HS.: Kalau begitu satu partai politik?
Go: Bukan. Justru bukan. Sebab pemrakarsa, terutama unsur PDTI sadar, bahwa tidak mungkin ada satu partai politik, yang ideologinya “membela kepentingan golongan etnis Tionghwa” di dalam alam Indonesia Merdeka yang berlambang Bhineka Tunggal Ika. Yang mungkin ialah mendirikan ormas yang tidak mempunyai ideologi tertentu, sebab anggota anggotanya ada yang Kristen, Katolik, penganut Sam Kau Hwee Tridarma, Islam, dan bahkan mereka yang sudah berpartai politik.
HS.: Baiklah. Jadi badan, bukan partai. Bagaimana latar belakang nama “Baperki” itu sendiri?
Go: Jawaban saya panjang. Tapi riwayatnya begini. Di antara pengunjung kongres tanggal 12-13 Maret 54 itu ada dua orang yang tidak mewakili organisasi apa pun, yaitu Siauw Giok Tjhan dan saya Go Gien Tjwan. Sejak mula kami berdua dikenal republiken. Tahun 1946 kami berdua, dan beberapa peranakan Tionghwa lain, adalah anggota Partai Sosialis Syahrir – Amir Syarifuddin. Siauw diangkat anggota KNIP terus menerus, sampai RIS berdiri, dan otomatis dia pun menjadi anggota parlemen. Dalam kabinet Amir, semasa revolusi bersenjata, Siauw menjadi menteri dengan tugas mengerahkan funds and forces orang Tionghwa di dalam wilayah RI, demi suksesnya revolusi. Saya, setelah giat di dalam Angkatan Muda Tionghwa di malang, bersama berbagai macam organisasi pemuda seperti Pesindo, BPRI (Bung Tomo) dll., pada tahun 47 ditugasi Partai Sosialis bekerja di Kementerian Luar Negeri, yang ketika itu di bawah Sutan Syahrir. Sesudah Agresi Militer I oleh Kemlu dan Kementerian Pemuda (Supeno, Moh. Said) saya diberi tugas ke Negeri Belanda. Bersama Sunito, Dubes RI di Belanda dengan mandat Presiden Sukarno, saya di persona non grata dari negeri itu. Kembali ke Kongres tanggal 12-13 Maret 1954. Ketua Kongres Sdr. Thio Thiam Tjong, yaitu ketua PDTI saat itu, yang di kalangan masyarakat Tionghwa gengsinya tinggi, walaupun sepulang dari kamp tahanan Jepang diangkat menjadi penasihat Van Mook. Sebelum diinternir dia menghadapi Jepang dengan gagah, dan sebagai penasihat Van Mook dia pun bukan penjilat. Ia membela kepentingan orang Tionghwa, namun tetap tanpa memusuhi Republik Indonesia. Siauw Giok Tjhan, yang hakikatnya memimpin kongres, berkata al.: “Kita menentang diskriminasi ras. Itu baik. Tapi apa sebabnya diskriminasi bisa terjadi? Bagaimana bisa warganegara yang satu mendiskriminasi warganegara yang lain? Itu terjadi karena pemimpin pemimpin kita dan pemimpin partai politik tidak atau kurang menyadari, bahwa “warganegara keturunan” itu bagian dari nasion. Kita menentang diskriminasi terhadap warganegara keturunan Tionghwa, sambil mengingatkan semua pemimpin politik dari semua partai, agar tidak hanya rebutan kursi di parlemen untuk bisa mengantongi lisensi impor dsb. Kita yang sekarang merdeka dan berdaulat harus membangun bangsa. Kita tidak boleh melupakan nation building. Kita yang hari ini berkumpul di sini harus juga ikut membangun nasion Indonesia, bersama sama dengan warganegara Indonesia keturunan Jawa, Sunda, Minang, dsb. “Kalau kita sekarang menyadari, bahwa diskriminasi sesama warganegara disebabkan faham warganegara Indonesia, anggota nation state Indonesia, tidak atau kurang dimengerti, maka marilah kita mendirikan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Bukan badan khusus untuk keturunan Tionghwa, bukan Baperwatt, melainkan Baperki – Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia.” Maka pada waktu kita memperkenalkan diri pada Presiden Sukarno, saya tidak lupa sambutan Bung Karno di istana. Dia bilang: “Terimakasih! Kalian ingat kembali perlunya nation building. Sudah lupa memang!” Lantas dia bilang lagi, itu khas Bung Karno: “Memang. Di dalam negara kita tidak boleh adanya mayorokrasi, tapi tidak boleh juga minorokrasi …” Itu memang yang dikehendaki “Baperki”. “Baperki” didirikan 13 Maret ’54. Sayangnya yang mendirikan memang semuanya warga negara keturunan Tionghwa. Sehingga tidak ada pribumi yang menyaksikan perdebatan kongres yang mengubah nama “Baperwat” menjadi “Baperki”, yang segera perlu harus dibuktikan. Tapi baru bisa dibuktikan pada hari berikutnya, yaitu ketika “Baperki” cabang Jakarta didirikan, dengan mengangkat sebagai ketua Sudaryo Cokrosisworo. Tapi sudah terlambat. Sudah terlanjur mendapat cap “Tionghwa”. Kemudian memang tidak semua cabang mempunyai wakil “asli”. Di Solo ada, Projohartono; Tanjungkarang, dokter Darwis (Murba); Minahasa, dokter Richter, orang Indo. Tapi memang susah kalau sudah mendapat stigma perkumpulan orang Tionghwa. Apalagi waktu jaman Bung Karno bersahabat dengan RRT, Baperki dicap Komunis juga. Padahal Baperki hanya loyal menjalankan politik resmi Nasakom. Susunan pengurus cabang tidak bisa disahkan, kalau tidak menunjukkan adanya tiga unsur: nas-a-kom. Itu sebabnya dalam pengurus pusat bukan saja anggota Partindo Oei Tjoe Tat, tapi juga Nyak Diwan dari Perti.