HS.: Kita kembali ke jaman Sukarno. Bagaimana kebijakan “Baperki” dulu terhadap politik ekonomi “sistem benteng” waktu permulaan pemerintah Sukarno, juga terhadap masalah pembauran atau asimilasi dari segi sosial politik?
Go: Reaksi masyarakat keturunan atas adanya diskriminasi ras tidak hanya nampak pada soal ekonomi, tentu saja di sini yang paling menusuk, tapi juga pada sektor-sektor lain penghidupan masyarakat. Misalnya masuk sekolah tinggi. Ada jatah sekian prosen “asli”, dan sekian prosen “tidak asli”. Itu antara lain alasan “Baperki” didirikan. Untuk menentang adanya macam-macam peraturan yang diskriminatif. Juga di bidang kebudayaan dan pendidikan. Misalnya, piala hadiah tahunan bintang pelajar SMA di Jakarta suatu saat dimenangkan pelajar SMA Pintu Air. Karena dia kebetulan seorang anak keturunan Tionghwa, dia tidak diterima masuk Fakultas Kedokteran UI Jakarta. Contoh di bidang ekonomi luar biasa banyaknya, terutama di bidang impor barang dari luar negeri. Karena yang mendapat ijin importir “asli”, maka terpaksa pengusaha “tidak asli” menyuap seorang pegawai pemerintah, atau mengangkat seorang anggota parlemen menjadi direktur tanpa harus bekerja. Importir semacam ini disebut “importir aktentas”. Maka lahir lah sistem yang disebut “Ali Baba”.
HS.: Itu akibat atau sebab?
Go: Akibat. Akibat dari struktur politik dan sosial pemerintahan. Karena itu kalau mau memberantas akibat-akibat demikian, harus merubah struktur itu.
HS.: Caranya?
Go: Bikin peraturan-peraturan yang tepat, dan ambil tindakan tegas jika ada hal yang keterlaluan. Misalnya, mengapa baru sekarang koruptor diperiksa? Seperti Bob Hasan misalnya. Monopoli cengkih yang diberikan ke Tommy. Kok baru sekarang diambil tindakan. Atas perintah IMF lagi! Ya, karena Indonesia sekarang kan neo-koloni. Tahun ’92 Pronk ditolak. Tapi sebentar lagi tentu diundang lagi. Tapi untuk apa? Apakah 175 milyun yang diminta Habibie itu untuk rakyat yang paling membutuhkan? Tidak! Tapi untuk membangun kembali perusahaan- perusahaan yang bangkrut dan melunasi hutang mereka dalam mata uang dolar. Untuk satu golongan masyarakat tertentu yang enak, supaya mereka hidup lagi, tapi tidak untuk mereka yang kini makan bekicot dll. Maka saya tidak optimis. Sekarang katanya diadakan reformasi. Apakah struktur masyarakat yang direformasi? Tidak! Semuanya boleh. Asalkan justru dasar masyarakat dan struktur politik tidak berubah. Misalnya, dwifungsi. Adakah orang yang menuntut dwifungsi dihapuskan? Di Eropa sini, angkatan perang itu alat eksekutif. Mesti menjalankan apa yang diputuskan legislatif, pembuat undang undang. Tapi di Indonesia? Saya membaca, Gus Dur malah membayangkan, nanti ABRI akan tetap diwakili di parlemen gaya post-Suharto- Habibie. Artinya, ikut membuat undang undang. Itu kan bukan reformasi? Orang orangnya juga sama. Yang mengangkat Habibie juga Presiden Suharto. Maka saya tidak begitu optimis dengan berita akan dikeluarkannya undang undang anti-diskriminasi, selama masyarakatnya masih tetap begini. Undang undang itu hanya bisa efektif, kalau masyarakatnya demokratis. Artinya negara mempunyai institusi yang membuat undang undang (legislatif), institusi yang mewujudkan undang undang (eksekutif), dan institusi yang secara bebas menghakimi apakah undang undang dilaksanakan dengan benar (yudikatif). Itu kapan? Mahasiswa mesti terus berjuang. Bersama dengan rakyat.