HS.: Apa yang pertama-tama diperjuangkan “Baperki”? Perjuangan politik atau apa?
Go: Perjuangan politik. Sebab warganegara yang baik harus sadar politik, kalau mau ikut membangun negeri dan memberantas rasisme. Sejak tahun 60-an, dengan menghebatnya Manipol Usdek diskriminasi ras dalam peraturan peraturan dan penghidupan sosial banyak berkurang. Sehingga pekerjaan politik berkurang juga, dan tenaga dapat dicurahkan pada pembangunan sekolah, dari tingkat SD sampai universitas. Tahun 1965 Universitas Baperki “Ureka” menjadi universitas swasta terbesar di Indonesia. Tapi Baperki bukan parpol. Kepada para anggota kami beri kebebasan memilih dan memasuki parpol yang cocok dengan diri masing masing. Boleh PSI, PNI, atau parpol apa saja lainnya. Tapi yang sering terjadi sebaliknya. PNI atau parpol parpol itu yang tidak membolehkan orang mereka menjadi anggota Baperki. Yang populer adalah parpol parpol yang mendukung cita cita Baperki, yaitu partai partai kiri Partindo dan PKI. Karena itu Baperki dicap kiri dan merah oleh parpol parpol yang tidak atau kurang setuju dengan Manipol Usdek dan Nasakom nya Bung Karno, terutama PSI, partai Katolik dan ABRI.
HS.: Kenapa tidak menempuh organisasi politik? HS.: Sejak lahirnya cap kiri itu didapat?
Go: Tidak. Tapi sejak Bung Karno memanipolkan dan menasakomkan masyarakat, dan dalam politik luar negeri diperjuangkannya poros Jakarta-Hanoi-Pnom Penh-Beijing-Pyongyang. Dampak perang dingin terhadap penghidupan sosial merupakan faktor yang sangat penting.
HS.: Yap Thiam Hien kan tidak merah? Dan cukup tokoh. Juga Oei Tjoe Tat? Kenapa tidak ditonjolkan?
Go: Tentu kita tonjolkan. Malahan nama Thio Thiam Tjong, Wakil Ketua Baperki, yang tadi sudah saya sebut, lebih penting dari Oei Tjoe Tat atau Yap Thiam Hien. Ia sesepuh Baperki, sebelum perang tokoh top elite di Semarang, anggota Chung Hua Hui yang bermusuhan dengan Partai Tionghwa Indonesia. Dia orang yang konservatif, tapi demokrat sejati, pernah menjadi penasihat Van Mook. Tentu saja dia bukan “orang merah”. Toh sebagai akibat peristiwa G30S dia harus meringkuk di tahanan beberapa waktu. Oei Tjoe Tat tokoh Pesindo. Yap Thiam Hien ini soal tersendiri. Pada suatu saat demokrat prinsipiil ini sulit menerima Demokrasi Terpimpin Bung Karno. Apalagi waktu Baperki menyetujui SOB untuk seluruh Indonesia. Dia lalu non-aktif, tapi tetap anggota Baperki. Waktu tahun 65/66 tokoh tokoh Baperki, Siauw Giok Tjhan, Thio Thiam Tjong dan saya ditahan, dia datang ke Kodam dan bertanya: “Saya anggota Baperki. Mengapa saya tidak ditahan?”
HS.: Waktu pemilihan umum “Baperki” ikut mencalonkan?
Go: Tentu. Kita kan ormas yang berpolitik. Maju dengan tanda gambar sendiri. Bunga teratai.
HS.: Di jaman Sukarno bukan parpol boleh ikut dalam pemilihan umum?
Go: Ya. malahan perorangan pun bisa. Misalnya nyonya dokter medikus, doktorandus ekonomi, hoofdakte guru pendidikan, bernama Thung Sin Nio ikut mencalonkan dengan tanda gambar sendiri. Undang-undang pemilihan umum waktu itu mempunyai ketentuan, bahwa golongan minoritas harus diwakili. Ini warisan jaman Volksraad. Minoritas terbesar ialah keturunan Tionghwa. Mereka dijamin mendapat 9 kursi, Arab 6, Indo kalau tidak salah 3 atau sebaliknya, saya lupa. Jaminan perwakilan minoritas memang dimaksudkan untuk minoritas. Tidak untuk mewakili aliran ideologi ini itu. Tapi justru karena itu lah maka lalu menjadi rebutan parpol-parpol untuk bisa mengisinya. Misalnya partai A, sudah punya calon dari keturunan Tionghwa dan sudah gol. Sekarang melihat ada kemungkinan, kalau yang 9 itu tidak terisi dalam pemilihan. Memang tidak terisi. Maka oleh Baperki dapat diisi liwat “penunjukan Pemerintah”. Sebab pemilu waktu itu memang hebat. Kies quoti=EBnt begitu besar, sehingga untuk parlemen hanya ada satu: Siauw Giok Tjhan. Maka jadi rebutan. Sisa 8 mesti diangkat oleh pemerintah. Dalam sidang kabinet, parpol ini itu masing-masing mengusulkan calon-calon nya. Saya jijik melihat perebutan itu. Misalnya di Bandung, ada seorang peranakan tionghwa Beragama Kristen, anggota Baperki. Karena tidak dicalonkan, maka dia membeli partai Islam NU sekedar untuk bisa dicalonkan.
HS.: Pemilihan umum itu juga motivasi bagi didirikannya “Baperki”?
Go: Tidak. Motivasinya ada banyak. Satu perlu saya sebut. Waktu Baperki mau didirikan, dikeluarkan RUU Kewarganegaraan Indonesia. RUU ini penting. Setelah perjuangan politik Baperki yang sengit, RUU disahkan menjadi UU. Sedikit berhasil. Yaitu yang kemudian menelurkan Perjanjian Zhou En-lai dan Sunaryo. Bertahun-tahun baru bisa disahkan. Sebab sesudah itu pun Baperki masih harus berjuang lagi. Ini berkisar pada sistem, aturan mana yang dianut. Apakah secara aktif atau pasif. Baperki menghendaki pasif. Ini sesuai dengan UU Kewarganegaraan Indonesia yang pertama, 10 April ’46. Lahir di Indonesia ya, warga negara Indonesia. Seperti di Perancis juga begitu. Tapi ada faktor lain lagi yang menyebabkan perjanjian di atas menjadi UU, setelah perdebatan bertahun tahun. Sentimen anti-Tionghwa kuat sekali. Tidak mudah bagi peranakan Tionghwa untuk menjadi warganegara RI. Bahkan juga bagi mereka yang sudah menjadi anggota parlemen, atau pemain bulu tangkis yang dengan gemilang mewakili Indonesia di gelanggang internasional.
HS.: Jadi yang dikehendaki Baperki asas “ius soli”, bukan “ius sanguinis”?
Go: Ya. Ius Soli.
HS.: Apa tentang adanya UU itu tidak relevan sekarang diangkat kembali? Dalam situasi kemelut sekarang di Indonesia?
Go: UU itu sudah ada. Tapi orang seperti tidak mengerti memang. Ini menunjukkan bahwa usaha nation building tidak ada. Dilupakan atau sudah sama sekali tidak digubris. Orang asing, tidak becus berbahasa Indonesia, dan tidak memenuhi syarat lima tahun berturut turut berdiam di Indonesia, asal membayar sekian banyak … jadi lah dia warga negara Indonesia dan cukong pula