HS.: Kalau boleh saya simpulkan, jadi untuk mengatasi kemelut masalah ras di Indonesia sekarang, perlu membangkitkan kembali masalah urgensinya pembangunan bangsa?
Go: Juist! Itu sebabnya saya girang. Saya membaca berita NU mau mendirikan parpol yang namanya bagus: Partai Kebangkitan Bangsa, yang juga terbuka bagi yang bukan muslim. Saya ini tetap, kalau orang Jawa bilang, “ndh=E8r=E8k Bung Karno”. Tidak bisa tidak saya setia pada cita-citanya. Permulaan ’66, ketika saya masih meringkuk di Kilidikus (Kompi Penyelidik Khusus) Lapangan Banteng. Saya mendengar pidato Bung Kartno begitu bagus, katanya: “Bangsa kita sekarang merosot kembali 50 tahun!” Itu artinya kan kira-kira jaman Budi Utomo. Saya renungkan kembali kata-kata itu setelah di sini: benar apa yang dikatakan Bung Karno itu. Pecah sama sekali sudah. Apa lagi sekarang! Dengan munculnya gejala-gejala separatisme macam-macam. Kalau Timor Timur itu lain soal. Maka itu betul. Bangkit kembali sekarang. Ayo nation building! Tapi ternyata yang bersangkutan, yaitu warga negara keturunan Tionghwa, setelah mengalami peristiwa pahit bulan Mei yang baru lalu, justru kurang sadar sendiri.
Hs.: Maksudnya?
Go: Orang sudah tahu, bahwa ada anti-sinisisme sama seperti anti-Semitisme yang begitu, malah mendirikan parpol yang berdasarkan keturunan, dengan menamakannya Partai Tionghwa! Sesudah pogrom anti-Tionghwa Mei 1963 Bung Karno memperingatkan: Awas rasialisme (anti-Tionghwa) tetap bahaya laten. Katakanlah sekarang ada kemajuan tidak menggunakan istilah “cina”, yang dengan sengaja dianjurkan oleh Orba untuk menghina. Tapi kan harus disadari masalah nation building ini. Tapi kalau ada perasaan “anti-cina”, itu memang benar. Baru saja terjadi malapetaka bulan Mei di Jakarta, Medan, Solo, dan tempat tempat lain. Pada waktu tahun ’65 yang dikejar terutama anggota Baperki, walaupun hakikatnya yang bukan anggota Baperki juga ikut terkena, asal bermata sipit. Taksiran pengarang Amerika, Shaplen, kira kira sepuluh ribu mata sipit mati menjadi kurban. Tapi yang terjadi tahun ini, ada beda sedikit. Betul-betul ras! Nah sudah tahu begitu kok: “Ini gua, Partai Tionghwa. Mau apa lu!?” Orang Jawa bilang itu “njarag” namanya. Provokasi!
HS.: Menurut Pak Go itu tidak bijaksana?
Go: Bukan saja tidak bijaksana. Itu provokasi! Tidak tahu provokasi terhadap siapa itu. Ditambah tidak ada sedikit pun assessment, menilai atau menafsirkan, kejadian Mei ini apa. Pertama, kan mesti dinyatakan dulu, terbukti politik Orba mengenai masalah minoritas Tionghwa gagal sama sekali. Buktinya ya ini. Kedua, apa rumusan kebijaksanaan Orba mengenai masalah minoritas. Yaitu yang dinamakan “politik asimilasi”. Bahwa sudah sejak pagi sekali, kira-kira tahun ’80 di Solo, dan tempat tempat lain di Jawa, peristiwa pogrom terbesar sejak Orba, sebagai buntut perkelahian antara pemuda peranakan yang sudah berasimilasi, Kicak Maryono, dengan pemuda “pri”. Peristiwa itu membuktikan, bahwa politik asimilasi itu gagal. Sekarang yang terjadi sudah keterlaluan. Akuilah sekarang itu salah. Jadi perbaiki lah! Selalu digembar- gemborkan “ganti nama” sudah beres. Itu lah asimilasi. Malah ada yang bilang, murtad, ganti agama. Jadilah Islam. Tinggal kan Konghucu, tinggal kan Katolik, tinggal kan Kristen.
HS.: Itu kan bukan maksudnya dengan Bineka Tunggal Ika?
Go: Itulah. Kalau mereka tahu, bahwa lambang negara RI itu bagus, seharusnya mereka juga menyadari bahwa isi lambang itu berarti: semua suku atau suku bangsa adalah warganegara Republik Indonesia. Hasilnya apa ganti nama segala macam itu? Terus menerus ada letusan rasialisme. Itu sudah menunjukkan gagal dan salah. Teori pembauran, dengan segala macam ganti nama dll itu salah. Yang lebih penting lagi, ini kan melanggar hak-hak asasi manusia. Apa orang Batak tidak boleh lagi menyanyikan lagu-lagunya yang bagus? Apa semuanya mesti jadi mayoritas “gending Jowo”? Kenapa salah jadi orang “keturunan”? Kenapa saya tidak boleh sembahyang meja pada orang tua saya? Pernahkah ada sengketa antara “asli” dan “tidak asli”, “pri” dan “nonpri”, karena yang “nonpri” makan babi dan bakmi? Kan tidak ada dalam sejarah. Perbedaan kebudayaan? Yang ada yaitu banyak macam takhayul, kawin campuran dsb, abu muda (yi. “pri”) dan abu tua (yi. Tionghwa) tidak boleh, dsb. Tapi itu tidak menyebabkan sengketa. Sebenarnya kejadian tahun ’80 yang lalu sudah cukup untuk menyimpulkan, teori asimilasi itu gagal. Tapi sudah terjadi begini, sekarang masih tidak mau mengakui. Masih tetap pembauran digembar-gemborkan. Partai Pembauran. Menyedihkan! Lagi pula saya ingat tahun ’63. Resolusi Konperensi Pleno Dewan Daerah “Baperki” di Semarang. Saya beri contoh di sana: Edith Stein. Perempuan Yahudi yang sudah menanggalkan keyahudiannya, toh dibakar di kamar gas. Sudah menjadi non. Tapi karena diketahui dia Yahudi, tetap saja dibakar. Itulah rasisme. Sebab dasar negaranya, Nazi, itu rasis. Orde Baru itu pun memang sudah dasarnya rasis. Bukan jaman Sukarno. Jaman Sukarno tidak ada. Bung Karno faham tentang ajaran Empu Tantular “bhineka tunggal ika”, “tat twan asi” (itulah engkau) inti ajaran Upanishad. Tapi pernah kah para jutawan asimilasionis mendalami ajaran ajaran itu? Saya khawatir, kesibukan mereka menimbun kekayaan tidak memberi waktu untuk merenungi falsafah lambang RI. Cukup KKN!
HS.: Apa sebab Suharto rasis? Dan kedekatan dengan Bob Hasan dan Liem?
Go: Lihat itu Liem Sioe Liong dan Bob Hasan? Itu kalau orang Belanda bilang kan “twee handen op een buik”. Akrabnya luar biasa kedua mereka itu. Tapi jawaban saya. Di jaman Hitler dikenal, yang dalam bahasa Jerman disebut “Hofjude”, Yahudi kraton. Sebelum Hitler, juga raja Friedrich II punya Hofjude bernama Ephraim. Walaupun raja itu anti-Semit, tapi untuk melakukan pat pat gulipat keuangan, digunakanlah orang Yahudi kesayangannya: Ephraim. Misalnya mengedarkan uang logam yang nilainya kurang dari harga nominal, sebagaimana tertera pada uang logam itu. Maka rakyat bilang: von aussen schoen, von innen schlimm aussen Friedrich, innen Ephraim dari luar cantik, dari dalam cerdik di luarnya Friedrich, di dalamnya Ephraim