HS.: Apa yang prioritas pertama perlu di-restrukturisasi? Politik dulu, ekonomi atau lainnya?
Go: Tidak usah dikatakan ini atau itu dulu. Simultan! Masalah dwifungsi, undang undang parpol, cepat rubah. Ekonomi, okay monopoli sudah dihapuskan, katanya? Tapi kapitalisme dan pasaran bebas sebebas bebasnya, tidak! Justru ini yang dunia luar kehendaki. Sistem ekonomi kapitalis jangan disentuh-sentuh. Supaya sebebas-bebasnya kapital masuk, globalisasi, hingga Indonesia bisa tetap menjadi neokoloni lagi selama- lamanya. Bung Karno pasti menangis di dalam kuburnya.
HS.: Untuk membebaskan dari posisi demikian, tindakan apa perlu diambil?
Go: Merubah personalia pimpinan yang mesti menjalankan program itu. Dan adakah blueprint reformasi? Tidak ada. Itu sebabnya. Saya ingat ada suatu kejadian sejarah modern di Asia. Yaitu waktu Tiongkok masih dikuasai oleh dinasti kaisar terakhir Manchu, akhir abad ke-19. Yang memegang kekuasaan bukan kaisar tapi ibu suri, Zhi Xi. Melihat Jepang maju, akhir abad ke-19 di Tiongkok ada sarjana-sarjana – artinya orang- orang yang menguasai Konfusianisme, semacam ulama Kuran lah – yang dinamakan mandarin. Seorang dari mereka itu, Kang Yuwei, mengagumi kemajuan Jepang, dan ia berhasil mempengaruhi kaisar. Dekrit dekrit modern ditanda tanganinya. Misalnya dekrit yang menghapuskan sistem yang sudah 20 abad berlaku, yaitu ujian negara. Orang kalau mau jadi pegawai negeri harus diuji pengetahuannya tentang Konfusius. Semua mau diubah. Sekolah mesti modern. Belajar ilmu bumi dan ilmu-ilmu lain. Tapi hanya seratus hari berjalan. Waktu Ibusuri melihat segala “kegila gilaan” itu, dan ia meniadakan reformasi. Kaisar ditahan rumah. Pengikut-pengikutnya dikejar dan ditahan, ada juga yang dipenggal leher mereka. Itu yang dinamakan Reformasi Seratus Hari yang berakhir dengan kontra-reformasi. Di Indonesia, adakah jaminan tidak akan ada kontra-reformasi? Jaminan reformasi berjalan lancar? Saya baca lagi keterangan Gus Dur, “saya khawatir nanti bisa terjadi khaos lagi”. Apakah ramalan Gus Dur ini akan benar, saya tidak tahu. Semoga tidak.
HS.: Kembali tentang “Baperki”. Bagaimana sikap “Baperki” dulu?
Go: Situasinya dulu itu begini. Di Jakarta ada PDTI, Partai Demokrat Tionghwa Indonesia. Di Banjarmasin, Padang, Ujung Pandang, Semarang (cabang PDTI), dan mungkin di tempat lain lagi ada juga organisasi serupa, yang eksklusif didirikan oleh dan untuk peranakan Tionghwa yang warganegara Indonesia. Tujuannya pendek: untuk membela kepentingan peranakan Tionghwa, minoritas yang merasa – dan memang benar – didiskriminasi oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam praktik ini berarti menentang diskriminasi ras. Pada tanggal 12 dan 13 Maret 1954 mereka berkumpul di Jakarta, dan sepakat untuk membentuk satu badan politik yang menentang diskriminasi berdasarkan keturunan seseorang.