rasisme ini terutama terjadi di kota. Di desa-desa kecil, dua atau tiga warung Tionghwa tidak menjadi soal bagi penduduk desa. Kalau toh terjadi perampokan, hal itu dilakukan oleh unsur-unsur luar desa. Fenomena rasisme, anti-sinicisme ini, adalah khas di kota. Karena di kota itu terasa dan nampak jelas, kapitalisme menimbulkan persaingan. Saya teliti sejarah Indonesia. Kira-kira baru dalam desenium kedua abad kita, setelah bangkitnya Serikat Dagang Islam, kita lihat sering terjadi gerakan anti-Tionghoa. Kemudian sesudah 1917 muncul di Kudus. Di Jawa Tengah yang digerakkan oleh persaingan di kalangan pengusaha batik. Di Kudus rokok kretek yang disaingi pengusaha Tionghoa. Sejak itu terus menerus gerakan anti- Tionghoa timbul. Tidak secara spontan, tapi dianjurkan oleh pesaing pedagang Tionghoa. Gerakan gerakan anti-Tionghoa yang dimulai dengan Serikat Islam itu ada penganjurnya. Namun semuanya itu masih dalam keadaan proses permulaan. Belum sampai menjadi gerakan anti- Tionghoa yang hebat. Ini baru sesudah RI berdaulat dan klas menengah mulai berkembang pesat. Ketika itu mulai ada gejala- gejala jelas yang dinamakan diskriminasi ras. Pengusaha “pri” berkembang maju tapi terbentur pada pengusaha “non-pri” yang sudah lebih dulu menjadi pengusaha menengah. Terjadilah persaingan kapitalis berdasarkan golongan etnis yang terjadi di kota. Ini mesti dikurangi.
HS.: Caranya mengurangi?
Go: Bung Karno menunjukkan jalan. Perkembangan ekonomi tidak boleh separti sekarang di jaman globalisasi ini, bebas persaingan dalam pasaran. Bung Karno bilang: Kita bangun negara ini atas dasar ekonomi terpimpin, yang berdasarkan Pasal 33 UUD 45 kita. Malahan harus sosialisme ala Indonesia, kata Bung Karno. Mestinya kira-kira ke jurusan itu. Lihat! Di alam kemerdekaan jaman Bung Karno, menurut pendapat saya, hanya satu kali terjadi gerakan anti-sinicisme yang betul-betul besar. Yaitu peristiwa 10 mei ’63 di Jawa Barat. Itu yang paling besar. Dan kita tahu segera reaksi Bung Karno. Bung Karno, dengan nada suara sangat marah, bicara di depan Kongres WANI – Wanita Nasional Indonesia dari Partindo.
HS.: Apa isi marahnya?
Go: Ini, kata Bung Karno, pengrusakan pengrusakan ini, ditujukan pada saya. Kalian menyalahgunakan adanya rasisme, perasaan perasaan anti-Tionghoa. Kalian ditunggangi!
HS.: Jadi kalau begitu bermotif politik, bukan semata-mata ekonomi?
Go: Iya. Ada dasar ekonomi juga. Kesenjangan sosial, kongkretnya dipakai. Itu yang terjadi tahun 63 ketika Bung Karno bicara tentang Amanat Penderitaan Rakyat. Itu pun belum sehebat seperti yang terjadi bulan Mei yang lalu. Tapi lihat! Setelah Bung Karno jatuh, 32 tahun Orba ini, berkali-kali terjadi hal ini. Semakin bebas tak mengenal batas, setelah apa yang dinamakan globalisasi, yang artinya masyarakat boleh bebas bergerak dalam pasaran bebas tak terbatas. Selama tiga puluh tahun belakangan ini perbedaan kaya miskin luar biasa hebat. Justru pada saat itu memuncak di mana-mana. Kalau tidak salah dua tahun yang lalu, dimulai di Situbondo. Kemudian merambat ke mana-mana dan seterusnya. Jadi, saya ulangi, kendalikan perkembangan masyarakat kapitalis ini supaya berkembang secara wajar. Di Belanda sini tidak mungkin ada pencaplokan perusahaan oleh putera Ratu. Karena kalau terbukti ada “vijandige overname”, pengambil-alihan yang tak wajar, hakim akan membatalkannya.
HS.: Kalau masyarakat kapitalis dipimpin, apakah itu bisa disebut masyarakat kapitalis? Apa bisa kapitalis terpimpin?
Go: Bisa. Perkembangan di Eropa Barat dibilang bebas. Itu tidak betul. Kita lihat sejarah Eropa Barat sendiri. Tidak sedikit pemerintah mempengaruhi perkembangannya. Tidak betul kapitalisme Barat berkembang secara bebas sama sekali. Pemerintah selalu campur tangan. Walau tidak seperti di negeri- negeri sosialisme yang sama sekali di bawah “komando ekonomi.” Juga di Amerika, liberalisme murni tidak ada. Susahnya, perkembangan kapitalisme di Indonesia tidak sama dengan di Eropa. Kita lihat di Eropa sedikit banyak memang berkembang dari perkembangannya masyarakat sendiri. Tapi di Asia kapitalisme modern muncul baru akhir abad XIX. Perkembangannya juga tidak spontan seperti di Eropa Barat dari klas burjuis di dalam masyarakat. Di Asia perkembangannya dengan dorongan birokrasi. Yaitu apa yang di jaman Bung Karno dinamakan kabir, kapitalis birokrat. Contoh terbaik di Tiongkok sejak jaman Kaisar sampai dengan jatuhnya Guomindang Chiang Kai Shek. Rumusannya kira-kira begini. Boleh kaum swasta berusaha mendirikan perusahaan, tapi mesti dipimpin oleh orang yang memegang kekuasaan politik, yaitu birokrat. Di jaman Kaisar itu birokrat ini mandarin, yang sebenarnya cuma tahu tentang Konfusianisme tapi tidak paham tentang a-b-c nya usaha. Di jaman Guomindang pentolan pentolan partai itu. Jadi perkembangannya tidak sehat. Di Indonesia, sejak Bung Karno, pelan-pelan kita melihat itu menjadi keterlaluan dan hebat. Baru setelah jatuhnya Bung Karno jelas sama sekali. Seorang pengusaha tidak bisa berusaha tanpa dukungan yang berkuasa, istilahnya “backing”, yaitu yang memegang kekuasaan pemerintahan. Contoh yang bagus Liem Sioe Liong yang dikenal ganti nama Salim Sudono. Banknya itu, Bank BCA, sudah ada sejak jaman Sukarno. Kemudian menjadi besar dan bukan hanya perbankan usahanya. Ini karena bantuan dan kerja sama dengan kekuasaan. Kita tahu, misalnya dua anak Suharto mempunyai saham juga di BCA. Yang satu 20% dan yang lain 30%. Saya tidak tahu persisnya. Tapi yang perlu dilihat di sini, pembauran antara kapitalis swasta dengan pemegang kekuasaan politik. Ini yang disebut birokrasi kapitalisme. Ini tidak wajar. Mengakibatkan apa yang sekarang disebut KKN itu.
HS.: Apa sebab ditempuh cara demikian?
Go: Jangan tanya apa sebab. Karena mumpung berkuasa. Ini tidak pernah diberantas. Sebab yang berkuasa berkepentingan. Yang lebih dahulu menjadi pengusaha modern kapitalis ini memang orang Tionghwa. Tapi pengusaha “asli”, seperti Dasaad atau rahman Tamin, berkembang terus, dengan dibantu pemerintah, segera sesudah kedaulatan tercapai tahun ’50. Di bawah pimpinan Wakil Presiden Perdana Menteri Hatta, diberlakukan apa yang dinamakan “sistem benteng”. Yaitu menganakmaskan pengusaha pribumi dengan jalan lisensi-lisensi import. Ini salah satu contoh kemungkinan pemerintah meregularisasi perekonomian. Sedemikian rupa sehingga pegawai negeri, kadang- kadang malah menteri, bisa mendapat untung juga. Inilah yang sekarang dinamakan “kolusi”. Ya, “ngaji pumpung”, bukan?
HS.: Kembali ke “sistem benteng”. Apa maksud pemerintah untuk membangun burjuasi nasional?
Go.: Ideologi atau faham ekonomi Wakil Presiden Hatta itu lain dari Sukarno. Orang bilang Bung Karno tidak ngerti ekonomi. Tapi kita tahu Bung Karno selagi muda banyak mempelajari Marxisme. Hatta lain. Melihat revolusi Indonesia ia membandingkannya dengan revolusi Perancis. Indonesia sulit berkembang makmur jika tidak ada klas burjuasi yang kuat. Karena itu musti ditumbuhkan. Akibatnya diskriminasi ras. Kalau Go Gien Tjwan minta ijin, tidak gampang. Baru ia akan bisa dapat, dengan jalan minta anggota partai “ini” menjadi pemegang saham perusahaan saya. Sama-sama enak, kan? Saya sebagai pengusaha enak, si birokrat juga ongkang-ongkang enak!
HS.: Siapa memberi nama “sistem benteng”?
Go: Memang nama resmi itu. Yaitu yang menyebabkan kemudian diadakannya perbedaan antara warga negara baru, WNI keturunan, dan warganegara “asli”.
HS.: Kenapa disebut “benteng”? Maksudnya membentengi pribumi dari yang nonpri, begitu?
Go: Ya, tapi juga terhadap yang asing. Jadi tidak hanya terhadap Belanda, melainkan juga terhadap yang dinamakan warganegara asing, termasuk warganegara Taiwan. Tapi anehnya tidak terhadap yang bernama Joop Ave, Alatas, atau Bawazier.